Kerusuhan yang terjadi di Wamena kurang mendapat perhatian pemerintah, mereka seolah daerah terbuang yang bukan merupakan bagian dari Indonesia. Dimana peran negara dalam menyelesaikan kasus Wamena?
Ditengah kerusuhan yang terjadi di Wamena, pemerintah tengah sibuk mengurusi parade musik yang akan digelar di istana.
Dilansir dari KOMPAS.com, puluhan musisi bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor pada Senin (30/9/2019).
Usai melakukan pertemuan tertutup dengan Presiden, para musisi yang hadir mengumumkan akan menggelar konser musik bertajuk persatuan Indonesia.
Drummer Pas Band, Sandy Andarusman mengatakan, konser ini akan digelar di Bumi Perkemahan dan Graha Wisata Cibubur pada 18, 19 dan 20 Oktober mendatang. Ada 68 musisi yang akan tampil di atas panggung.
Tambahnya, dengan konser musik lintas genre ini diharapkan suasana Indonesia yang tengah panas karena berbagai masalah yang terjadi bisa menjadi lebih adem. Apakah Wamena butuh konser musik untuk memadamkan suasana yang sedang getir?
Kerusuhan yang terjadi di Wamena menyisakan trauma bagi masyarakat pendatang dan warga asli Papua disebabkan adanya sejarah ‘wamena berdarah’ pada tahun 2000 lalu. Kejadian di Wamena pada 6 Oktober tahun 2000 itu menyebabkan tujuh orang Papua dan 24 pendatang meninggal.
Menurut Komandan Kodim 1702/Jayawijaya, Letkol Candra Dianto kepada BBC News Indonesia, memang perlu ada waktu, sejarah pernah terjadi tahun 2000 yang namanya Wamena Berdarah, di mana konflik horisontal antara pendatang dengan pribumi, terjadi pembantaian besar-besaran.
Sayangnya, tragedi yang menimpa Wamena hanya menjadi cerita pilu yang dirasakan oleh warga setempat bukan untuk duka negara apalagi hal ini bahkan tak terjamah oleh pemerintah. Bukan menurunkan armada militer untuk menangani kerusuhan di Wamena, pemerintah lebih tertarik untuk memberikan penghargaan bagi 6 polisi yang terkena lemparan batu saat bertugas pada pengamanan demo mahasiswa di DPR beberapa waktu lalu.
Sangat jelas, negara +62 hanya senang mengumbar pencitraan dibanding harus bertindak real time terhadap kasus genting yang melanda negeri ini.
Tidak banyak tau, begitu keji penyiksaan yang dilakukan para perusuh di Wamena. Diantaranya, seorang dokter muslimah meninggal dengan cara yang sadis.
“Ada dokter Muslimah yang diperk*sa ramai-ramai, kemudian dibelah kepalanya dengan kapak.” kata korban selamat yang menolak keras disebut namanya.
Sungguh kejadian yang sangat menggelitik batin dan jiwa kita dibanding harus menikmati drama Konoha yang tengah berlangsung di negeri +62 saat ini. Fakta yang terjadi di Wamena terkalahkan oleh narasi senjata Naruto yang katanya dipakai menyerang seorang petinggi negara.
Tragedi ini menambah kekonyolan pemerintah dalam menindak lanjuti perkara Wamena. Mengapa pemerintah lebih aware dalam mengusut pelaku penyerangan Menkopolhukam dibanding harus menyelesaikan konflik yang tengah terjadi di Wamena?
Kembali ke istana, pelantikan presiden periode yang baru akan digelar pada Minggu (20/10/2019). Menyambut pelantikan tersebut para petinggi negara sedang sibuk mempersiapkan pagelaran negara itu.
Dilansir dari KOMPAS.com, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko meminta mahasiswa tak melakukan unjuk rasa saat pelantikan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden 2019-2024 di Gedung MPR pada 20 Oktober.
“Enggak usah demo-demolah, ngapain lagi demo itu,” kata Moeldoko di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (10/9/2019).
Moeldoko khawatir aksi unjuk rasa justru akan membuat suasana menjadi tidak kondusif. Padahal, aparat keamanan harus menjaga situasi kondusif agar agenda pelantikan tidak terganggu.
Lagi-lagi ditengah kegentingan yang melanda wamena, mereka malah sibuk mempersiapkan pelantikan presiden. Miris sekali, faktanya pelantikan presiden lebih kritis dibandingkan nyawa para penduduk Wamena.
Wamena butuh aksi-aksi heroik seperti seperti aksi yang pemerintah tunjukkan dalam penanganan kasus Menkopolhukam dan juga pelantikan presiden, bukan malah disuguhkan konser musik apalagi drama anak kecil yang dibuat lebih dramatis dari pada aksi pembantaian Wamena yang lebih mencengangkan dari film horor.
Untuk mengatasi segala permasalahan yang terjadi, kehadiran pemerintah di daerah konflik sangat dibutuhkan mengingatpara korban tidak hanya trauma secra psikis akan tetapi mereka pun kesulitan dalam mencari makan apalagi tempat tinggal. Konflik di Wamena maupun Papua akan terus terjadi selama api permasalahannya belum dipadamkan. Apa yang menjadi api dala konflik ini?
Penerapan sistem kapitalis sekuler jelas menyengsarakan rakyat. Ditambah lagi pluralisme yang menyamakan semua agama. Rezim hanya akan bekerja apabila mendapat manfaat yakni bekerja untuk para pemilik kapital, kepada mereka yang berani bayar.
Inilah situasi yang telah terjadi di negara ini, kita telah terkurung oleh sistem kapitalisme-liberal. Dalan sistem kapitalisme-liberal wajar jika pemerintah tidak menempatkan diri sebagai pengurus urusan rakyat.
Sudah selayaknya pemerintah mau belajar dari kegemilangan Islam yang kala itu mampu menguasai 2/3 belahan dunia serta menciptakan keselarasan diantara umat beragama. Saat itu, semua ras manusia telah melebur jadi satu dengan terikat aturan dan sistem dari wahyu Ilahi.
ZULHILDA NURWULAN