Menakar Sistem Tuan dalam Kapitalisme

Menakar Sistem Tuan dalam Kapitalisme
Erni Yuwana.

“Seorang tuan akan melahirkan tuan, seorang budak akan melahirkan budak.” Kata-kata tersebut menghujam hati terdalam kasta terendah. Yakni, kasta budak, yang tak layak diperlakukan manusiawi. Tak terkecuali pada Bilal bin Rabah.

Bilal mewarisi darah budak dari ibunya. Kehidupan keras, kejam dan diperlakukan tidak manusiawi senantiasa melekat erat pada dirinya. Kapan dia mampu melepas rantai budak ini? Mungkinkah itu terjadi? Mungkinkah? Kebebasan saat itu hanya sesuatu yang mustahil, bagai angan dan ilusi belaka.

Iklan Pemkot Baubau

Umayyah bin Khalaf, sang tuan dari Bilal pun berbangga diri dengan jubah keserakahannya. Umayyah, tuan pembuat segala jenis berhala berusaha mengikat masyarakat Mekkah untuk tunduk dan menyembah berhala bodoh buatannya. Berhala tersebut lah yang menjadi ladang kekayaan. Berhala itu pun menjadi sumber kekuasaan. Dia adalah sang tuan yang kaya lagi mulia, pikirnya.

Kaya dan mulia, jubah kesombongan sang Umayyah mulai terkoyak. Kegelapan dan kebodohan bertemu dengan cahaya yang kian menyilaukan. Cahaya itu bernama Islam. Islam yang mengutuk peribadatan sampah dan bodoh penyembahan berhala menjadi penghalang sekaligus penghambat kekayaan dan status kemuliaan Umayyah. Celakanya, sang budak justru membela dan bergabung dengan sang musuh. Maka, Bilal harus lebih sengsara, lebih tersiksa dan terus menderita. Cahaya itu harus padam. Cahaya itu harus hilang, apa pun caranya.

Namun, Umayyah telah kalah dari awal. Jika sang tuan seharusnya memiliki raga dan jiwa budak sepenuhnya, tapi Umayyah tidak merasakan hal itu. Bilal tak pernah bisa dimilikinya. Tak pernah bisa. Segala siksaan terkeji dan terkejam tak mampu membuat Bilal berpaling dari cahaya Islam. Mengikat leher Bilal laksana hewan dan menyeretnya ke Padang pasir hanyalah secuil kisah.

Menaruh batu besar di atas tubuh Bilal di siang hari pun sanggup dia lakukan. Bilal tak tergoyahkan. Begitu pantang baginya menjadikan berhala bodoh sebagai Tuhan. Tuhan semesta alam yang satu. Tak terbilang. “Ahad…” itulah Satu kata yang terus diulang Bilal. Ahad, satu kata berjuta makna. Ahad, kata persaksian bahwa Allah Maha tunggal yang hanya Dia lah patut disembah, layak diagungkan, pembebas dari rantai kasta yang rusak.

Jiwa dan raga Bilal terlalu suci untuk dilukai Umayyah. Abu bakar membebaskan Bilal dari Umayyah, memerdekakannya. Kisah Bilal dan Umayyah pun menjadi sejarah. Pertarungan antara tuan dan budak, yang justru dimenangkan sang budak dengan cahaya Islam. Sudah menjadi sunnatullah jika kegelapan selalu kalah dengan cahaya. Sang budak yang begitu direndahkan mampu menghancurkan sang tuan yang penuh dengan Keserakahan. Kemenangan Islam menjadi suatu keniscayaan.

Masa jahiliyah itu kini kembali terulang di era modern. Menyisakan dua pertarungan, antara kegelapan dan cahaya. Islam pernah bertarung melawan ideologi komunis yang busuk dan melawan kapitalisme yang angkuh dan serakah.

