Si kaya membantu si miskin, Si sehat menolong yang sakit,
Jargon inilah yang menopang BPJS sebagai badan penyelenggara kesehatan dalam melayani kesehatan masyarakat, mulai dari pelayanan kesehatan terhadap ekonomi menengah bawah hinggapelayanan kesehatan kepadaekonomi menengah ke atas. Jargon ini pula dibangun dengan tujuan saling bahu membahu dan saling tolong menolong dari pembayaran premiyang tinggi hingga bisa menutupi kekurangan premi yang rendah.
Dalam perjalanannya menjadi pelayan bagi kesehatan masyarakat, BPJS banyak menghadapi masalah yang serius, misalnya adanya defisit dan tunggakan pembayaran premi dari pihak Rumah Sakit daerah yang bermitra dengan BPJS serta pihak masyarakat yang tidak membayar premi secara tepat waktu.
Badan penyelenggara kesehatan ini didirikan pemerintah dengan melebur beberapa jaminan kesehatan pada seluruh sektor, misalnya lembaga jaminan kesehatan nasional(JKN), Jamsostek, Jamkesmas maupun Askes bagi pegawai negeri sipil. Dalam pelaksaan teknisnya, masing-masing kalangan membawar premi sesuai golongan dan tingkat kemampuan finansialnya.
Prinsip dasar bahu membahu dan tolong menolong yang diprogramkan pemerintah tentunya tak berimplikasi positif, sebab setiap kebutuhan pasien berbeda-beda ketika mereka mendapatkan pelayanan kesehatan.
Maka dari itu, hal ini pula yang membuat pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat tidak berbanding lurus dengan jargon dan pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan. Faktanya banyak masyarakat yang belum memiliki kemampuan membayar premi setiap bulannya.
Begitupun masih banyak kalangan yang menjalankan program tersebut, namun belum maksimal mendapatkan pelayanan kesehatan memadai ketika berobat. Maka hal inilah yang membuat BPJS menuai pro dan kontra sejak diterbitkan sekitar tahun 2013-2014.
BPJS Pro Kesehatan Masyarakat?
Sejak kemunculannya sebahagian masyarakat tidak menyetujui program yang digelontorkan oleh pemerintah tersebut. Pasalnya program kesehatan yang sebelumnya bisa dijangkau oleh masyarakat ekonomi ke bawah tanpa membayar lagi premi setiap bulannya, harus gigit jari karena harus melakukan pengisian administrasi golongan kerja agar bisa mendapatkan pelayanan kesehatan, bahkan harus melewati serangkaian administrasi panjang agar bisa mendapatkan pelayanan kesehatan dari para dokter ahli.
Namun sejak peleburan layanan kesehatan pada seluruh sektor golongan kerja membuat sebahagian masyarakat berfikir dua kali berurusan dengan dokter dan rumah sakit. Mirisnya, sakit ataupun tidak sakit tetap wajib membayar premi.
Hal inilah yang menjadi perhatian sebahagian masyarakat golongan ekonomi bawah, bahwa pada dasarnya fungsi dan tanggungjawab negara kini beralih secara mandiri kepada masyarakat untuk membiayai pelayanan kesehatan sendiri.
Ironisnya, polemik ini pada akhirnya membuat badan penyelenggara kesehatan negara ini (BPJS) yang bergerak dalam bidang asuransi ini mengalami defisit anggaran karena banyaknya tunggakan dari rumah sakit serta masih banyaknya masyarakat yang belum sepenuhnya mampu membayar premi setiap bulannya. Mirisnya, pembayaran premi disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga yang ditanggung oleh kepala keluarga.
Fakta di lapangan pun tak bisa dihindarkan, premi kelas ekonomi bawah harus merasakan perih dan sakit yang bertambah saat harus berobat dengan obat dan pelayanan kesehatan standar. Misalkan pelayanan kesehatan masyarakat yang sedang dioperasi atau kebutuhan terhadap obat-obatan paten maupun ruangan perawatan dengan kelas standar.
