Nasib Antikritik Dalam Demokrasi Berujung Bui

Nasib Antikritik Dalam Demokrasi Berujung Bui
Risnawati.

Sungguh miris, rezim penguasa ini membungkam kritik dan nasihat dari rakyatnya sendiri. Seperti kejadian yang menimpa Kolonel Hendi Suhendi yang dicopot dari jabatannya sebagai Komandan Kodim Kendari karena istrinya nyinyir di media sosial. Ternyata, setelah itu, bermunculan kasus istri TNI yang nyinyir di medsos. TNI diharapkan tak lagi serta-merta mencopot jabatan anggota TNI yang beristri nyinyir.

Begitu pula, terhadap akun Jerinx, Politikus PAN Hanum Rais, dan Jonru Ginting dilaporkan ke Polda Metro Jaya lantaran membuat unggahan di media sosial terkait insiden penusukan terhadap Menko Polhukam Wiranto.

Iklan Pemkot Baubau

Dilansir dalam Kontan.Co.Id, tiga personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapat saksi hukum dan dicopot dari jabatannya. Para anggota ini mendapatkan hukuman disiplin karena ulah istrinya yang mengunggah konten di media sosial terkait kasus penusukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto. Tidak tanggung-tanggung, suami-suami mereka dicopot dari jabatannya masing-masing ditambah penahanan selama 14 hari.

Bukan hanya itu, TNI juga melaporkan istri tiga anggotanya ke polisi terkait konten negatif terkait penusukan Wiranto yang diunggah di media sosial. Tiga anggota personel TNI yang mendapatkan sanksi adalah Kolonel HS yang menjabat sebagai Kodim Kendari, Sersan Dua Z, dan Peltu YNS, anggota POMAU Lanud Muljono Surabaya. Sementara ketiga istri mereka, yakni IPDL, LZ, dan FS telah dilaporkan ke polisi karena dianggap melanggar UU No 19 Tahun 2016 tentang ITE.

Kepala Subdinas Penerangan Umum TNI AU Kolonel (Sus) Muhammad Yuris dalam keterangan tertulis, Sabtu (12/10) menjelaskan bahwa dalam urusan politik, posisi prajurit TNI AU dan keluarganya (KBT/Keluarga Besar Tentara) harus netral.

“Oleh karena itu, KBT dilarang berkomentar, termasuk di media sosial yang berdampak pendiskreditan pemerintah maupun simbol-simbol negara. KBT yang kedapatan melanggar, dikenakan sanksi sesuai aturan yang berlaku,” ujar Yuris.

Dikutip dari KOMPAS.com – Ujaran kebencian di media sosial yang berujung ke kasus hukum tengah mendapat sorotan masyarakat. Kasus ini kuat hubungannya dengan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sebagai abdi negara, seorang aparatur sipil negara (ASN) harus menjunjung tinggi kode etiknya, termasuk tak menyebarkan ujaran kebencian dan kabar bohong lewat media sosial.

Namun, apakah pegawai negeri sipil ( PNS) dapat dipecat lantaran melakukan hate speech melalui media sosial? Kepala Biro Humas Badan Kepegawaian Negara ( BKN) Mohammad Ridwan mengatakan, aturan mengenai kode etik dan disiplin PNS diatur dalam peraturan presiden (PP).

“Coba lihat PP Nomor 42 Tahun 2004 dan PP Nomor 53 Tahun 2010,” kata Ridwan saat dihubungi Kompas.com, Minggu (13/10/2019) pagi.

Demokrasi, Faktanya Antikritik?

Seperti yang kita ketahui, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) telah membuat aturan yakni Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Jika netizen dianggap melanggar pasal yang ada di UU ITE maka mereka bisa dipidanakan bahkan membayar denda hingga Rp1 miliar.

Kebijakan rezim pemerintahan saat ini seolah membuat rakyat harus terus mengelus dada. Setiap hari selalu disuguhi dengan hal-hal yang tak lazim dilakukan oleh seorang penguasa yang seharusnya menjadi pelayan rakyat. Nyatanya, rezim ini lebih memilih untuk menjadi pelayan dari orang-orang yang berkepentingan di sekitarnya. Segala kebijakan yang ditelorkan oleh rezim ini bukannya mensejahterakan justru membuat rakyat menjerit.

Kejadian ini menunjukkan bahwa rezim ini adalah rezim anti kritik. Sebab kritik tersebut dilontarkan untuk kebaikan masyarakat negeri ini, Penguasa telah membungkam kritik dari masayakatnya sendiri. Ini membuktikan bahwa kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi adalah omong kosong.