Negeri ini pernah bergelut dengan komunisme. Berbagai tragedi berdarah terjadi. Komunisme berpegang teguh pada atheis, tidak percaya dengan adanya Tuhan sehingga melahirkan manusia bar-bar. Komunisme pun akhirnya terkikis. Cita-cita keadilan sama rata sama rasa kepemilikan segala barang hanyalah fiksi dan khayalan semata. Cita-cita tersebut tak tergapai dan tidak pernah tercapai karena konsep cacat sejak lahir.

Kini, jubah keserakahan Umayyah berganti nama menjadi paham kapitalis. Seorang tuan yang kaya bisa menguasai segalanya. Jadilah tuan, jadilah tuan, jadilah tuan, apa pun caranya. Begitulah sistem kapitalis bekerja. Menjadi tuan saat menduduki segala posisi. Bahkan posisi pelayan rakyat yang seharusnya melekat pada aparatur negara, berubah menjadi posisi tuan bagi rakyat.

Sang tuan hanya berorientasi pada harta dan tahta. Sebatas itu. Tidak peduli apakah dia harus menghisap darah rakyat. Tidak peduli jika dia harus menguras keringat rakyat hingga tetes terakhir. Segala legalisasi hukum untuk mempertahankan gelar tuan dilakukan. Tidak peduli apakah hukum tersebut dholim, rusak, tidak masuk akal. Itulah sistem kapitalis yang rusak, angkuh dan serakah. Celakanya sistem itu menjangkiti seluruh dunia.

Harapan yang terbaik hanya di tangan Islam. Cahaya meng mengikis kegelapan. Tak ada gelar tertinggi “tuan”. Semuanya bergelar “hambah” Allah yang mempunyai cita-cita tertinggi untuk meraih ridho Allah. Cukup itu, hanya ridho Allah. Cita-cita ini menjadikan manusia mulia karena tidak diperbudak harta dan dunia. Menjadikan manusia sepenuhnya, dengan akal, hati, perasaan yang tidak mati.

Maka Islam tampil sebagai pelindung, bukan penjajah yang mengharap harta. Sistem Islam melindungi Jiwa, akal, harta, kehormatan, agama mereka semuanya dilindungi (baik Islam maupun non Islam) tak boleh ada yang mencederai.

Itulah rahasianya, mengapa dulu, selama belasan abad, sejarah mencatat tampilnya sistem Islam yang mampu mempersatukan nyaris 2/3 dunia dengan beragam budaya dan agama. Mereka hidup sejahtera. Bahkan berbondong-bondong bangsa-bangsa nonmuslim menyatakan diri ingin bergabung di bawah naungan kekuasaan Islam. Dengan sukarela dan tanpa paksaan.

Inilah yang sebagiannya digambarkan oleh salah satu penulis Barat, Will Durant yang dengan jelas mengatakan:

“Agama Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang mulai dari Cina, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir bahkan hingga Maroko dan Spanyol. Islam pun telah memiliki cita-cita mereka, menguasai akhlaknya, membentuk kehidupannya, dan membangkitkan harapan di tengah-tengah mereka, yang meringankan urusan kehidupan maupun kesusahan mereka. Islam telah mewujudkan kejayaan dan kemuliaan bagi mereka, sehingga jumlah orang yang memeluknya dan berpegang teguh padanya pada saat ini [1926] sekitar 350 juta jiwa. Agama Islam telah menyatukan mereka dan melunakkan hatinya walaupun ada perbedaan pendapat maupun latar belakang politik di antara mereka.” (Will Durant – The Story of Civilization).

Inilah yang semestinya menjadi cita-cita umat saat mendapati sistem hidup kapitalis yang tak mampu mewujudkan cita-cita mereka. Yakni hidup dalam ketenteraman dan keadilan. Selama sistem kapitalis berkuasa, jubah keserakahan sang tuan hanya akan melahirkan rakyat budak. Sudah saatnya membebaskan diri dari rantai budak, dengan memusnahkan paham kapitalis dan meletakkan sistem Islam di dunia ini. Wallahu’alam bi ash showab.

ERNI YUWANA