Dilansir dari Pikiranrakyat.com, 21/10/2019, Menurut Presiden Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia (APDHI) DR. Dini Dewi Heniarti SH. M.Hum, bahwa pelayanan kesehatan di rumah sakit saja akan terkendala mengingat defisit keuangan BPJS dari tahun ke tahun semakin membengkak, tahun 2014 depisit dana BPJS sebesar Rp 3,3 triliun, dan pada tahun 2018 meningkat signifikan hingga Rp 16,5 triliun. Disampaikan disela-sela acara seminar di hotel Horison Bandung, Kamis, 17 Oktober 2019.
Senada dengan itu Direktur Utama BPJS Fachmi Idris akan memberlakukan sejumlah sanksi bakal menjerat siapa saja bagi penunggak iuran BPJS Kesehatan. Terutama bagi mereka yang masuk dalam peserta mandiri dengan angka kolektabiltas mencapai 32 juta orang. Fachmi Idris mengatakan sanksi otomatis layanan publik ini dimaksudkan untuk meningkatkan kolektabilitas iuran peserta BPJS Kesehatan dari segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU).
Pelaksanaan sanksi layanan publik akan diotomatiskan secara daring antara data di BPJS Kesehatan dengan basis data yang dimiliki kepolisian, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, Badan Pertanahan Negara, dan lain-lain. Adapun bentuk sanksi yang akan diberikan kepada siapapun yang menunggak iruan BPJS Kesehatan, bahwa mereka tidak akan bisa mengakses layanan izin mendirikan bangunan (IMB), Paspor, Surat izin mengemudi (SIM), Surat tanda nomor kendaraan (STNK) dan Sertifikat tanah.
Selain langkah tersebut BPJS pun mengambil langkah ekstrim dengan mengerahkan 3.200 orang penagih yang disebut kader JKN. Kepala Humas BPJS Kesehatan Muhammad Iqbal Anas Ma’ruf mengklaim, per penagih berhasil mengumpulkan tunggakan iuran BPJS Kesehatan sampai Rp 5 juta. Iqbal mengungkapkan, selain menagih tunggakan iuran, kader JKN juga memberikan sosialisasi pentingnya menggunakan BPJS Kesehatan. Mereka juga menjaring nasabah baru.
Menurut Iqbal, para kader JKN melakukan penagihan dari pintu-pintu untuk mengumpulkan tunggakan iuran BPJS Kesehatan yang belum dilunasi. Ia memastikan, tidak seperti debt collector, tidak ada kekerasan dalam proses penagihan karena semua sudah ada regulasinya. Proses penagihan tunggakan iuran BPJS Kesehatan ini akan terus berlangsung hingga kesadaran masyarakat dalam membayar benar-benar telah terbangun” tutur Iqbal.
Menurut Fachmi aturan itu termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 86 Tahun 2013 Tentang TataCara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara Dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, Dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial. Alasannya kemunculan sanksi tersebut ialah karena defisit BPJS Kesehatan 2019 diperkirakan mencapai Rp 32 Triliun dan pembayaran iuran peserta mandiri sekitar 50 % dari 32 juta jiwa.
Hasil kajian dari pihak BPJS bahwa penyebab defisit karena adanya tunggakan pembayaran konsumen kepada BPJS, sehingga tak menyurutkan langkah BPJS untuk melakukan langkah menaikkan premi perbulannya kepada setiap golongan, tak berbanding lurus dengan kajian yang ditemukan oleh Indonesian corruption watch (ICW) dengan kajian yang dilakukan dari tahun 2017 hingga sekarang.
Dilansir dari KOMPAS.com – Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan 49 potensi fraud atau penipuan yang dilakukan baik oleh peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, BPJS sendiri, maupun penyedia obatnya. Perwakilan ICW Dewi Anggraeni mengatakan, sejak tahun 2017 pihaknya memantau banyak jenis fraud yang dilakukan dalam penyelenggaraan BPJS. Hasil temuannya di seluruh Indonesia, hampir sama.
“Kami menemukan 49 jenis fraud yang dilakukan pasien, BPJS, dan penyedia obat. Sebenarnya hasilnya sama,” kata Dewi dalam diskusi bertajuk BPJS Salah Kelola, Pelayanan Publik Disandera yang digelar di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (13/10/2019).
