Kebohongan yang Sistematis

Kebohongan yang Sistematis
SYIFA PUTRI UMMU WARABBATUL BAYT, KAB. BANDUNG

Habis manis sepah dibuang, inilah ungkapan yang pas untuk para buzzer.  Bagaimana tidak, ketika pemilu mereka dipelihara, dijadikan alat untuk memanipulasi opini publik, menyebarkan pesan propaganda untuk mendukung pemerintah, menyerang oposisi dan menciptakan polarisasi publik.

Pemerintah dan partai-partai politik Indonesia mengerahkan serta membiayai pasukan siber alias buzzer di media sosial untuk memanipulasi opini publik. Demikian hasil penelitian para ilmuwan dari Universitas Oxford, Inggris baru-baru ini (Faktakini.net 04/10/19)

Iklan Pemkot Baubau

Pengerahan buzzer oleh pemerintah Indonesia itu diulas dua ilmuwan Oxford, Samantha Bradshaw dan Philip N Howard dalam laporan bertajuk The Global Disinformation Order, 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation.

Tapi Hal ini sudah tidak dianggap perlu lagi, karena dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang.. Karena yang diperlukan adalah dukungan-dukungan politik yang lebih membangun, bukan dukungan politik yang bersifat destruktif, inilah penggalan kalimat yang dilontarkan oleh Moeldoko.

Lantas apa jadinya, pemimpin yang dihasilkan oleh para buzzer? Kekuasaan yang didapat dengan cara yang batil tidak akan berkah. Pasti pula akan melahirkan pemimpin yang curang. Adagium mengatakan, suatu kebohongan akan ditutupi dengan kebohongan lain. Kecurangan akan ditutupi dengan kecurangan berikutnya. Kejahatan akan ditutupi dengan kejahatan lainnya. Akhirnya, lahir rangkaian kebohongan, kecurangan dan kejahatan. Bila kecurangan, kebohongan dan kejahatan itu dilakukan oleh banyak orang, maka akan melahirkan rezim curang, bohong dan jahat. Nabi Saw, bersabda : “Jika seorang pembohong menjadi pemimpin, maka bukan  hanya rakyatnya yang akan menjadi korban, negerinya pun bisa dikorbankan”.

Fenomena munculnya pemimpin pendusta/pembohong sudah diprediksi pula  kehadirannya oleh Nabi Saw.:

Sungguh akan ada sesudahku para pemimpin. Siapa saja yang membenarkan kebohongan mereka dan membantu kezaliman mereka maka dia bukan golonganku dan aku pun bukan golongannya; ia pun tidak akan masuk menemaniku di telaga. Sebaliknya, siapa yang tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak membantu kezaliman mereka maka ia termasuk golonganku dan aku termasuk golongannya; ia pun akan masuk ke telaga bersamaku (HR an-Nasa’i, Al Baihaqi dan Al-Hakim).

Jika dusta dan kezaliman mewabah, maka yang terjadi adalah musibah, di dunia dan akhirat. Karena sesungguhnya kedustaan akan membimbing menuju kejahatan, dan kejahatan akan membimbing menuju neraka.

Dan apabila kedustaan itu dibiarkan dan didukung, jadilah kedustaan yang sistematis. Akhirnya yang dusta dianggap benar, sementara yang jujur dan memegang kebenaran dianggap salah. Ini seperti kabar dari Nabi Saw:

“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh tipu daya, dimana pendusta dipercaya dan orang jujur didustakan, pengkhianat diberi amanah dan orang yang amanah dikhianati, dan berbicara di zaman itu para ruwaibidhoh.” Ditanyakan, siapakah ruwaibidhoh itu? Beliau bersabda, “Orang bodoh yang berbicara dalam masalah umum.” ( HR. Al-Hakim).

Hakikatnya lahirnya pemimpin pembohong itu, yang paling mendasar karena  faktor sistemnya. Sistem yang buruk pasti akan melahirkan orang-orang yang buruk di dalamnya. Apalagi jika sistem tersebut tidak didasari oleh keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Semua kebijakan ditentukan oleh nafsu kekuasaan dan kepentingan pribadi dan kelompoknya saja.

Selain itu sistem yang buruk akan melanggengkan kekuasaan yang buruk pula. Maka diperlukan sebuah perubahan mendasar secara sistemik. Hanya sistem yang baik saja yang akan mampu melahirkan negara yang baik dan rakyat yang baik pula. Sistem yang baik hanya datang dari Dzat yang Maha Baik, bukan dari manusia yang lemah dan egois/mementingkan dirinya sendiri.

Sistem yang baik memerlukan pemimpin yang amanah, jujur dan bertakwa kepada Allah Swt. Bukan pemimpin yang pembohong, mengumbar janji, dan tidak menaati aturan ilahi.

Alhasil, kaum muslim harus menolak hukum yang bukan berasal dari Al-Quran dan As-Sunah, yakni demokrasi dan kembali ke pemikiran politik Islam yang memberi kita pendekatan khusus untuk negara dan masyarakat yang sepenuhnya sesuai dengan fitrah manusia. Yakni sistem Islam yang disebut Khilafah yang dipimpin oleh Khalifah  Sistem khilafah bukanlah demokrasi atau kediktatoran, bukan teokrasi atau oligarki. Sistem Islam menghantarkan seorang penguasa laki-laki yang adil yang dipilih oleh umat Islam lewat bay’at.

Ketentuan bay’at tersebut menunjukkan bahwa Islam telah menjadikan kekuasaan di tangan umat. Sehingga umat berhak mengangkat siapa saja yang mereka pilih dan mereka bay’at untuk menjadi khalifah. Dalam akad bay’at tersebut, kekuasaan yang dimiliki umat itu diserahkan kepada khalifah untuk mengatur urusan rakyat berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Dalam hal ini, khalifah merupakan wakil umat untuk menjalankan hukum Islam (kedaulatan syara’) dalam kehidupan bernegara, bukan untuk menjalankan kedaulatan rakyat sebagaimana sistem sekular-demokrasi. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

SYIFA PUTRI UMMU WARABBATUL BAYT, KAB. BANDUNG