Kapolda Sulawesi Tenggara (Sultra), Brigjen Pol Merdisyam menampik adanya dua oknum polisi terperiksa hilang yang terkait kasus kematian Randy dan Yusuf Kardawi saat aksi unjuk rasa 26 September 2019 lalu.
Menurutnya, hal itu dikarenakan tidak dilaporkannya kepada bagian logistik anggota yang menggunakan senjata api, malainkan menyampaikan pada bagian masing – masing.
Olehnya itu, lanjut Kapolda Sultra, anggota terperiksa yang awalnya 14 orang menjadi 8 orang. Dua diantaranya tidak melaporkan ke bagian logistik.
“Bukan hilang, tapi dari 14 orang yang diperiksa menjadi 8, kemudian menjadi 6 karena dua ini yang disebut “Hilang” itu karena melapor di bagiannya, tidak melaporlkan ke logistik, sehingga tidak diketahui, nanti belakangan baru ditau kalau sudah melaporkan melalui bagiannya, sehingga tidak termasuk yang diperiksa,”kata Kapolda Sultra di gedung LPP RRI Kendari dan dihadapan pengurus PWI Sultra.
Sebelumnya diberitakan media ini,
Rintihan Korban Unjuk Rasa Tolak Pengesahan RUU di DPRD Sultra
“Apa salahku, anakku juga dua mahasiswa UHO, kantin dan motorku dibakar”
Penggalan kalimat diatas merupakan rintihan pemilik kantin di sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Tenggara (Sultra). Mereka merasa tak bersalah, namun menjadi korban kerusuhan september berdarah saat aksi unjuk rasa 26 September 2019 lalu yang menewaskan dua mahasiswa UHO, Randy dan Yusuf Kardawi.
Ratusan juta raib karena dibakar massa aksi. Padahal penghasilan kantin yang disewa tersebut merupakan jeri payah untuk membiayai dua anaknya yang sedang menempuh pendidikan di UHO Kendari.
Hj. Naima Syamsuddin, pemilik kantin DPRD Sultra bersama kedua anaknya yang masih kuliah di UHO Kendari terpaksa membuka kantin di emperan masjid yang tak digunakan lagi di lokasi DPRD Sultra.
Dirinya berharap, kejadian serupa tak terulang, sebab merasa tak bersalah dengan aksi penolakan pengesahan RUU KUHPidana.
Mereka mengalami kerugian akibat amukan massa aksi. Menjadi korban. Dua unit motornya dibakar, padahal motor tersebut yang digunakan kedua anaknya ke kampus untuk kuliah.
“Kami cuma sewa kantin itu, dan membayar pajak. Kami tak punya salah soal rencana pengesahan RUU KUHPidana, tapi kami jadi korban. Kantin kami dibakar, semua barang jualan hangus. Dua motor yang digunakan anakku ke kampus ikut dibakar, apa salahku. Tak ada yang peduli apa yang kami alami, tapi kami merintih atas musibah ini,”ucap Naima dengan mata berkaca – kaca.
Naima bercerita, saat kejadian dirinya bersama seorang cucu serta anaknya berusaha menyelamatkan diri, mencari tempat yang aman.
Keajaiban
Tak ada harta yang dapat diselematkan, kata Naima, peristiwa september berdarah itu memberikan keajaiban, mesti dibakar habis kantinnya.
Dirinya bersyukur masih menemukan uang senilai 100 dos air mineral kemasan gelas atau sekitar Rp 4 juta rupiah yang tersimpan dalam kantung kresek yang sudah terbakar.
Uang tersebut disediakan untuk membayar 100 dos air mineral yang baru saja diisi di kantin itu.
Usai mengisi air mineral, lalu massa aksi september berdarah membakar habis. Tak ada yang tersisa. Tak ada perhatian dan kepedulian, “Allahu Akbar”ucapnya sembari membasuh wajahnya yang pucat.
PENULIS: MAS’UD, SH KETUA TINGKAT MAHASISWA PASCASARJANA HUKUM UNSULTRA ANGKATAN I 2019