Istilah demokrasi pertama kali muncul pada abad pertengahan 5 M di Athena. Demokrasi muncul sejak jaman Yunani Kuno di mana rakyat memandang kediktatoran sebagai bentuk pemerintahan terburuk. Lalu apakah demokrasi adalah sistem yang baik diterapkan di Indonesia?
Sejauh ini pemahaman masyarakat mengenai demokrasi ialah kebebasan mutlak yang diberikan kepada rakyat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di negara tempat mereka bermukim. Termasuk kebebasan dalam mengeluarkan pendapat tentang peristiwa yang terjadi di negara tersebut.
Istilah “dari, oleh dan untuk rakyat” adalah semboyan ajaib yang disematkan pada tubuh demokrasi untuk menarik perhatian masyarakat bahwa sesungguhnya mereka sangat diistimewakan dalam sistem demokrasi ini.
Faktanya, Demokrasi yang terbentuk sejauh ini, meminjam istilah Olle Tornquist yang hanya menghasilkan demokrasi Kaum Penjahat, yang lebih menonjolkan kepentingan pribadi dan golongan ketimbang kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
Beberapa waktu lalu sempat viral dimedia sosial berita terkait pencopotan jabatan seorang Dandim di Kendari yang kasusnya berawal dari cuitan sang istri di media sosial yang ‘katanya’ mengandung ujaran kebencian pada salah satu oknum pemerintah. Apakah demokrasi lebih takut pada ibu-ibu dibanding anggota OPM di Papua dan perusuh di Wamena?
Kerusuhan yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia seyogyanya lebih memerlukan peran pemerintah dalam penyelesaiannya dibanding harus ciut hanya karena persoalan jari kelingking seorang menteri yang terkena senjata Naruto.
Lucu sekali, perkara jari kelingking mampu menggoyangkan istana bahkan oknum-oknum pemerintah di daerah sehingga gegabah mengambil keputusan. Sementara, kekejian yang terjadi di Wamena tidak terjamah sedikitpun. Seorang dokter muslimah terbunuh setelah di perko*a ramai-ramai, kepala bayi dikampak hingga pemukiman warga dibakar tak bersisa. Apakah ini tidak lebih tragis dari tragedi jari kelingking?
Setelah kemunculan berita viral diatas, muncullah beberapa statement negatif yang menjurus kepada Islam. Diantaranya Islam radikal, penganut ISIS dan statement lainnya. Singkat saja, rezim hanya ingin mencari celah agar bisa mendiskriminasi Islam.
Panik sekali, cuitan istri sang Dandim mampu menggoyangkan singgasana pemerintahan sehingga segala aktivitas pegawai negara menjadi fokus dari kerja rezim. Contohnya, ASN tidak boleh ‘nyinyir’ terhadap pemerintah, menyerukan Islam, dan menentang demokrasi. ASN yang melawan pemerintah maka akan mendapat teguran bahkan hingga pemecatan.
Dilansir dari CNN Indonesia, Rabu (16/10/2019), Plt Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Tjahjo Kumolo mengatakan baru saja memberi sanksi disiplin berupa pencopotan jabatan atau non job terhadap aparatur sipil negara (ASN) yang mengunggah konten pro khilafah di media sosialnya
Alangkah lucunya negeri 62, mengaku mayoritas Islam namun takut pada sistem Islam. Apa yang salah dengan khilafah?
Khilafah merupakan bagian dari ajaran islam. Menolak khilafah sama halnya menolak kajaran agama islam. Mereka menganggap kehadiran khilafah akan mengancam keberadaan NKRI. Para pejuang khilafah disamakan dengan ISIS dikatakan radikal serta para ulama yang mendukung tegaknya ajaran Islam di muka bumi dipersekusi dan dikriminalisasi. Mengapa demikian?
Singkat saja, islam jelas menyejejahterakan umat. Islam jelas ajaran yang paling benar di muka bumi, sebagaimana firman Allah SWT:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. [Ali Imran : 19].
Akan tetapi mereka seakan menolak kebenaran ini, mereka ingin menyamakan semua ajaran agama sehingga mereka dapat menerapkan hukum selain islam. Jika khilafah tegak, para kapitalis takut kebobrokan dan muslihat mereka terbongkar.
Sehingga umat tidak akan lagi percaya pada sistem kufur yang sedangmereka terapkan adahal, seyogyanya umat sudah sangat bosan dengan ulah rezim, namun apadaya umat etika semua akses dipegang oleh penguasa, sehingga jangankan menolak, mengkritik penguasapun tidak dibolehkan direzim hari ini.
Wajar saja, banyak masyarakat yang takut untuk menyampaikan aspirasinya, karena rezim mengacam dari berbagai sisi, mulai urusan pemenuhan kebutuhan perut hingga urusan kebutuhan rohani.
Seyogyanya, keberadaan negara haruslah sebagai perisai dan pelindung bagi kesejahteraan umat sehingga sudah semestinya keresahan dan kekhawatiran yang melanda umat hari ini menjadi tanggung jawab penuh bagi pemerintah dalam menyelesaikan problematika yang ada, bukannya malah mengajak masyarakat menjadi musuh bagi rezim sehingga menghadirkan tembok pembatas antar pemerintah dan masyarakat.
Hanya dengan khilafah segala bentuk penyejateraaan rakyat akan terjalin dengan adil, dan hanya pada negara khilafah setiap aspirasi masyarakat ditampung sebagai bentuk introspeksi bagi pemerintah juga sebagai bentuk bantuan perbaikan negara melalui tampungan aspirasi umat.
ZULHILDA NURWULAN