Kalosara Menangkal Hoaks

Kalosara Menangkal Hoaks
Irwan Samad.

Konflik yang melanda Wamena September lalu, kini hanya menyisakan duka nestapa. 26 nyawa manusia harus melayang. Hilang sia-sia. Puing-puing peradaban teronggok membisu. Hanya bisa meratapi akibat anarkisme sesama anak bangsa.

Terbakar oleh nafsu dendam kusumat. Ribuan orang terpaksa harus mengungsi. Terlantar, mencari tempat yang aman. Entah berapa sudah jumlah kerugian materi, apalagi non materi. Entah berapa ratus bangunan kantor, rumah, ruko hancur berkeping tak tersisa akibat aksi amuk massa.

Iklan Pemkot Baubau

Konflik sosial ini menjadi konflik terburuk yang melanda bangsa kita akibat hoaks (kebohongan digital). Berawal dari kabar yang terkonfirmasi hoaks bermuatan rasis di sebuah SMA PGRI, berubah menjadi petaka kemanusiaan.

Berita bohong yang menyebar di Papua benar-benar menjadi pelajaran penting bagi seluruh anak bangsa. Menurut Plt. Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ferdinandus Setu seperti dikutip dalam website kominfo.go.id mengatakan ada lebih dari 300.000 Uniform Resource Locator (URL) hoaks terkait kerusuhan di Papua disebar di internet.

Jika hoaks dibiarkan tanpa ada upaya menangkalnya, tak perlu senjata rudal balistik untuk meluluhlantakkan Indonesia. Cukup satu postingan hoaks, memanfaatkan potensi konflik dan kerawanan yang setiap saat mengancam, maka tinggal menunggu trigger terjadinya kegaduhan yang berakibat terlepasnya simpul persatuan anak bangsa. Jelas ini sangat berbahaya.

Meski eskalasi ketegangan keamanan sosial bangsa kita secara umum, berangsur-angsur mulai mereda. Namun, potensi konflik dan kerawanan sosial masih cukup tinggi. Untuk itu, diperlukan upaya secara sistematis dan terintegrasi menangkal hoaks agar tidak berkembang. Akan sangat riskan dapat mengganggu stabilitas keamanan negara.

Indonesia memang sangat rentan terjadi konflik horizontal. Ragam etnik, suku, agama dan ras, di satu sisi sebagai kekayaan warisan ibu pertiwi, namun juga bisa berubah menjadi bom waktu yang setiap saat dapat meletup.

Belajar dari kasus Papua, Sulawesi Tenggara sebagai daerah heterogen dan inklusif, juga dikaruniai ragam etnik dan lapisan sosial budaya. Keragaman suku, agama dan ras acapkali menjadi obyek yang sering dimanfaatkan oleh segelintir orang yang tak bertanggung jawab.

Untuk itu, langkah yang penting yang harus segera dilakukan adalah, pertama, dibutuhkan literasi digital yang baik agar hoaks tidak berkembang liar. Cerdas bermedia sosial dengan tidak menelan mentah-mentah informasi yang diperoleh lalu dengan mudah menyerbarkan.

Di sinilah pentingnya kedewasaan dan bijak menyikapi setiap postingan berita yang ada di media sosial. Karenanya, kita perlu mengenali ciri-ciri sebuah konten mengandung hoaks atau bukan.

Menurut Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo seperti yang dikutip dari BeritaSatu.com, setidaknya ada 12 ciri konten digital yang mengandung hoaks, yaitu: 

1) Menciptakan kecemasan, kebencian, permusuhan. 2) Sumber tidak jelas dan tidak ada yang bisa dimintai tanggung jawab atau klarifikasi. 3) Pesan sepihak, menyerang, dan tidak netral atau berat sebelah.

4) Mencatut nama tokoh berpengaruh atau pakai nama mirip media terkenal. 5) Memanfaatkan fanatisme atas nama ideologi, agama, suara rakyat. 6) Judul dan pengantarnya provokatif dan tidak cocok dengan isinya. 7) Memberi penjulukan.

8) Minta supaya di-share atau diviralkan. 9) Menggunakan argumen dan data yang sangat teknis supaya terlihat ilmiah dan dipercaya. 10) Artikel yang ditulis biasanya menyembunyikan fakta dan data serta memelintir pernyataan narasumbernya.

11) Berita ini biasanya ditulis oleh media abal-abal, di mana alamat media dan penanggung jawab tidak jelas. 12) Manipulasi foto dan keterangannya.

Cukuplah postingan hoaks berhenti di ujung jari kita. Jangan lagi menviralkan ke akun media sosial lain.

