Belajarlah dari kesalahan, jangan terjatuh di lubang yang sama dua kali. Ungkapan ini sesuai dengan fakta hari ini. Rezim jilid dua telah resmi dilantik, kegagalan demi kegagalan akan semakin terkuak. Seperti, karhutla yang belum tuntas, impor pangan yang mencekik leher petani dan rakyat, pemalakan BPJS semakin menyakiti rakyat, dan mimpi menuntaskan kemiskinan di tahun 2045.
Dilansir oleh m.cnnindonesia.com, pada tanggal 19 Oktober 2019, Joko Widodo akan kembali memimpin pemerintahan untuk lima tahun ke depan. Dia menjadi presiden hingga 2024 ditemani wakil presiden Ma’ruf Amin. Ada sejumlah visi dan misi yang dicanangkan, itu semua juga sudah dipaparkan selama kampanye saat Pilpres 2019 masih berjalan.
Jokowi-Ma’ruf Amin bertekad menjalankan program-program tersebut. Akan tetapi, bukan berarti Jokowi bisa sepenuhnya fokus merealisasikan janji kampanyenya, lalu mengabaikan permasalahan yang muncul di periode pertama. Sebut saja soal penanganan radikalisme, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), kerusuhan di Papua, masalah korupsi dan KPK, pertumbuhan ekonomi, serta beberapa hal lainnya. Tentu publik bakal menyorot warisan masalah di periode pertama jika muncul kembali di periode kedua.
Pengamat teroris Al Chaidar menilai penanganan radikalisme dan terorisme di periode pertama Jokowi terbilang payah. Ia menilai hal ini terjadi karena Jokowi tidak serius menangani persoalan yang satu ini.
Masalah lain dalam periode pertama Jokowi adalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Asap membubung tinggi ke langit di berbagai daerah, khususnya di Sumatera dan Kalimantan. Asap karhutla ini bahkan sampai memakan korban jiwa.
Kepemimpinan adalah amanah. Siapa saja yang memegang kepemimpinan ini pasti akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt di akhirat kelak. Rasulullah Saw bersabda:
“Seorang imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus. (HR al-Bukhari dan Muslim).
“Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka. (HR Abu Nu’aim).
“Tidaklah seorang penguasa diserahi urusan kaum muslim, kemudian ia mati, sedangkan ia menelantarkan urusan mereka, kecuali Allah mengharamkan surga untuk dirinya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Sebab itu, generasi salafush-shalih pada masa lalu umumnya khawatir bahkan takut dengan amanah kepemimpinan (kekuasaan). Apalagi mereka sangat memahami sabda Nabi Saw:
“Kalian begitu berhasrat atas kekuasaan, sementara kekuasaan itu pada hari kiamat kelak bisa berubah menjadi penyesalan dan kerugian. (HR Nasa’i dan Ahmad).
Islam tidak melarang siapa pun yang ingin berkuasa. Pada masa kepemimpinan Abu Bakar, sepakat mengusulkan Umar bin Khaththab menggantikan beliau yang sudah sakit-sakitan. Dari segala segi, Umarlah figur yang pantas untuk menjadi khalifah berikutnya.
Namun, bukannya gembira, Umar malah keras menentang pencalonan dirinya seraya menyatakan apakah mereka semua akan menjerumuskan dirinya ke dalam neraka? Tentu karena Umar sangat menyadari bahwa jabatan bukanlah tempat empuk untuk meraup ketenaran, kekuasaan, harta apalagi wanita. Dalam pandangan Umar, jabatan dan kekuasaan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt di akhirat kelak.
Dengan kata lain, jabatan sesungguhnya adalah beban, yang bila tidak ditunaikan dengan sebaik-baiknya, akan membawa pada kehinaan dan penyesalan.
Sejarah mencatat bahwa Umar bin Khaththab benar-benar menjalankan kepemimpinannya dengan sangat baik. Ia mengerahkan segala kemampuan, waktu, tenaga dan pikirannya untuk melaksanakan amanah ini.
Ia tidak menjadikan jabatan khalifah untuk mengeruk keuntungan material. Ia yang sebelumnya termasuk orang kaya, justru setelah menjadi khalifah berubah menjadi miskin. Pernah sekali waktu ia agak terlambat datang ke masjid untuk shalat Jumat karena ia terpaksa harus menunggu baju yang satu-satunya kering setelah dicuci.
Ia juga melarang keluarga dan karib kerabatnya mengambil keuntungan dari jabatannya itu. Anaknya, Abdullah bin Umar, ia larang berbisnis karena khawatir orang bertransaksi dengan dia bukan karena sosok Abdullah sebagai pribadi, tetapi karena dia anak Umar.
Demikianlah Umar bin Khaththab ra yang memimpin umat Islam dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama. Namun, dalam waktu yang singkat itu, beliau berhasil mencapai kemajuan yang luar biasa. Kemakmuran melingkupi segenap negeri.
Keamanan, ketentraman dan kedamaian dirasakan oleh seluruh rakyat. Dalam kepemimpinan Umar pula, Persia sebagai salah satu adikuasa pada waktu itu, berhasil ditaklukan sekaligus menandai kemunculan Islam sebagai adikuasa baru, berdampingan dengan Romawi.
Pemimpin yang adil tidak mungkin lahir dari rahim sistem demokrasi sekuler yang jauh dari tuntunan Islam. Sistem zalim ini hanya bisa menghasilkan para pemimpin zalim, tidak amanah dan jauh dari sifat adil. Pemimpin yang adil hanya lahir dari rahim sistem yang adil. Itulah sistem Islam, yang diterapkan dalam institusi pemerintahan Islam, yakni khilafah.
Tidakkah kita merindukan kembali kehadiran sistem Islam di tengah-tengah kita, yang bisa melahirkan para pemimpin yang adil dan amanah seperti Umar bin Khaththab ra? Wallahu a’lam bishshawab.
YANYAN SUPIYANTI AMD