Koruptor tampaknya akan semakin tumbuh subur di negara ini, karena lembaga pembasminya yaitu KPK dipangkas kewenangannya dalam bentuk amandemen undang-undang (UU) KPK.
Apa pun dalihnya, amandemen ini dianggap bukannya semakin memperkuat KPK tetapi semakin melemahkannya, apalagi pembahasannya terkesan terburu-buru diakhir masa jabatan anggota DPR RI periode 2014-2019.
Hal ini juga semakin diperparah dengan direvisinya UU Pemasyarakatan yang semakin mempermudah bebas bersyaratnya para koruptor.
Tribunnews (21/9/2019) menuliskan Revisi UU KPK Pangkas 13 Kewenangan KPK. Pemerintah dan DPR pada Selasa (17/9) lalu resmi mengesahkan perubahan UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Revisi UU KPK.
Pengesahan dilakukan di tengah penolakan yang disampaikan oleh KPK, publik dan kalangan akademisi. Baik pemerintah dan DPR mengklaim bahwa revisi UU KPK bertujuan menguatkan kelembagaan KPK, bukan untuk melemahkan sebagaimana dituduhkan banyak pihak.
Berdasarkan naskah revisi UU KPK per 16 September 2019, revisi ini memberikan dampak lain berupa korupsi kini dianggap sebagai perkara biasa bukan extraordinary crime, kewenangan pimpinan KPK dibatasi, kewenangan merekrut penyidik independen dihilangkan dan perkara korupsi yang sedang ditangani bisa tiba-tiba berhenti.
Elemen Masyarakat Tuntut Kaji Ulang RUU KPK dan Pemasyarakatan
Akibat kebijakan kontroversial pemerintah dan DPR ini membuat sejumlah mahasiswa berdemonstrasi di depan gedung DPR RI pada Selasa (24/9) diikuti demo-demo lainnya oleh BEM kampus negeri dan swasta seluruh Indonesia di daerah masing-masing.
Meskipun demikian, pemerintah tetap mempertahankan revisi UU KPK. “Presiden hanya menyetujui tiga RUU, yang lima ditunda. Tiga itu adalah RUU KPK, UU MD3 dan RUU tata cara pembentukan UU,” kata MenkoPolhukam, Wiranto.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indoensia (YLBHI), Asfinawati menilai ada kesan inkonsistensi dari Presiden Joko Widodo dalam menyikapi polemik pembahasan RUU yang dikebut DPR beberapa waktu terakhir. Terutama RUU KUHP, RUU KPK dan RUU Pemasyarakatan. Asfin melihat ada benang merah yang bisa dikaitkan antara RUU KUHP, RUU KPK dan RUU Pemasyarakatan.
Menurut dia, aturan-atura itu direvisi sedemikian rupa mendukung UU Sumberdaya Air (SDA) yang baru saja disahkan serta RUU RUU Pertanahan dan RUU Minerba yang saat ini dibahas DPR. “Jadi, ini sebenarnya sangat terpola,” ucap Asfin.
Pakar Hukum Pidana Universitas Al Azhar Indoensia, Suparji Ahmad menilai, penundaan pengesahan RUU tidak berarti bila tidak mendengar aspirasi publik. Yang juga harus dilakukan pemerintah dan DPR adalah menghapus pasal yang dianggap kontroversi oleh publik (Jawa Pos,22/9/2019).
Hukum Islam Tegas pada Koruptor
Dalam Islam, istilah korupsi dibagi dalam beberapa pengertian yaitu risywah atau suap, saraqah atau pencurian, al gasysy atau penipuan dan khianat atau penghianatan. Inti dari kesemuanya itu yaitu harta yang bukan milik seseorang alias kepemilikannya tidak sah.
Sehingga ulama fiqih sepaham bahwa korupsi hukumnya haram karena tidak sesuai dengan maqasid asy-syariah.
Sebagaimana firman Allah swt dslam QS Al Baqarah : 188,”Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) hartamu itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.
Di dalam QS Ali Imran : 130 juga disebutkan,”Wahai orang-orang yang beriman ! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”.
Terdapat pula hadits Ibnu Mas’ud berkata “ suap itu adalah apabila seorang memiliki keperluan pada yang lain dan memberinya hadiah dan hadiah itu diterima”.
Umar bin Abdul Aziz berkata “hadiah pada zaman nabi adalah hadiah. Pada zaman sekarang adalah suap”.
Kita pun dapat bercermin pada kasus korupsi di zaman Rasulullah Muhammad saw. Ada seorang sahabat Nabi yang meninggal dunia pada waktu terjadi peristiwa penaklukan Khaibar. Hal ini dibicarakan oleh mereka hingga sampai didengar Rasulullah saw.
Beliau bersabda : “Shalatkanlah saudara kalian ini.” Sungguh saudara kalian ini menggelapkan harta rampasan perang di jalan Allah.” Ketika itu, kami langsung memeriksa harta bawaannya dan ternyata kami menemukan kharazan (perhiasan/manik-manik atau permata orang Yahudi) yang harganya tidak mencapai dua dirham” (HR Abu Dawud). Hadits tersebut memberikan isyarat bahwa Rasulullah tidak berkenan menyalatkan jenazah seorang koruptor.
Selain itu, perlu diingat bahaya korupsi yaitu pelaku akan dibelenggu kelak di hari kiamat, korupsi penyebab kehinaan dari siksa api neraka, mati saat korupsi akan terhalang masuk surga, Allah tidak menerima shadaqah korupsi dan hasil korupsi adalah haram.
Mengetahui dampak dari korupsi baik di dunia maupun akhirat kelak, tentunya sebagai seorang muslim, kita akan berupaya menghindarkan diri dari perbuatan haram tersebut. Terkecuali jika seorang muslim tersebut hanya mementingkan kehidupan duniawi saja dengan berpedoman pada hukum buatan manusia, yang mana hukum buatan manusia tersebut faktanya tidak berefek jera layaknya hukum di negara kita saat ini, karena selain hukum tersebut berasal dari pikiran manusia, tujuannya pun untuk kepentingan tertentu.
Berbeda dengan hukum Islam yang hukumnya bersumber dari Allah swt (Al Qur’an dan As Sunnah), tentunya dengan tujuana semata-mata untuk mengharap ridha Allah swt. Lantas masihkah kita masih mempertahankan penggunaan hukum-hukum buatan manusia? Wallahu’alam bishowab.
ULFAH SARI SAKTI