Kedua, kita memiliki warisan leluhur dalam bentuk kearifan lokal yang seharusnya diberdayakan. Kearifan lokal ini dipandang cukup preventif menangkal hoaks. Di Sulawesi Tenggara ini, cukup banyak instrumen kearifan lokal yang dapat digali dan diberdayakan sebagai sumber tata nilai bagi terciptanya kondusivitas bermasyarakat. 

Secara empiris, instrumen kearifan lokal ini telah teruji waktu, sehingga mampu menciptakan tatanan masyarakat yang rukun dan damai. Salah satunya adalah Kalosara

Kalosara merupakan sistem adat suku Tolaki yang mengikat tata kehidupan masyarakat Tolaki. Menurut Tarimana (1993) seperti yang dikutip Amiruddin dkk., dalam Jurnal Mudra menyebutkan bahwa konsep kalo dalam kebudayaan Tolaki sangat luas ruang lingkup dan maknanya. Kalo secara umum meliputi o sara (adat istiadat), khususnya sara owoseno Tolaki atau sara mbu’uno Tolaki, yaitu adat pokok (instrumen utama), yang merupakan sumber dari segala adat-istiadat masyarakat Tolaki yang berlaku dalam semua aspek kehidupan mereka.

Kalosara ini berfungsi sebagai instrumen untuk membumikan ide-ide yang mengkonsepsikan sistem yang paling bernilai bagi masyarakat Tolaki itu sendiri. Sistem nilai dimaksud tertuang dalam sebuah prinsip-prinsip dasar masyarakat Tolaki.

Misalnya, medulu mepoko’aso (persatuan dan kesatuan), ate pute penao moroha (kesucian dan keadilan), morini mbu’umbundi monapa mbu’undawaro (kemakmuran dan kesejahteraan), mete ‘alo ‘alo (saling membantu), mombekapona-pona’ako (saling menghormati), dan mombekamei-meiri’ako (saling mengasihi), kohanu(budaya malu), merau (sopan santun), samaturu (persatuan).

Masyarakat Tolaki sangat berpegang teguh dengan ungkapan filosofis yang sangat dalam yaitu inae kosara ie pinesara, ie liasara ie pinekasara. Maksudnya, siapa yang tahu adat akan dihormati, siapa yang melanggar adat akan dikasari.

Dalam konteks ini, penyebaran hoaks yang dapat mengakibatkan instabilitas sosial tentu bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar masyarakat Tolaki, karena tidak sesuai dengan adat istiadat yang mereka pegang teguh. Hoaks jelas berpotensi mengganggu ketertiban dan persatuan masyarakat. Jika nilai-nilai sakral Kalosara ini benar-benar terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari, maka hoaks akan sangat mudah ditangkal.

Pun, terlanjur terjadi konflik sosial akibat hoaks, maka pabitara tampil sebagai mediator untuk meredam agar konflik tersebut tidak meluas. Sebesar apapun konflik tersebut, jika sudah dibentangkan media kalosara, maka konflik sosial tersebut secara cepat dapat diatasi, tentu dibarengi dengan upaya penegakan hukum dengan prinsip-prinsip keadilan.

Ketiga, pentingnya mengedukasi masyarakat melalui muatan kurikulum lokal di sekolah tentang budaya Kalosara. Menggagas Kalosara sebagai salah satu materi pelajaran berbasis kearifan lokal adalah sebuah keniscayaan. Sayangnya, budaya Kalosara ini belum dijadikan bagian dari muatan kurikulum di sekolah-sekolah pada umumnya di Sulawesi Tenggara.

Padahal, Kalosara memiliki nilai-nilai filosofis yang sangat dalam termasuk bagaimana upaya menangkal penyebaran informasi hoaks agar tercipta tatanan masyarakat yang rukun, damai dan sejahtera. Saya optimis jika nilai-nilai kebudayaan lokal ini ditanamkan sejak dini dan benar-benar dijiwai oleh semua lapisan masyarakat, utamanya pelajar, maka lambat laun penyebaran hoaks dapat lebih mudah dicegah.

Rasanya agak berat jika menangkal penyebaran hoaks sekaligus penyelesaian konflik akibat hoaks hanya disandarkan pada delik hukum formal semata.

Menangkal hoaks tentu bukan menjadi tugas Polri maupun Kemenkominfo semata. Perlu upaya lain secara terintegrasi dengan kearifan lokal, sehingga penyebaran hoaks dapat diminimalisir bahkan dienyahkan dari bumi pertiwi. Wallahu a’alam bi al-shawab

IRWAN SAMAD