Gelombang PHK di Negara-negara Kapitalis

Gelombang PHK di Negara-negara Kapitalis
HAMSINA HALISI ALFATIH

Sektor perbankan global memang tengah diuji tahun ini dengan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) puluhan ribu pegawai bank ternama dunia. Di antaranya adalah bank terbesar Eropa, HSBC, yang dilaporkan bakal merumahkan 10.000 pegawainya. Melansir dari Reuters, yang mengutip dari Financial Times, langkah itu dilakukan HSBC sebagai upaya efisiensi anggaran. (cnbcindonesia.com, 12/10/19)

Disisi lain, kabar seputar tsunami PHK tak cuma melanda sektor perbankan dunia, perusahaan-perusahaan non bank pun melakukan PHK pada 2019 dan pada akhir 2018.

Iklan Pemkot Baubau

HP awal Oktober 2019 mengumumkan rencana memangkas lebih dari 10% karyawannya di seluruh dunia. Uber melakukan pemangkasan pada 435 karyawannya pada September 2019 atau sekitar 8% dari total pekerja perusahaan itu. LG Display Co Ltd, perusahaan asal Korea Selatan, mengumumkan rencana PHK karyawan pada 17 September 2019. Ford Motor Co dikabarkan akan melakukan PHK pada 12.000 karyawan dan menutup sejumlah pabrik. (cnbcindonesia.com, 12/10/19)

Pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak hanya dialami oleh negara AS dan China yang notabene-nya sebagai kampiun negara kapitalisme. Di Indonesia Sejumlah perusahaan besar melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran pada semester I 2019, mulai dari BUMN Krakatau Steel (KRAS) hingga Nissan Motor Indonesia. (Tirto.id, 1/08/19)

Gelombang PHK yang menimpa negara-negara maju dan berkembang, terlebih lagi Amerika sebagai kiblat negara kapitalisme justru tidak mampu membendung permasalahan ekonomi global dinegaranya sendiri. Jika Amerika maupun China saja tidak mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, bagaimana dengan negara yang menjadi pengekor kedua negara kapitalis tersebut.

Masifnya gelombang PHK yang menimpa perusahaan-perusahaan besar didunia tentu tak terlepas dari peranan sistem ekonomi kapitalis liberalisme serta beberapa faktor yang memicu hal tersebut. Diantaranya:

Pertama, faktor kalah daya saing yang mencangkup produktifitas institusi, infrastruktur, tenaga kerja, pasar keuangan, makro ekonomi,kesiapan teknologi, kecanggihan bisnis dan inovasi.

Kedua, efisiensi pengeluaran. Salah satu faktor penunjang majunya suatu perusahaan adalah kesiapan tenaga kerja yang terampil. Dan tentu hal ini pula harus sebanding dengan biaya pesangon yang diberikan perusahaan kepada tenaga kerja. Namun jika sekelas perusahaan besar saja menganggap bahwa gaji tenaga kerja adalah sebuah beban untuk mengurangi tekanan biaya produksi, maka tak heran perusahaan tersebut akan segera gulung tikar dan pada akhirnya memangkas dan merumahkan karyawannya.

Ketiga, Kecanggihan revolusi Industri 4.0 yang merupakan inovasi terbaru dalam bidang perindustrian agar lebih cepat menghasilkan barang produksi. Namun, persoalan revolusi industri 4.0 bukan sekadar perubahan pola produksi semata. Ada bahaya laten yang mengintai dan membuat hal ini menjadi topik yang harus disikapi serius. Karena  akan mengancam hilangnya beberapa lapangan pekerjaan di masa depan.

Mengutip laporan yang sama, WEF memprediksi akan ada 4,75 juta pekerja administrasi di 18 negara terancam dirumahkan karena disrupsi teknologi hingga 2020 mendatang. Tak ketinggalan, pekerja di bidang manufaktur sebanyak 1,6 juta orang juga berpotensi kehilangan pekerjaannya. ( cnnindonesia.com, 20/02/19)

Keempat, Ancaman Kapitalisme dan liberalisme. Ekonomi global tak terlepas dari peranan sistem ekonomi liberal, dimana keterlibatan investor asing sebagai pemilik modal terbesar menjadi tuan yang memotorik setiap perusahaan yang di investasinya. Jika perusahaan tidak mampu memberi keuntungan besar maka pihak investor pun tak segan-segan menarik diri sebagai pemilik modal.

