Dinas Kesehatan Kota Kendari mencatat selama periode Januari-Juli 2019 terdapat 24 orang pengidap HIV/Aids didominasi lelaki seks lelaki atau homo seksual. Dari ke-24 orang pengidap HIV itu 12 orang merupakan homo seksual atau LSL, 2 orang Ibu Rumah Tangga (IRT), dan 8 orang Hetero serta 2 orang bisex. Data ini dikumpul dari dua tempat pemeriksaan HIV, yakni di RSUD Kota Kendari dan Puskesmas Lepo-Lepo, Kota Kendari, kata Kadiskes Kendari drg. Rahminingrum, Senin. Kelompok LSL merupakan komponen penyebaran virus HIV. Selain mereka ada kelompok waria dan wanita pekerja seks yang sama-sama berpotensi menularkan penyakit ini. Rahminingrum juga menerangkan HIV tumbuh dan hidup di empat cairan tubuh, yakni darah orang yang telah terinfeksi, cairan sperma orang yang positif HIV, cairan vagina, dan air susu dari ibu yang sudah positif terkena HIV. SUMBER: ANTARASULTRA.
Telaah Akar Masalah HIV/AIDS
Angka penularan HIV/AIDS di Indonesia terus meroket. Indonesia termasuk dalam negara epidemik HIV. Pertumbuhan epidemi HIV Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. Terus meroketnya angka penularan dan penyebaran HIV/AIDS mengindikasikan bahwa upaya penanggulangan selama ini sudah gagal. Skema ABC (Abstinence-Be faithful-Condom) untuk mencegah penularan HIV/AIDS menjadi sia-sia karena perilaku seksual masyarakat tetap dan malah semakin permisif.
Hubungan seks bebas (zina) dan penggunaan jarum suntik secara bergiliran di kalangan pecandu narkoba masih menjadi penyebab utama penularan virus HIV/AIDS. Banyak daerah mengalami kenaikan jumlah pengidap HIV/AIDS seiring dengan makin liberalnya pergaulan masyarakatnya, terutama di kalangan beresiko tinggi tertular HIV/AIDS.
Hal ini membuktikan, upaya pencegahan penularan penyakit ini sudah menemui jalan buntu, karenanya sekarang kampanye pun digeser yakni justru banyak ditujukan agar publik dapat menerima kehadiran kaum OHIDA (Orang Hidup Dengan HIV/AIDS). Masyarakat juga diajak tidak malu melakukan tes HIV/AIDS, dan bagi yang terbukti positif dihimbau agar mau berobat dan hidup normal seperti orang kebanyakan. Penanganan penyakit HIV/AIDS sekarang lebih fokus pada kuratif, ketimbang preventif. Padahal sesungguhnya penanganan yang paling tepat justru pada preventif atau pencegahan. Selain persoalan seks bebas, masyarakat juga mulai dibombardir dengan berbagai informasi supaya mengakui kehadiran kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender).
Apa yang dilakukan oleh seluruh negara di dunia, termasuk pemerintah Indonesia, dipastikan akan menemui jalan buntu. Pasalnya mereka justru lebih berkutat pada tindakan kuratif ketimbang preventif. Padahal solusi terbaik adalah preventif, mencegah perilaku seks bebas dan gaya hidup liberal. Pencegahan yang terbaik tidak lain berasal dari ketakwaan pribadi Muslim.
Lalu, bagaimanakah upaya jitu yang benar-benar dapat menghentikan laju penyebaran HIV/AIDS? Tidak cukup melakukan pengkajian tentang HIV/AIDS yang sudah menjadi ”bahaya global” dengan hanya mendasarkan pada sisi permukaan saja, terlebih lagi secara parsial. Dibutuhkan pengkajian secara mendalam dan mendasar untuk dapat memahami akar permasalahan HIV/AIDS sehingga dapat diformulasikan solusi yang mendasar pula yang benar-benar mampu memberantas HIV/AIDS hingga ke akarnya.
Sejatinya, HIV/AIDS bukan sekedar masalah medis. Penyakit ini merupakan dampak sosial yang ditimbulkan oleh gaya hidup yang salah seperti seks bebas, penyimpangan orientasi seks (lesbi & homo), penyalahgunaan narkoba, dll, sehingga penyakit ini disebut sebagai life style disease.
Pandangan Islam Dalam Masalah HIV/AIDS
Islam memandang HIV/AIDS sebagai masalah kesehatan, karena penyakit AIDS memang berbahaya (dharar) lantaran menyebabkan lumpuhnya sistem kekebalan tubuh. Berbagai penyakit akan mudah menjangkiti penderitanya yang ujung-ujungnya adalah kematian. Padahal Islam adalah agama yang melarang terjadinya bahaya (dharar) pada umat manusia. Rasulullah SAW bersabda,“Tidak boleh menimpakan bahaya pada diri sendiri dan juga bahaya bagi orang lain dalam Islam (laa dharara wa laa dhiraara fi al-islam).” (HR Ibnu Majah no 2340, Ahmad 1/133; hadits sahih).
