Kejutan Politik Usai Dilantik Menuai Polemik

Kejutan Politik Usai Dilantik Menuai Polemik
Risnawati.

Pelantikan telah usai, banyak kejutan-kejutan politik yang terjadi akan menjadi penentu masa depan Indonesia dan bagaimana nasib negeri ini di tangan pemimpin pilihan rakyat lima tahun ke depan.

Dilansir dari Jakarta – Joko Widodo resmi dilantik sebagai Presiden untuk kedua kalinya. Sama seperti tahun 2014, Jokowi langsung menyampaikan pidato perdananya usai dilantik. Ada sejumlah perbedaan antara pidato Jokowi yang dibacakan di gedung MPR, Jakarta, pada Senin (20/10/2014) dengan pidato pada, Minggu (20/10/2019).

Iklan Pemkot Baubau

Perbedaan pertama yang paling mencolok adalah soal angka-angka yang menjadi target Jokowi. Dalam pidatonya di tahun 2014, Jokowi tak secara spesifik menyampaikan targetannya.

“Lima tahun ke depan menjadi momentum pertaruhan kita sebagai bangsa merdeka. Oleh sebab itu, kerja, kerja, dan kerja adalah yang utama. Saya yakin, dengan kerja keras dan gotong royong, kita akan akan mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial,” ujar Jokowi dalam pidatonya pada 2014.

Pada pidato usai pelantikannya di tahun 2019, Jokowi secara jelas menyampaikan target-target yang ingin dicapainya. Misalnya, pada tahun 2045 nanti dia manargetkan orang penghasilan orang Indonesia harus mencapai Rp 320 juta per kapita per tahun.

“Mimpi kita, cita-cita kita di tahun 2045 pada satu abad Indonesia merdeka mestinya, Insya Allah, Indonesia telah keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah. Indonesia telah menjadi negara maju dengan pendapatan menurut hitung-hitungan Rp 320 juta per kapita per tahun atau Rp 27 juta per kapita per bulan. Itulah target kita. Target kita bersama. Mimpi kita di tahun 2045, Produk Domestik Bruto Indonesia mencapai US$ 7 triliun. Indonesia sudah masuk 5 besar ekonomi dunia dengan kemiskinan mendekati nol persen. Kita harus menuju ke sana. Kita sudah hitung, sudah kalkulasi, target tersebut sangat masuk akal dan sangat memungkinkan untuk kita capai,” ucap Jokowi dalam pidato 2019.

Dilansir juga dari TRIBUNNEWS.COM – Hingga Senin (21/10/2019) sore, setidaknya sudah ada 7 nama yang dipanggil oleh Presiden Jokowi untuk diminta menjadi menteri di kabinet periode 2019-2024. Ketujuh nama tersebut telah menyatakan bersedia menjadi menteri jika diminta untuk membantu di pemerintahan. Di antara nama-nama tersebut, ada yang merupakan pengusaha hingga elite politik adalah Mahfud MD, Nadiem Makarim, Wishnutama, Erick thohir, Airlangga Hartarto, Prabowo Subianto, dan Edhy Prabowo.

Ironi Kepemimpinan Demokrasi

Indonesia adalah negara besar yang sangat kaya akan sumber daya alam, jumlah penduduk, budaya, dan lain-lain. Tapi di tengah kekayaan yang begitu melimpah, ternyata kondisi kehidupan negara kita saat ini sedang mengalami banyak masalah hampir disegala aspek kehidupan.

Di bidang ekonomi angka kemiskinan dan penggangguran semakin tinggi, krisis ekonomi belum bisa teratasi dengan bertambahnya jumlah utang luar negeri, mundurnya  sistem  pendidikan dan mentalitas moral bangsa, mahalnya biaya kesehatan, dan semakin maraknya penyakit sosial seperti kenakalan remaja, pergaulan bebas, darurat narkoba, korupsi, wabah penyakit dan bencana alam.

Belum lagi dengan adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang terkesan tidak berpihak kepada rakyat.

Sungguh ironis, problematika ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kesehatan, dan  segudang masalah lainnya kini telah menjadi potret buram negeri yang sangat kita cintai. Fakta sudah bicara, siapapun pemimpinnya justru setelah terpilih malah berkhianat dan ingkar janji.

Rakyat bukannya makin sejahtera malah semakin sengsara dalam jeratan derita dengan segala kebijakan yang ada. Padahal, seharusnya mereka lebih peka untuk mendengar aspirasi rakyat, sehingga rakyat bisa hidup dengan aman damai dan sejahtera.

Mengadopsi demokrasi, Indonesia saat ini tengah menghadapi permasalahan dan krisis yang sangat berbahaya. Terpuruk dari banyak sisi: politik, ekonomi, dan sosial (kekacauan, protes, pembunuhan, kriminalisasi ulama dan ormas Islam, disamping masalah kemiskinan, kebodohan, krisis rasa aman, kriminalitas, melonjaknya biaya kesehatan dan pendidikan, naiknya tarif listrik, penyedotan kekayaan (minyak dan gas), tersebarnya pornografi dan pornoaksi, dan tak tersedianya kebutuhan-kebutuhan pokok baik pangan sandang dan papan secara layak bagi masyarakat bawah).

Demokrasi secara alamiah akan membentuk negara korporasi. Pilar negara korporasi ini adalah elit politik dan kelompok bisnis. Kelompok bisnis mem-backup politisi dengan dana, maklum saja biaya politik demokrasi memang mahal.

Setelah terpilih sang politisi terpaksa balas budi, membuat kebijakan untuk kepentingan kelompok bisnis. Lagi-lagi kepentingan rakyat disingkirkan.Semua permasalahan yang terjadi memang cukup sulit untuk diselesaikan karena sudah mengakar dalam perpolitikan Indonesia saat ini.