Potret pelayanan Kesehatan Dalam Islam
Mencermati fakta pelayanan kesehatan dalam sistem kapitalis melalui lembaga negara BPJS, tentu hal ini sangatlah jauh dari ketentraman dan ketenangan masyarakat yang berhak mendapatkan pelayanan atas kebutuhan asasi tersebut. Islam menjadikan seluruh kebutuhan dasar dan pokok masyarakat wajib dipenuhi oleh negara tanpa membebankan biaya sepeserpun, sebab negara berlaku sebagai pengurus dan pengatur atas kebutuhan rakyat, bukan sebagai pedagang.
Maka dorongan untuk melakukan pengaturan (peri’ayahan) atas kebutuhan pokok masyarakat sebagai bukti penerapan islam secara sempurna dan tegaknya keadilan kepada siapa saja.
Dalam sejarah penerapan islam didunia dan potret negara khilafah membangun peradaban tak terkecuali dibidang kesehatan, semua mengacu pada keadilan dan pengaturan urusan masyarakat dengan tanggungjawab oleh negara secara merata. Hal ini pun disampaikan oleh seorang tokoh barat, Will Durant dalam The Story of Civilization menyatakan,
“Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak, sekaligus memenuhi keperluannya. Contohnya, Bimaristan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160 telah bertahan selama tiga abad dalam merawat orang-orang sakit, tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarahwan berkata, bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun. Keberhasilan peradaban Islam ini disebabkan paradigma yang benar tentang kesehatan.
Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,:
“Setiap dari kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab untuk orang-orang yang dipimpin. Jadi, penguasa adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya.” (Bukhari dan Muslim)
Kesehatan adalah kebutuhan dasar rakyat. Negara bertanggung jawab untuk memenuhinya secara optimal dan terjangkau oleh masyarakat. Khalifah memosisikan dirinya sebagai penanggung jawab urusan rakyat, termasuk urusan kesehatan.Khilafah tidak akan menyerahkan urusan kesehatan pada lembaga asuransi seperti BPJS.
Lembaga asuransi bertujuan mencetak untung, bukan melayani rakyat. Islam meletakkan dinding tebal antara kesehatan dengan kapitalisasi, sehingga kesehatan bisa diakses oleh semua orang tanpa ada kastanisasi secara ekonomi.
Dalam Islam, sistem kesehatan tersusun dari tiga unsur sistem.
Pertama, peraturan, baik peraturan berupa syariah Islam, kebijakan maupun peraturan teknis administratif.
Kedua, sarana dan peralatan fisik seperti rumah sakit, alat-alat medis, dan sarana prasarana kesehatan lainnya.
Ketiga, sumber daya manusia (SDM) sebagai pelaksana sistem kesehatan, yang meliputi dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya. [S. Waqar Ahmed Husaini, Islamic Sciences, hlm. 148].
Agar kebutuhan rakyat terhadap layanan kesehatan gratis terpenuhi, Khilafah banyak mendirikan institusi layanan kesehatan. Di antaranya adalah rumah sakit di Kairo yang didirikan pada tahun 1248 M oleh Khalifah al-Mansyur, dengan kapasitas 8.000 tempat tidur, dilengkapi dengan masjid untuk pasien dan chapel untuk pasien Kristen. Rumah sakit dilengkapi dengan musik terapi untuk pasien yang menderita gangguan jiwa. Setiap hari melayani 4.000 pasien.
Selain memperoleh perawatan, obat, dan makanan gratis tetapi berkualitas, para pasien juga diberi pakaian dan uang saku yang cukup selama perawatan. Hal ini berlangsung selama tujuh abad. Sekarang, rumah sakit ini digunakan untuk opthalmology dan diberi nama Rumah Sakit Qalawun.
Negara juga tidak luput melaksanakan tanggung jawabnya kepada orang-orang yang mempunyai kondisi sosial khusus, seperti yang tinggal di tempat-tempat yang belum mempunyai rumah sakit, para tahanan, orang cacat, dan para musafir.
Untuk itu, negara mendirikan rumah sakit keliling tanpa mengurangi kualitas pelayanan. Hal ini seperti ada pada masa Sultan Mahmud (511-525 H). Rumah sakit keliling ini dilengkapi dengan alat-alat terapi kedokteran, dengan sejumlah dokter. Rumah sakit ini menelusuri pelosok-pelosok negara. Wallahu ‘alam bis shawwab.
HANAA UMM KARIMAH