Dalam industri pasar bebas  dipandang sebagai konsekuensi dari globalisasi ekonomi. Artinya jika ingin menjadi negara berkembang dan maju mau tidak mau harus menjalin kerja sama dengan negara lain. Sehingga dalam persaingan pasar bebas berakibat produk dalam negeri cenderung kalah bersaing dengan masuknya barang-barang luar negeri yang lebih murah dan berkualitas. Bertambahnya kemungkinan eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan. Munculnya ketergantungan terhadap negara maju. Bila tidak mampu bersaing, akan berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi negara dan meningkatkan jumlah pengangguran.

Karenanya ancaman ekonomi kapitalisme liberalisme sangat nyata dan tidak mampu membawa perubahan dalam mensejahterakan kehidupan masyarakat. Sekelas Amerika Serikat saja sebagai negara adi daya pun tidak mampu menjaminkan hal itu kepada masyarakatnya.

Berbeda halnya ketika sistem ekonomi global diatur di negara khilafah melalui 3 pilar sistem ekonomi islam. Yaitu;

Pertama, konsep kepemilikan, dimana Islam mengatur sedemikian rupa kepemilikan yang memungkinkan individu untuk memuaskan kebutuhannya seraya tetap menjaga hak-hak masyarakat. Islam membagi kepemilikan menjadi 3: milik pribadi, milik umum, milik negara.

Kedua, pengelolaan kepemilikan. Kepemilikian individu tertentu atas harta mencakup juga kegiatan memanfaatkan dan mengembangkan harta yang telah dimilikinya tersebut. Setiap muslim yang telah secara sah memiliki harta tertentu berhak untuk memanfaatkan dan mengembangkan hartanya. Hanya saja ia tetap wajib terikat dengan ketentuan-ketentuan Islam yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengembangan harta.

Pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan umum adalah hak negara, karena negara adalah wakil ummat. Hanya masalahnya, As-Syari’ telah melarang negara untuk mengelola kepemilikan umum tersebut dengan dibagi kepada pihak swasta.

Adapun mengelola kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan negara, As Syari’ juga telah memperbolehkan negara dan individu untuk mengelola masing-masing kepemilikannya, dengan cara barter (mubadalah) atau diberikan untuk orang tertentu ataupun dengan cara lain, asal tetap berpijak kepada hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh syara’.

Rasulullah saw bersabda:

“Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam di hari kiamat dari sisi RabbNya, hingga dia ditanya tentang lima perkara (yaitu): tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan, dan dalam hal apa (hartanya tersebut) ia belanjakan serta apa saja yang telah ia amalkan dari ilmu yang dimilikinya.” (HR. at-Tirmidzi no. 2416, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir jilid 10 hal 8 Hadits no. 9772 dan Hadits ini telah dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Silsilah al-AHadits ash-Ashahihah no. 946)

Ketiga, Distribusi kekayaan ditengah-tengah manusia. Adapun tata cara (mekanisme) distribusi kekayaan kepada individu, dilakukan dengan mengikuti ketentuan yang telah di syariat kan dalam islam baik secara ekonomis maupun non ekonomis. Jika dalam sistem ekonomi kapitalis kemakmuran masyarakat dinilai berdasarkan  banyaknya individu yang mempunyai modal besar tetapi distribusi tidak merata, sedangkan dalam sistem ekonomi islam yang dinyatakan masyarakat itu makmur ketika distribusi merata.

Dengan menjalankan konsep ekonomi islam inilah maka kesejahteraan masyarakat akan terwujud secara menyeluruh, dalam hal ini ketika islam diterapkan secara kaffah. Wallahu A’lam Bishshowab.

HAMSINA HALISI ALFATIH