Kaum muslimin meskipun sama-sama menjalankan agama islam, tetap berbeda-beda dalam memandang demokrasi sebagai sebuah aturan kehidupan yang ditetapkan untuk dijalani pada saat ini. Adapun perbedaan pendapat itu, setidaknya ada tiga macam, diantaranya:
1. Menganggap bahwa demokrasi merupakan bagian dari Islam sebab di dalam Islam pun menganut musyawarah sama halnya dengan demokrasi yang juga di dalamnya terdapat musyawarah untuk mendapatkan suatu ketetapan
2. Demokrasi bertentangan sekali dengan Islam dan tidak sesuai dengan Islam
Inti dari ajaran demokrasi itu tidak sesuai dengan Islam sebab kedaulatan berada di tangan rakyat, hak tertinggi untuk menetapkan aturan benar dan salah, baik dan buruk, halal dan haram. Padahal yang berhak menetapkan hukum itu adalah Allah Swt bukan manusia lewat wakil-wakil rakyat. Sedangkan manusia bukanlah penetap ketentuan Allah Swt tapi pelaksana dari aturan yang ditetapkan. Kita tidak bisa merubah aturan yang sudah ditetapkan itu. Sebab Allah Swt lah satu-satunya yang berhak atas penentu dan penetap segala ketentuan itu. Bagaimana pun jeniusnya manusia, tetap manusia memiliki kelemahan dan keterbatasan termasuk dari segi pemikirannya. Maka ia tak akan mampu menerapkan aturan kehidupan atau mengganti ketetapan yang sudah Allah Swt tetapkan dengan sesuatu yang lain yang bertentangan atau berbeda. Bahkan ia butuh kepada sesuatu yang lain, yang tidak lemah dan juga tidak terbatas yaitu Allah Swt, maka sudah selayaknya kita berhukum menurut apa yang sudah Allah Swt tetapkan sebagai pencipta dan pengatur alam raya ini beserta segala yang ada di dalamnya.
3. Demokrasi bukan berasal dari Islam tapi bisa dimanfaatkan bagi kebangkitan Islam dan Islam bisa memberi warna pada demokrasi
Pandangan ini diadopsi karena Islam juga menempuh jalan musyawarah. Seorang muslim tidak boleh menyamakan dua hal yang berbeda hanya berdasarkan kesamaan beberapa hal, karena ini akan mendapatkan kesimpulan yang salah. Contoh kasusnya : dalam Islam ada musyawarah dan sangat dianjurkan, di dalam demokrasi pun ditempuh dengan musyawarah. Lalu disimpulkan bahwa demokrasi sama dengan Islam, ini adalah kesimpulan yang keliru. Sebab musyawarah pun tidak selalu digunakan tetapi ada hal-hal yang tidak bisa dimusyawarahkan, yaitu perkara-perkara yang sudah jelas ketetapan hukumnya. Musyawarah hanya boleh dilakukan pada perkara-perkara tertentu saja, bukan pada setiap perkara.
Musyawarah tidak boleh terkait dalam perkara-perkara tasyrik seperti peredaran minuman keras boleh atau tidak sebab hal itu sudah jelas pelarangannya. Tapi kalau masalah taktik ataupun teknis pelaksanaan syariat, maka boleh ditempuh dengan jalan musyawarah. Contohnya saat akan menghadapi pasukan kafir Quraysi di dalam atau di luar Madinah pada saat akan melakukan perang uhud. Ini boleh diputuskan dengan musyawarah dan Rasul Saw menempuh jalan ini. Rasul Saw dalam perkara ini melepaskan pendapatnya sendiri dan mengambil pendapat terbanyak saat itu. Teknis memusnahkan minuman keras dan prostitusi juga bisa diselesaikan dengan menempuh jalan musyawarah.
Yang harus dipahami bahwa dalam perkara tasyrik ataupun Syari’at, itu tidak bisa dimusyawarahkan tapi merujuk kepada sumber-sumber dan dalil-dalil hukum syara’ yaitu yang terdapat dalam al-qur’an, sunnah, ijma’ sahabat dan qiyas. Tapi masalah-masalah yang terkait teknis, boleh diselesaikan dengan menempuh jalan musyawarah dan musyawarah itu haruslah dilakukan oleh orang – orang yang ahli dibidangnya. Di dalam suatu majelis musyawarah suatu peperangan, Rasul Saw pernah ditanya oleh para sahabat, apakah ketentuan itu pendapat beliau atau wahyu dari Allah Swt. Maka pada saat itu Rasul Saw katakan bahwa itu murni pendapat beliau bukan dari wahyu, maka sahabat ra tersebut mengusulkan sesuatu yang lain yang lebih bagus idenya maka hal itu diterima oleh Rasul Saw. Begitupun pada perang khandak, Rasul Saw mengambil pendapat Salman Alfarisy yang memang lebih ahli di bidangnya dalam perkara tersebut, pada saat itu kasusnya adalah pembuatan parit sebagai perlindungan kaum muslimin dan tantangan bagi musuh.
Untuk itu, haruslah bagi kita mengambil sikap yang tegas dalam perkara-perkara yang sudah ditetapkan oleh syariat, itulah pentingnya memahami ajaran islam yang pure agar kita tak terjebak pada perilaku-perilaku yang salah atau bahkan bertentangan dengan Islam. Sebab bila keliru, tentu kita akan menjadi bagian dari orang-orang yang memiliki andil dalam kehancuran Islam, termasuk dalam perkara ide dasar yang memang harus disikapi dengan bijak. Jadilah muslim yang cerdas yang senantiasa memurnikan ketaatan pada Allah Swt dengan belajar, memahami dan mengajarkan ajaran Islam sebagai upaya pencerdasan bagi kebangkitan kaum muslimin. Wallahu ‘alam bishahwab
MILA SARI, S.TH.I PENULIS, PENDIDIK GENERASI DAN MEMBER AKADEMI KREATIF