Ujaran kebencian di media sosial yang berujung ke kasus hukum tengah mendapat sorotan masyarakat. Kasus ini kuat hubungannya dengan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). (Kompas.co.id, 13/10/19).
Hal ini menjadi na’as bagi beberapa anggota TNI yang dicopot jabatannya akibat dari cuitan istri mereka di media sosial.
Dilansir dari laman kontan.co.id (12/10), tiga personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapat saksi hukum dan dicopot dari jabatannya. Para anggota ini mendapatkan hukuman disiplin karena ulah istrinya yang mengunggah konten di media sosial terkait kasus penusukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto.
Menurut Kepala Biro Humas Badan Kepegawaian Negara ( BKN) Mohammad Ridwan saat ditemui kompas.com (13/10) mengatakan, aturan mengenai kode etik dan disiplin PNS diatur dalam peraturan presiden (PP).
Dalam hal ini PP Nomor 42 Tahun 2004 mengatur tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, sedangkan PP Nomor 53 Tahun 2010 merupakan aturan tentang disiplin PNS.
Sorotan tajam terkait kritikan rakyat dalam hal ini Pegawai Negeri Sipil (PNS) terhadap penguasa, nampaknya telah mencoreng asas dari demokrasi itu sendiri. Tentu kita ketahui bahwasanya asas dari sistem demokrasi itu sendiri adalah menjamin adanya 4 kebebasan.
Terkait kritikan yang dilontarkan rakyat kepada penguasa dalam hal ini merupakan kebebasan berpendapat dimuka umum baik secara lisan maupun tulisan yang telah dijamin oleh negara.
Namun nampaknya kritikan yang merupakan kebebasan berpendapat itu ketika ditujukan kepada penguasa dimaknai sebagai bentuk ujaran kebencian. Padahal bukankah setiap kritikan yang dilontarkan kepada penguasa merupakan bentuk muhasabah atau perbaikan terhadap segala bentuk kinerjanya selama ini? Lagi dan lagi rupanya kebebasan dalam demokrasi itu hanya boleh dipergunakan kepada elit politik ketika mereka ingin memberanguskan islam, aktivis dakwah dan ulama.
Pencopotan jabatan terhadap TNI berujung penahanan atas kritikan yang dilakukan oleh para istrinya bukanlah baru. Pasalnya pada maret 2017 yang dihimpun cnnindonesia.com (03/17), Muhammad Al Khaththath dan beberapa aktivis lainnya ditangkap sebelum aksi bela Islam di depan Istana Merdeka, Jakarta, dengan tuduhan melakukan upaya makar kepada pemerintah yang sah. Padahal saat itu mereka melayangkan kritik kepada pemerintah yang seolah-olah melindungi Ahok sebagai tersangka pelecehan terhadap Al Quran.
Keambiguan demokrasi membuktikan bahwa sistem yang terbukti rusak sejak kelahirannya ini hanyalah sebagai alat “penyiksaan” bagi masyarakat atau sebagian minorotas bukan dikalangan elit politik.
Permainan individu ataupun kelompok seperti kaum kapitalis maupun para elit politik justru menjadikan demokrasi sebagai alat dalam melegalkan segala upaya mereka dalam mencampai tujuannya. Sehingga kebebasan yang digaungkan dalam sistem demokrasi nyatanya hanyalah sebuah utopis atau khayalan.
Perlu ditekankan lagi bahwasanya kritikan terhadap penguasa merupakan hak rakyat. Dan perlu diluruskan pula bahwa kritik berbeda jauh dengan kebencian. Kritik adalah hak warga negara untuk menyatakan pendapat maupun usul pada penguasa.
Hal ini dilakukan demi kepentingan bersama atas asas kemanusiaan dan kesejahteraan umum. Jika, kritik saja dilarang dalam segala bentuk media, maka tak salah jika sebagian orang merasa penguasa sekarang otoriter dan mirip orde baru yang hanya berganti baju.
Lain halnya didalam Islam dimana hakikat penguasa adalah pengurus ( ra’in) dan perisai (Junnah) bagi rakyat yang membutuhkan nasehat agar terhindar dari perbuatan yang tidak adil dan zhalim kepada rakyatnya.
Karena seorang penguasa atau khalifah bukanlah orang yang diistimewakan, ia hanyalah manusia biasa yang mengemban amanah sebagai pelayan bagi rakyat yang melaksanakan hukum dan memberi peringatan. Dan menjadi kewajiban bagi setiap rakyat untuk melakukan muhasabah kepada penguasa, apabila dia melakukan menyimpang dari ketentuan syariat Islam.
Peradaban sejarah Islam telah mentotehkan kisah khalifah Umar bin Khaththab, ra yang telah ditegur oleh seorang wanita tatkala beliau membatasi pemberian mahar. Wanita itu membacakan firman Allah SWT:
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا ۚ أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
Artinya: “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dari istri yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikitpun” (TQS. An-Nisa’ : 20).
Lantas mendengar teguran tersebut Umar ra berkata: “Benarlah wanita itu dan sayalah yang keliru”. Wanita tersebut berani mengoreksi khalifah karena dijamin hak dan kewajibannya dalam Islam.
Begitu juga dengan Umar ra pun menyadari bahwa menjadi kewajiban penguasa untuk mendengarkan dan melayani urusan rakyatnya. Selain itu menjadi kewajiban seorang muslim untuk beramar ma’ruf nahi munkar termasuk pada penguasa, tujuannya tidak lain agar terpelihara urusan umat serta terlindungi dari ketidakadialan dan kezhaliman penguasa.
Di sisi lain, Rasulullah–shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- pun secara khusus telah memuji aktivitas mengoreksi penguasa zhalim, untuk mengoreksi kesalahannya dan menyampaikan kebenaran kepadanya:أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zhalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya).
Bahkan aktivitas mengoreksi penguasa ini mendapat gelar “ Penghulu Syuhada”,
«سَيِّدُ الشُهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدُ الْمُطَلِّبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ»
“Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zhalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zhalim itu) membunuhnya.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath).
Demikianlah kebebasan yang sesungguhnya diberikan kepada islam terkait kritikan terhadap penguasa untuk perbaikan. Dan hal ini tidak akan kita temui dalam sistem demokrasi yang bersifat utopis dan mengekang kebebasan rakyat dalam megorerksi penguasa. Wallahu A’lam Bishshowab.
HAMSINA HALISI ALFATIH