Sungguh miris, kerusuhan yang menelan korban jiwa kembali terjadi di Bumi Cendrawasih, Papua. Dilansir dari laman kompas.com, beberapa waktu yang lalu terjadi kerusuhan di Wamena, Papua. Tepatnya pada senin (23/9/2019), massa membakar 5 perkantoran, 80 mobil, 30 motor dan 150 ruko.
Hingga selasa (24/9/2019) malam, total 28 jenazah telah ditemukan dan 70 orang luka-luka. Komandan Kodim 1702 Jayawijaya, Letkol Chandra Dianto mengatakan, “akibat kerusuhan yang terjadi tersebut lebih dari lima ribu warga Wamena saat ini mengungsi ke markas kepolisian dan militer, sementara sekitar empat ratus warga lainnya memilih untuk pindah ke Jayapura. Masyarakat pribumi dan pendatang memerlukan waktu untuk memulihkan trauma mereka.” (Kompas.com 27/9/2019).
Layaknya bom waktu yang bisa meledak kapan saja, permasalahan di Papua sudah terjadi dalam kurun waktu yang lama. Sejak penandatanganan perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang menetapkan penyerahan Papua Barat dari Belanda ke Indonesia, berbagai persoalan terus saja terjadi.
Mulai dari masalah kesenjangan sosial, budaya, ekonomi, pendidikan antara penduduk pribumi dan warga pendatang, dan hal inilah yang juga disinyalir menjadi salah satu pemicu kerusuhan hingga mengakibatkan terjadinya pembakaran, penganiayaan dan pengusiran warga pendatang dari Wamena beberapa waktu yang lalu.
Papua memiliki berbagai sumber daya alam yang melimpah, jika dikelola dengan baik oleh negara maka akan mampu memberikan kesejahteraan bagi penduduknya. Tapi bagaikan pungguk merindukan bulan, selama puluhan tahun kesejahteraan bagi rakyat Papua tidak pernah terjadi.
Hal ini memicu terbentuknya Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang menghendaki kemerdekaan Papua. Kelompok separatis ini bahkan tidak segan meneror dan membunuh warga sipil. Konflik di Papua menjadi semakin kompleks bukan hanya dengan adanya OPM tetapi juga dengan banyaknya campur tangan asing yang memiliki berbagai kepentingan di sana, mulai dari Australia dan Vanuatu yang terang-terangan mendukung OPM, Inggris dengan perusahaan migasnya British Petroleum yang tidak akan rela kehilangan sember eksplorasi utamanya dan tentu saja Amerika Serikat dengan Freeportnya yang tidak mau kehilangan gunung emas.
Bahkan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI pernah melayangkan protes keras terhadap pemerintah Vanuatu yang mengangkat isu pelanggaran HAM di Papua pada sidang majelis umum PBB ke 74, isu pelanggaran HAM tersebut sengaja dihembuskan oleh media barat untuk menyudutkan posisi Indonesia di mata dunia, hingga lebih mudah bagi mereka untuk menguasai Papua.
Dari rezim ke rezim yang berkuasa di negeri ini belum ada satupun yang mampu menyelesaikan permasalahan rakyat Papua. Janji-janji penguasa untuk mensejahterakan rakyat Papua nyatanya hanya isapan jempol belaka, sebagian besar rakyat Papua tetap saja terpuruk dalam kemiskinan.
Pemerataan pembangunan infrastruktur dan Sumber Daya Manusia (SDM) sejauh ini belum mampu diwujudkan oleh pemerintah. Kekayaan alam yang melimpah nyatanya tidak dapat dinikmati oleh seluruh rakyat tetapi dihisap habis oleh korporasi asing yang telah puluhan tahun menguasai tanah Papua, dan ironisnya pemerintah seolah membiarkan hal ini terus terjadi tanpa mampu berbuat apa-apa.
Referendum dan otonomi khusus yang dicanangkan pemerintah juga tidak banyak membantu rakyat Papua.
Kerusuhan dan kekacauan di Papua tidak akan terjadi jika pemerintah menempatkan diri sebagai penanggung jawab dan penjamin keamanan, kesejahteraan dan martabat rakyat Papua, baik penduduk pribumi maupun pendatang.
Jika saja pemerintah dan masyarakat mau bercermin pada kesuksesan masa Khilafah Islamiyah dan menerapkan sistem pemerintahan Islam maka sesulit apapun medan dan kondisi geografis Papua tidak akan menjadi alasan bagi negara untuk abai terhadap rakyatnya. Khilafah Islamiyah mampu menyatukan 2/3 dunia dan meleburkan berbagai agama, ras dan suku bangsa dalam satu kesatuan, tentu hal itu dilakukan sesuai dengan petunjuk Allah Swt melalui al-Quran dan tuntunan Rasulullah Saw melalui Sunnah beliau. Wallahu a’lam bi ash shawab.
ARIANI PERCAWATI