Alhasil keambiguan rezim demokrasi yang seolah menjamin kebebasan tapi faktanya anti kritik. Demokrasi memang akan memunculkan tirani minoritas atas mayoritas. Karena dalam sistem ini, kekuasaan adalah alat kepentingan individu atau kelompok.

Sangat jauh berbeda ketika sistem Islam diterapkan dalam kekhilafahan. Rakyat boleh mengkritik dan menegur penguasa, bahkan boleh ditujukan langsung kepada khalifah yang memimpin. Sehingga penguasa dapat memperbaiki diri dari kebijakan yang diambilnya untuk ditinjau ulang apakah sudah sesuai dengan Islam atau tidak.

Kembali Kepada Islam

Sistem Islam bukan sistem anti kritik. Rakyat, siapapun dia, terbuka menyampaikan muhasabah/kritik sebagai kontrol. Tapi kritikan harus berbasis pada standar yang sama, yakni aqidah dan hukum syaraSalah satu hadits yang mendorong untuk mengoreksi penguasa, menasihati mereka, adalah hadits dari Tamim al-Dari r.a bahwa Nabi Muhammad SAW, bersabda: “Agama itu adalah nasihat”.

Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Nabi saw bersabda: “Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin pada umumnya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad. Lafal Muslim).

Dijelaskan bahwa hadits ini mengandung penekanan, menasihati penguasa atau pemimpin kaum muslim. Namun, nasihat ini bukan sembarang nasihat, melainkan nasihat dengan landasan Din ini, sebagaimana permulaan kalimat hadits ini, al-dîn al-nashîhah. Mengoreksi Penguasa dikenal dengan istilah.

Di sisi lain, Rasulullah SAW pun secara khusus telah memuji aktivitas mengoreksi penguasa zhalim, untuk mengoreksi kesalahannya dan menyampaikan kebenaran kepadanya: “Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zhalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya).

Dalam Pemerintahan Islam (khilafah), yang menerapkan aturan dari Sang Pemilik Kehidupan sekalipun, tetap dibutuhkan adanya kritikan. Koreksi terhadap jalannya pemerintahan dan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan mutlak dibutuhkan. Agar tidak terjadi kedzaliman. Pemerintahan pun tetap selaras dengan hukum syara.

Umar bin Khathab ketika menjabat sebagai khalifah pernah diprotes oleh seorang wanita karena membatasi mahar sebanyak 400 Dirham. Wanita itu menasihati Umar seraya mengutip firman Allah SWT. QS. an-Nisa (4): 20. Umar pun berkata: “wanita ini benar, danUmar yang salah.” Kemudian beliau meralat keputusannya.

Begitulah, aktivitas mengoreksi penguasa merupakan bagian dari amar makruf nahi mungkar yang bersifat wajib, sebagaimana sabda Rasulullah Saw : “Siapa saja diantara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaknya dia mengubahnya dengan tangannya.

Apabila dengan tangan tidak mampu, hendaknya ia mengubah dengan lisannya. Jika ia tidak mampu mengubah dengan lisannya, hendaknya ia mengubahnya dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).

Dalam riwayat lain, Rasulullah Saw telah mendorong kaum Muslim untuk menentang dan mengoreksi penguasa dzalim dan fasiq, walaupun harus menanggung resiko hingga taraf kematian.  Rasulullah Saw bersabda: “Pemimpin syuhada’ adalah Hamzah, serta laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa dzalim, lalu ia menasehati penguasa tersebut, lantas, penguasa itu membunuhnya.” (HR. Hakim dari Jabir).

Begitulah seharusnya, kritik terhadap penguasa harus tetap ada. Demikianlah sungguh nyata perbedaan islam dengan sistem demokrasi terlebih ketika dipimpin oleh rezim yang represif dan anti kritik seperti saat ini.

Inilah perbedaan mendasar antara sistem demokrasi sekuler dengan sistem Islam. Hanya sistem Islam lah yang bisa memanusiakan manusia. Hanya sistem Islam-lah yang akan menjaga manusia dari kerusakan karena sistem ini nyata berasal dari Allah SWT.

Islam adalah Rahmat untuk seluruh alam. Maka, sampai kapankah kita mau dikurung dalam jeruji sistem demokrasi yang rusak ini? Mari bergegas untuk kembali kepada pangkuan Islam yang kaffah. Hanya dengan Islam kaffah di bawah institusi negara inilah, manusia akan sejahtera dunia dan akhirat, in syaa Allah. Wallahu a’lam.

RISNAWATI