Ujaran kebencian di media sosial yang berujung kasus hukum tengah mendapat sorotan masyarakat. Kasus ini kuat hubunganya dengan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sebagai abdi negara, seorang aparatur sipil negara (ASN) harus menjunjung tinggi kode etiknya, termasuk tak menyebarkan ujaran kebencian dan kabar bohong dari media sosial.
Namun, apakah pegawai negeri sipil (PNS) dapat dipecat lantaran melakukan hate speech melalui media sosial. Kepala Biro Humas Badan Kepegawaian Negara (BKN) Mohammad Ridwan mengatakan, aturan mengenai kode etik dan disiplin PNS diatur dalam peraturan presiden (PP).
PP Nomor 42 Tahun 2004 mengatur tentang Pembinaan Jiwa Korp dan Kode Etik PNS, sedangkan PP Nomor 53 Tahun 2010 merupakan aturan tentang Disiplin PNS. Penjatuhan hukuman disiplin diberikan dengan mempertimbangan latar belakang dan dampak perbuatan yang dilakukan ASN tersebut, dimana hukuman diberikan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) masing-masing instansi (Kompas.com, 13/10/2019).
Seperti halnya kejadian yang menimpa tiga personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapat sanksi hukum dan dicopot dari jabatannya. Para anggota ini mendapatkan hukuman disiplin karena ulah istrinya yang mengunggah konten di media sosial terkait kasus penusukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) wiranto.
Tidak tanggung-tanggung, suami-suami mereka dicopot dari jabatannya masing-masing ditambah penahanan selama 14 hari. Bukan hanya itu, TNI juga melaporkan istri tiga anggotanya ke polisi terkait penusukan Wiranto yang diunggah di media sosial. Tiga personel TNI yang mendapatkan sanksi adalah Kolonel HS yang menjabat sebagai Kodim Kendari, Sersan Dua Z, dan Peltu YNS, anggota POMAU Lanud Muljiono Surabaya.
Menurut Kepala Subdinas Penerangan Umum TNI AU Kolonel (Sus) Muhammad Yuris dalam keterangan tertulis, Sabtu(12/10) menjelaskan bahwa dalam urusan politik, posisi prajurit TNI AU dan keluarga (KB/Keluarga Besar Tentara) harus netral (Kontan.co.id,12/10/2019).
Kasus yang menimpa Personel TNI ini pun mendapat respon dari Peneliti Militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi mengatakan, kasus pencopotan dua anggota TNI akibat postingan istri mereka bernada nyinyir, seharusnya mengutamakan asas praduga tak bersalah. Menurut dia seharusnya ada penyelidikan tarlebih dahulu sebelum pemberian hukuman disiplin.
Menurut Fahmi, hukuman terhadap Dandim kendari termasuk berat, yakni dicopot dari jabatannya dan ditahan. Ia melihat penghukuman itu sebagai sesuatu yang berlebihan. Apalagi jika melihat belum ada upaya hukum apa pun yang dilakukan kepada istrinya. Ia mengatakan, sikap reaktif yang ditunjukan dalam kasus ini tidak tepat dilakukan oleh TNI sebagai salah satu institusi negara. Meski di sisi lain, ia menyebutkan, masalah moral dan etika yang diduga menjadi pangkal persoalan juga tidak dapat dibenarkan (Republika.co.id,13/10/2019).
Kejadian diatas membuktikan bahwa dalam sistem demokrasi yang katanya menjamin kebebasan berpendapat, faktanya justru anti kritik. Inilah yang terjadi di Indonesia saat ini. Kita juga dapat melihat bagaimana sikap pemerintah saat menghadapi demonstrasi mahasiswa beberapa waktu lalu, padahal masyarakat hanya ingin menyampaikan aspirasinya untuk kebaikan negeri. Sikap anti kritik pemerintah seperti ini secara tidak langsung telah membungkam siapa saja yang tidak sesuai dengan kepentingan pemerintahdan penguasa.
Pemerintah anti kritik bukan saja kepada orang-orang yang ada dilingkaran mereka, tetapi juga berlaku kepada dai-dai yang hendak melakukan syiar islam. Semakin banyak pelarangan-pelarangan ceramah agama dan telah banyak ustaz yang menjadi korban dari ucapannya. Ini bukti pemerintah sedang mengalami kepanikan, biasanya saat panik akan sulit menggunakan akal sehat. Sehingga cara yang paling ampuh untuk menghentikan kritik adalah membungkam dengan aturan dan kekuasaan, karena dalam sistem demokrasi kekuasaan adalah alat kepentingan individu dan kelompok
Sementara dalam islam sangat berbeda perlakuan pemerintah terhadap masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasinya. Dalam Pemerintahan Islam yang menerapkan aturan dari Sang Pemilik Kehidupan sekalipun, tetap dibutuhkan adanya kritikan. Koreksi terhadap jalannya pemerintahan dan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan mutlak dibutuhkan. Agar tidak terjadi kezaliman. Pemerintahan pun tetap selaras dengan hukum syara.
Umar bin Khathab ketika menjabat sebagai khalifah pernah diprotes oleh seorang wanita karena membatasi mahar sebanyak 400 Dirham. Wanita itu menasihati Umar seraya mengutip firman Allah swt. dalam Alquran surah an-Nisa ayat 20. Umar pun berkata, “Wanita ini benar, dan Umar yang salah.” Kemudian beliau meralat keputusannya.
Begitulah, aktivitas mengoreksi penguasa merupakan bagian dari amar makruf nahi mungkar yang bersifat wajib, sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang artinya,Siapa saja diantara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaknya dia mengubahnya dengan tangannya. Apabila dengan tangan tidak mampu, hendaknya ia mengubah dengan lisannya. Jika ia tidak mampu mengubah dengan lisannya, hendaknya ia mengubahnya dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman (HR. Muslim).
Dalam riwayat lain, Rasulullah saw. telah mendorong kaum Muslim untuk menentang dan mengoreksi penguasa zalim dan fasik, walaupun harus menanggung resiko yang berat hingga nyawa taruhannya.
Rasulullah saw. bersabda yang artinya,Pemimpin syuhada’ adalah Hamzah, serta laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa zalim, lalu ia menasehati penguasa tersebut, lantas, penguasa itu membunuhnya. (HR. Hakim dari Jabir). Demikianlah seharusnya dalam islam kritik terhadap penguasa harus tetap ada. Wallahu a’lam bisshowab.
YUNI DAMAYANTI