Namun, Islam juga memandang HIV/AIDS sebagai masalah perilaku, karena HIV/AIDS pada sebagian besar kasusnya berawal dan tersebar melalui perilaku seks bebas yang menyimpang, seperti lesbianisme, gay, biseksual, dan transgender. Semua perilaku ini adalah perbuatan kotor dan tercela dalam pandangan Islam. Semuanya adalah tindakan kriminal yang layak mendapat hukuman yang tegas. (Imam Al-Ajiri, Dzamm Al-Liwath, Kairo: Maktabah Al-Qur`an, 1990, hal. 22; Mahran Nuri, Fahisyah al-Liwath, hal. 2; Abdurrahman Al-Maliki, Nizham Al-Uqubat, hal. 18-20).
Solusi Islam ini jelas berbeda berbeda dengan solusi sistem demokrasi sekuler selama ini. Solusi dalam sistem demokrasi sekuler hanya memandang HIV/AIDS sebagai masalah kesehatan, bukan masalah perilaku. Maka solusinya hanya terkait dengan persoalan kesehatan semata, misalnya kondomisasi, pembagian jarum suntik steril, kampanye bahaya AIDS, dan yang semisalnya. Sedang perilaku seks bebas seperti lesbianisme, gay, biseksual, dan transgender dianggap tidak ada masalah, tidak perlu dihukum, dan dianggap tak ada hubungannya dengan penanggulangan HIV/AIDS. Jelas solusi ini adalah solusi yang tidak menuntaskan masalah. Jadi, mengatasi HIV/AIDS hanya sebagai masalah kesehatan tanpa mempersoalkan perilaku seks bebas yang menyertainya, adalah solusi yang tidak menyentuh kepada akar persoalan HIV/AIDS.
Kembali Kepada Islam
Dalam pandangan Islam, zina adalah keji dan termasuk dosa besar. Siapa saja yang bisa menghindarinya maka akan selamat dari azab Allah dan mendapatkan ganjaran besar di sisi Allah.Solusi yang diberikan Islam juga amat jitu, yakni memberikan tindakan preventif dengan mengharamkan perzinahan dan gaya hidup kaum Maho (Manusia homo). Bahkan al-Quran memberikan hukum yang lebih tegas dalam menata sistem sosial, dengan mengharamkan aktivitas apa saja yang mendekati perzinaan (QS. Isra [17]: 32).
Akan tetapi tidak mungkin solusi Islam ini dapat diterapkan dalam sistem liberalism sekularisme. Menyuruh rakyat menjaga diri tapi lingkungan liberal penuh dengan gaya hidup permisif. Ibarat orang disuruh bersuci tapi kemudian dibiarkan berjalan di lingkungan penuh najis, kemungkinan besar akan terkena najis. Tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan umat dari epidemi HIV/AIDS melainkan dengan mengenyahkan liberalisme sekularisme lalu menggantinya dengan syariat Islam. Islam akan mencegah perbuatan zina dengan membuka kemudahan pintu pernikahan dan menjaganya dengan sanksi pidana yang ketat.
Adapun orang yang tak bersalah yang telah menjadi pengidap HIV/AIDS maka akan dilindungi oleh negara. Mereka akan diberikan perawatan yang optimal agar tetap dapat hidup normal, beribadah kepada Allah, dan menjalankan syariat Islam dalam kehidupan.
Dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS, harus diformulasikan solusi yang mampu menyelesaikan akar masalah dan bersifat komprehensif serta terintegrasi multisektor. Karena HIV/AIDS adalah penyakit yang hingga saat ini tidak ada obatnya, maka metode penanggulangan yang diterapkan haruslah memenuhi prinsip-prinsip: mencegah kemunculan perilaku beresiko sejak dini; memberantas perilaku beresiko penyebab yang ada; dan mencegah penularan kepada orang sehat.Dengan prinsip ini, maka mata rantai penularannya akan terputus, dan bisa diharapkan suatu saat penyakit ini akan rudimenter (menghilang) dari masyarakat. Strategi alternatif ini adalah sebuah strategi yang diderivasi dari keyakinan dan hukum-hukum Islam yang memang diturunkan oleh Sang Pencipta manusia, untuk menyelesaikan problematika apapun yang dihadapi manusia.
Alhasil, hanya Islam yang memiliki solusi untuk mengatasi fenomena gunung es ini, solusi tuntas HIV/AIDS adalah diterapkannya syariat Islam secara kaaffah (menyeluruh). Sungguh, penerapan syariah Islam dalam naungan Khilafah ‘ala minhaji an-Nubuwwah bukan solusi alternatif, bukan juga pilihan, tapi satu-satunya solusi terbaik bagi seluruh permasalahan, termasuk HIV/AIDS. Wallahu a’lam bishshowwab.
RISNAWATI (PENULIS BUKU JURUS JITU MARKETING DAKWAH)