Tepat 91 tahun lalu, semua perbedaan disatukan. Tak ada lagi yang berdiri sendiri-berdiri. Baik atas nama golongan, suku, dan ragam beda lainnya. Semua satu. Atas nama pemuda. Sejarah itu tepat pada 28 Oktober 1928.
Penyatuan ini bangkit dari kesadaran pemuda, bahwa negerinya sedang terjajah. Dan untuk melepas diri dari belenggu kolonial, hanya bisa dicapai dari perlawanan kolektif. Artinya tak lagi berdiri atas nama primordialisme.
Jati diri kesejarahan Sumpah Pemuda, adalah misi penyatuan. Bukan yang lain. Sumpah Pemuda adalah menyatukan pemuda dari berbagai perbedaan.
Sebagai bangsa yang besar mestinya kita pandai dan belajar menghargai sejarah. Sumpah Pemuda itu aset monumental pemuda. Ada sisi keberlanjutan nilai yang wajib dirawat. Upaya itu tidak hanya sekedar ucapan selamat. Ia mesti dan tumbuh dan dipersamai kesadaran. Bahwa kita mesti saling merangkul.
Dalam perjalanan sejarah, tak proses yang saling mengingkari. Tak ada sesuatu hal yang boleh diputuskan. Semua berjalan pada mata rantai keberulangan. Apa yang terjadi saat ini sesungguhnya adalah pengulangan masa lalu.
Secara sederhana, sejarah didefinisikan sebagai masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Kita perlu duduk untuk berbicara soal ini. Berbicara tentang kontinuitas sejarah yang artinya jauh dari sekedar perayaan. Apakah masih ada satu kesadaran untuk bersatu dan duduk berbicara?
Pasca Orde Baru, rasanya tak ada lagi common enemy, yang mempersamai kita pada warna yang sama. Pada tujuan dan ikhtiar kolektif. Pemuda pada 91 tahun lalu, sadar dan satu karena telah menemukan musuh bersama, yakni kolonialisme. Mereka direkat oleh kesamaan cita, kemerdekaan. Sekarang apa?
Pemuda rentan friksi. Sangat susah untuk saling mengakui. Masing-masing berdiri di atas golongan. Berbuat dan menang karena syahwat kelompok. Pemuda dibeda-bedakan oleh dirinya sendiri. Sangat susah menemukan titik temu ketika bicara perjuangan. Pada perjuangan jua, sangat susah berbicara kesejajaran. Pemuda sedang dihadapkan masalah internal. Tentang penyatuan diri.
Okelah saya sedang menghakimi. Tapi coba tunjukkan dimana titik dan ruang eksistensi kepemudaan, yang didalamnya tengah berbicara kebersamaan? Masih adakah yang getol berdiskusi soal perjuangan kolektif?
Sekiranya peradaban itu dinamis, maka barangkali pemuda sedang di etape ini. Sangat dinamis. Bahkan dilanda kegalauan eksistensi. Pada puncak kegalauan, maka memenangkan perbedaan sekiranya bisa memuaskan hasrat eksistensi. Merasa bangga, bila kelompoknya tercatut sebagai klan terkuat di panggung kebangsaan.
Contohnya, usai pembagian jatah menteri, yang dicari adalah nama-nama alumni. Betapa bangga bila banyak alumni yang tercatut dalam deretan kuasa praktis. Lalu, ikut membesar-besarkan diri. Apa itu? Ini artinya gejala perbedaan memang tengah tumbuh geloranya. Ingin merasa kuat apabila mengalahkan kelompok yang lain.
Sesungguhnya, tak ada yang menghendaki kita untuk berbeda. Perbedaan adalah hukum alam. Semua telah digariskan sebagai sebuah keniscayaan. Tuhan pun telah mengingatkan. Perbedaan itu mutlak adanya. Kenapa? Agar saling kenal mengenal. Inilah poinnya.
Perbedaan diniscayakan, bukan sebagai perpecahan. Ia adalah titik tumpu kekuatan, dan kekayaan warna serta pemikiran. Ini yang harus diantar pada titik temu. Dalilnya, tak tercapai bila diartikan jalan sendiri-sendiri. Cobalah duduk bersama, meski untuk sekedar ngopi,dan saling mengakrabi. Sembari diskusi tentang kesamaan perjuangan. Alangkah indahnya.
Hakikatnya semua perpedaan punya tujuan yang sama. Warna bendera boleh berbeda, tapi ruh perjuangan tetap sama. Tinggal warisan ideologi yang perlu ditiupkan, bahwa sesungguhnya gelora kita adalah nasionalisme. Berbeda, karena kita Indonesia.
Yup sudah. Mari seruput kopi! Selamat ulang tahun yang ke- 91.
JUFRA UDO