Angin Segar BPJS
Siapa ingin sakit? Tentu saja tak seorangpun ingin terbaring di bed rumah sakit dengan selang infus di tangannya. Namun sadar ataukah tidak, gaya hidup saat ini seolah menyetting manusia mudah sakit. Selain makanan dan minuman rasa bahan kimia, biaya hidup yang melangit membuat manusia mudah stress.
Walhasil, Puskesmas sampai ruang IGD tak pernah sepi. Bed rumah sakit selalu penuh. Bahkan, pengobatan alternatif juga ramai pengunjung. Meskipun setelah berobat, mereka harus merogoh kocek dalam-dalam, sebagai konsekuensi mahalnya biaya kesehatan saat ini.
BPJS Kesehatan dihadirkan sebagai solusi permasalahan tersebut. Prinsip gotong royong yang diusung, digadang bisa meringankan beban bagi yang kurang mampu. BPJS seolah menjadi angin segar bagi siapa saja ingin mewujudkan Indonesia sehat. Namun fakta tak seindah cita-cita. Seringkali pasien harus merogoh kocek lagi ketika dana dari BPJS tidak bisa mengcover biaya pengobatan. Rumah sakit pun bingung dengan klaim yang tak kunjung cair. Sementara BPJS Kesehatan sendiri mengaku rugi.
Memang sejak awal digagasnya program ini, diwarnai pro dan kontra. Mereka yang pro menganggap program ini sebagai sarana untuk membantu sesama. Yang kontra, ada yang mendasarkan pada alasan spiritual yaitu keharaman asuransi. Ada juga yang berpendapat hal ini melalaikan pemerintah dari tanggung jawabnya atas kesehatan rakyatnya. Selain itu, dalam program BPJS berpotensi terjadi penipuan.
“Kami menemukan 49 jenis fraud yang dilakukan pasien, BPJS, dan penyedia obat. Sebenarnya hasilnya sama,” Kata Dewi Anggraeni, Perwakilan ICW, dalam diskusi bertajuk BPJS Salah Kelola, Pelayanan Publik Disandera yang digelar di Cikini Jakarta Pusat. (Kompas.com. 13/10/2019).
Pemerintah membaca permasalahan ini terjadi karena kelalaian rakyat dalam membayar iuran bulanan BPJS. Baik itu iuran yang menunggak maupun nominal iuran yang kecil dengan harapan pelayanan maksimal.
Oleh sebab itu, pemerintah semakin galak dalam masalah ini. Beberapa langkah yang dilakukan pemerintah adalah sebagai berikut:
Pertama, mengusulkan kenaikkan iuran BPJS. Tidak tanggung-tanggung kenaikannya hampir seratus persen. Tarif iuran kelas mandiri I naik menjadi Rp. 160.000 per bulan per jiwa. Kelas mandiri 2 naik menjadi Rp. 110.000 per bulan per jiwa, sedangkan kelas mandiri 3 naik menjadi Rp. 42.000 per bulan per jiwa. Jika hal ini dilakukan, Menurut perhitungan Sri Mulyani Indrawati, maka defisit keuangan BPJS Kesehatan bisa berbalik menjadi surplus Rp.17,2 trilliun. (CNNIndonesia.com. 1/10/2019)
Kedua, sanksi bagi para penunggak iuran BPJS Kesehatan. Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris berkata, “Inpresnya sedang diinisiasi untuk sanksi pelayanan publik. Selama ini sanksi ada tapi hanya tekstual tanpa eksekusi, karena itu bukan wewenang BPJS” (Antara, 10/10/2019).
Pemerintah bakal menjerat siapapun yang menunggak iuran BPJS Kesehatan, bahwa mereka tidak akan bisa mengakses layanan : IMB, paspor, SIM, STNK dan sertifikat tanah. (www.Tagar.id. 12/10/2019)
Ketiga, mengerahkan 3.200 orang penagih yang bertugas menagih tunggakan iuran BPJS, menampung kritik dan saran serta merekrut peserta BPJS baru. (bisnis.tempo.co. 11/10/2019)
Langkah-langkah di atas tentu, menjadi dilema bagi rakyat. Di satu sisi, jaminan kesehatan adalah kebutuhan asasi. Namun, di sisi lain mereka harus membayar dengan biaya yang sangat mahal. Hal ini menjadi sesuatu yang sangat berat bagi rakyat di tengah-tengah kondisi ekonomi yang serba sulit.
Jaminan Kesehatan Islam
Islam memandang kesehatan sebagai kebutuhan pokok setiap warga negara yang wajib dipenuhi oleh negara. Imam Muslim pernah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW menyediakan dokter gratis untuk mengobati Ubay. Ketika Nabi SAW mendapatkan hadiah seorang dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi masyarakat. Begitu juga Umar bin Khaththab ra, saat menjadi khalifah, menyediakan dokter gratis untuk mengobati Aslam.
Jaminan kesehatan dalam Islam memiliki empat sifat. Pertama, universal, dalam arti tidak ada pengkelasan dan pembedaan dalam pemberian layanan kepada rakyat. Kedua, bebas biaya. Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya untuk mendapat pelayanan kesehatan. Ketiga, seluruh rakyat bisa mengakses dengan mudah. Keempat, pelayanan mengikuti kebutuhan medis, bukan dibatasi oleh plafon. (Buletin Kaffah edisi 11 Januari 2019)
Tentu untuk mewujudkannya, dibutuhkan biaya yang sangat besar. Biaya tersebut diambilkan dari sumber-sumber pemasukan yang telah ditentukan oleh syariah. Di antaranya, pengelolaan SDA, kharaj, jizyah, ghonimah, fa’i, dan sebagainya. Semua itu lebih dari cukup untuk memberikan pelayanan kesehatan secara memadai dan gratis. Kuncinya adalah menerapkan apa yang telah dicontohkan Rasulullah SAW dan para Khulafaur Rasyidin secara komprehensif dalam kehidupan kita. Wallahu a’lam.
DEPY SW