Akulah sejelek-jelek kepala negara apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan (Khalifah Umar bin Khattab)
Hari Pangan Sedunia atau World Food Day sedianya diperingati setiap tanggal 16 Oktober 2019. Namun pelaksanaannya diundur 2-5 November mendatang. Bertempat di Kendari, Sulawesi Tenggara.Dengan tema, “Tindakan kita adalah masa depan kita. Pola Pangan sehat untuk #Zerohunger 2030.”
Pada tahun lalu, peringatan Hari Pangan ke-38 ini digelar di Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Kala itu, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan, pemerintah bertekad menjadikan lahan rawa sebagai tempat untuk merealisasikan ketersediaan pangan di masa depan, menyusul meningkatnya jumlah pertumbuhan penduduk dan menyusutnya lahan pertanian. (tirto.id, 3/10/2019)
Entah apakah rencana tersebut bakal diteruskan oleh pejabat baru, hanya saja masalah pangan ini merupakan tantangan serius bagi pemerintah. Sebab, pada 2018 itu pula, masalah gizi buruk dan campak malah menjadi kejadian luar biasa (KLB) di Papua. Kementerian Kesehatan juga mengakui bahwa angka persoalan gizi buruk masih cukup tinggi di wilayah NTT dan Papua Barat.
Tambahan lagi, menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 level nasional, ada 30,8 persen anak usia di bawah lima tahun (balita) mengalami kekurangan gizi sehingga menyebabkan anak tidak tumbuh sempurna (stunting).
Prihatin? Sudah pasti. Stunting dan kelaparanibarat bayang hitamdi balik gelaran HPS. Kemeriahan acara bukan tak mungkin kanberbalut ironi.
Sebuah Ironi
Bicara pangan laiknya bicara pemanfaatan lahan secara optimal untuk sumber pangan. Namun belum lagi rawa disulap menjadi sawah, terungkap hal yang bikin resah.
Lahan produktif dikabarkan hilang! Bagaimana mungkin? Tidak tanggung-tanggung luasnya hingga 650 ribu hektar.
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana (PSP) Kementan Sarwo Edhi mengungkapkan Indonesia kehilangan 650 ribu hektare lahan sawah.
“Jadi kita kehilangan 650 ribu hektare (lahan sawah),” kata dia ditemui usai rapat koordinasi di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (detik.com, 16/10/2019).
Di satu sisi menggagas alih fungsi rawa, lahan yang ada justru hilang. Parahnya lagi jikalenyapnyademi kepentingan komersial.
Padahal mengutip laman antaranews, “Mencapai Tanpa Kelaparan (zero hunger) tidak hanya tentang mengatasi kelaparan, tetapi juga memelihara kesehatan manusia dan bumi. Tahun ini, Hari Pangan Sedunia menyerukan tindakan lintas sektor untuk membuat pola pangan yang sehat (Healthy Diet) dan berkelanjutan dapat diakses dan terjangkau bagi semua orang. Kita mengajak semua orang untuk mulai berpikir tentang apa yang kita makan,” kata Kepala Perwakilan FAO Indonesia, Stephen Rudgard. (16/10/2019).Untuk itu dituntut partisipasi aktif dari pihak petani, pemerintah, peneliti, sektor swasta juga konsumen.
Sampai di sini ambisi zerohunger2030 yang menjadi slogan FAO makin jauh panggang dari api. Laporan Global Index Hunger2018 menyebutkan bahwa masalah kelaparan di Indonesia berada pada urutan 73 dunia dengan skor tinggi yaitu 21,9. Bahkan untuk level Asia Tenggara bertengger di tiga terbawah di atas Kamboja dan Laos.
Untuk Sulawesi Tenggara sendiri, jumlah penduduk miskin di Sulawesi Tenggara pada bulan Maret 2019 adalah 302,58 ribu orang (11,24 persen), bertambah sebesar 0,73 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2018 yang berjumlah 301,85 ribu orang (11,32 persen). (bps.go.id, 15/7/2019).
Kebijakan yang selama ini diambil para Elit penguasa pun tak kalah ajib. Alih-alih memberdayakan seluruh potensi lahan dan sumber daya guna mengatasi kelaparan, justru menelurkan masalah baru. Antara lain dengan membuka keran impor untuk segala komoditas. Mulai dari beras, gula, kedelai, garam hingga ikan asin. Nasib petani, peternak, nelayan terlebih petani penggarap pun seolah digiring ke ujung tanduk. Jangankan difasilitasi berupa pembiayaan pertanian malah berjuta hektar lahan produktif dikonversi. Ujungnya swasta alias korporat terdepan mendominasi.
Jujur, menilik problemnya sekilas amat kompleks. Tetapi dapat diurai dari mana akarnya bermula. Tak dapat dipungkiri kebijakan yang berkiblat pada sistem kapitalismelah biangnya. Terbukti impor demi impor yang dilakukan menyulap negeri ini tak lebih sebagai market, pasar bagi barang produksi negara kapitalis.
Bagaimana mungkinprogram Healthy Diet yang dicanangkan mencapai sasaran jika untuk makan saja sukar? Andai mudah pun hanya terjangkau bagi yang berdompet subur tapi tidak bagi yang fakir.
Sedia Pangan untuk Dunia dengan Islam
Jika biang masalahnya ada pada ideologi kapitalisme yang berlaku. Maka mutlak butuh perubahan. Andai Islam yang diterapkan tentu tak demikian. Selama penerapan Islam terbukti berjaya hingga berabad lamanya.
Sebabnya tak lain karena datang dari Sang Pencipta yang Maha Tahu melalui perantaraan manusia mulia, Baginda Nabi Muhammad saw. Iman landasannya, sempurna syariatnya. Termasuk dalam mewujudkan ketahanan pangan dunia.
Islam memandang pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi per individu. Seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak bila ada satu saja dari rakyatnya yang menderita kelaparan.
Maka syariah Islam sangat menaruh perhatian pada upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan. Dalam Islam, tanah-tanah mati yaitu tanah yang tidak tampak adanya bekas-bekas tanah itu digarap, bisa dihidupkan oleh siapa saja baik dengan cara memagarinya dengan maksud untuk menjadikannya produktif atau menanaminya. Berikutnya tanah itu menjadi milik orang yang menghidupkannya itu. Rasul bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud).
Syariah Islam juga menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang baik. Negara wajib menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar, seperti penimbunan, riba, monopoli, dan penipuan. Negara juga harus menyediakan informasi ekonomi dan pasar serta membuka akses informasi itu untuk semua orang sehingga akan meminimalkan terjadinya informasi sepihak yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar mengambil keuntungan secara tidak benar.
Dari aspek manajemen rantai pasok pangan, kita dapat belajar dari Rasul saw. yang pada saat itu menaruh perhatian besar terhadap persoalan akurasi data produksi. Beliau mengangkat Hudzaifah ibnal-Yaman sebagai katib (juru tulis) untuk mencatat hasil produksi Khaibar dan hasil produksi pertanian.
Demikianlah sebagian gambaran syariah Islam memberikan solusi pada masalah pangan. Sempurnanya konsep tersebut tentu baru dapat dirasakan kemaslahatannya dan menjadi rahmatan lil alamin diterapkan secara kaffah oleh negara.
Usah ragukan firman Allah swt: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS Al- A’raaf : 96). Wallaahua’lam.
UMMU ZHAFRAN