Rezim yang gagal ini tentunya lahir dari sistem demokrasi sekuler yang sampai kapanpun tidak akan pernah mampu menjalankan fungsi kepemimpinannya karena jelas tidak memiliki konsep yang kuat dan benar karena berkiblat pada azas yang salah dan batil.

Dan selama masih menerapkan sistem kufur yang berasal dari ideologi kapitalis-sekuler, maka tidak akan pernah terselesaikan segala permasalahan yang terjadi.

Semua itu menandakan kegagalan sistem demokrasi kapitalisme. Sekaligus menunjukkan ketidakmampuan sistem ini untuk menyelesaikan satupun dari masalah-masalah yang menimpa Indonesia. Hal itu menegaskan pentingnya aktivitas serius untuk merubahnya dan membebaskan negeri dan penduduknya dari berbagai keburukannya.

Karena, fakta kemunduran peradaban di negeri ini telah tampak kasat mata, adanya musibah yang terus silih berganti menimpa kaum muslimin saat ini merupakan realita yang mengharuskan kita semua untuk berpikir cerdas mencari solusi pengganti yang paling hakiki yaitu dengan menerapkan politik islam yang pastinya akan mampu mengatasi setiap permasalahan yang dihadapi.

Maka, jika memang ingin perubahan, maka perubahan itu harus hakiki, bukan hanya sekedar ganti rezim tapi juga harus ganti sistem. Dan perubahan hakiki itu hanya akan bisa terwujud dengan keagungan politik islam kaffah yang akan menerapkan seluruh hukum-hukum Allah di muka bumi ini.

Kepemimpinan dalam Islam

Sebagai seorang pemimpin, apalagi beliau ada seorang muslim, maka tipikal mengkhianati janji rasanya tak pantas tersemat dalam pribadinya. Seorang pemimpin sejati tidak akan pernah ingkar janji, baik pada janji yang diucapkannya secara sadar kala menerima amanah jabatan (pelantikan) lebih-lebih janji yang dilontarkan kepada rakyat secara langsung lewat lisannya sendiri.

Sayyidina Umar bin Khaththab ra adalah satu satu sekian banyak role model  kepemimpinan Islam yang demikian menginspirasi dan layak menjadi teladan umat sepanjang zaman. Kisah-kisah heroik kepemimpinannya tercatat dalam tinta emas sejarah peradaban Islam yang tak pernah mampu dihapus oleh kekuatan musuh manapun yang mengendaki keburukan atas Islam dan umat Islam.

Jangankan rakyatnya dari kalangan manusia, nasib seekor keledaipun tak luput dari perhatian sang Khalifah dengan pernyataannya yang terkenal, “Seandainya seekor keledai terperosok karena jalanan berlubang di kota Baghdad, maka aku sangat khawatir Allah akan meminta pertanggungjawaban.

Keseharian Sayyidina Umar dan para Khalifah setelahnya memang  benar-benar mencerminkan kesadaran ruhiyah yang sangat tinggi. Alih-alih sibuk dengan pencitraan dan obral janji-janji, mereka justru sibuk dengan rasa takut yang menuntun setiap kebijakan yang mereka tetapkan tak keluar dari koridor hukum islam dan tak menzalimi rakyatnya.

Mereka pun serius bekerja berdasarkan tuntutan syara’, melayani kepentingan setiap rakyat seperti halnya seorang penggembala. Memastikan gembalaannya terpenuhi seluruh kebutuhan dengan adil, merawatnya agar selalu sehat terhindar dari penyakit, dan memastikan tak ada serigala ataupun binatang lain yang akan memangsa gembalaannya.

Adapun dalam soal kehidupan, mereka standarkan diri mereka setara dengan penduduk yang paling lemah, bahkan di bawahnya. Hingga tak mengherankan, seorang Umar yang kekuasaannya telah melintasi jazirah Arab dan ditakuti negara musuh diketahui tak memiliki pakaian selain apa yang dikenakan plus yang dicuci sebagai penggantinya. K

eluarganya pun tak punya previlage khusus sebagai trah penguasa. Mereka diperlakukan sama sebagai rakyat biasa.

Hasilnya, rakyat yang ada di bawah kepemimpinan mereka bisa merasakan hidup sejahtera dan mulia. Bahkan selama belasan abad, umat ini tampil sebagai umat terbaik, menjadi pionir peradaban cemerlang di tengah-tengah entitas lainnya.

Sementara di saat sama, negara yang mereka pimpin, mampu tampil sebagai negara mandiri dan adidaya. Model kepemimpinan seperti ini memang takkan pernah ditemukan dalam model kepemimpinan manapun. Apalagi dalam sistem sekuler demokrasi yang minus dari dimensi ruhiyah, yang mencampakkan peran Allah SWT dalam pengaturan kehidupan.

Dengan demikian, sistem Islam yakni Khilafah justru memiliki mekanisme yang membuat kepemimpinan tak menjadi sesuatu yang menggiurkan. Bahkan justru menakutkan. Rasulullah Saw bersabda : “Dia yang berkuasa atas lebih dari sepuluh orang akan membawa belenggu pada hari kiamat sampai keadilan melonggarkan rantainya atau tindakan tiraninya membawa dia kepada kehancuran.” (HR. Tirmidzi).

Alhasil, betapa berat tanggungjawab kepemimpinan dalam pandangan Islam. Karena apa yang dilakukan seorang pemimpin dalam kepemimpinannya akan berimplikasi pada kehidupannya di akhirat kelak. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

Jabatan (kedudukan) pada permulaannya penyesalan, pada pertengahannya kesengsaraan (kekesalan hati) dan pada akhirnya azab pada hari kiamat.” (HR. Ath-Thabrani). Wallahu a’lam.

RISNAWATI