Mewujudkan “Zerohunger” dengan Syariah

Mewujudkan “Zerohunger” dengan Syariah
Ilustrasi.

Cita-Cita Ketahanan Pangan

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama setiap insan. Sebagai kebutuhan dasar, pangan mempunyai arti yang sangat penting bagi suatu bangsa. Tidak terpenuhinya kebutuhan dasar tersebut akan memunculkan gejolak sosial dan politik, bahkan dapat membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas nasional. (www.bulog.co.id).

Iklan Pemkot Baubau

Di sinilah ketahanan pangan sangat penting. Dalam UU No. 18/2012 disebutkan bahwa “Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan

Melihat dari definisi di atas, nampaknya masih menjadi PR pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan. Laporan Global Hunger Index 2018 menyebutkan, persoalan kelaparan di Indonesia berada pada peringkat 73 di dunia dengan skor 21,9 atau berada pada level serius. (katadata.co.id. 23/01/2019)

Berita yang masih hangat dari Suku Anak Dalam Jambi menambah PR pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan. “Kadang kalau sudah lapar beras tidak ada, terpaksa kami cari monyet untuk dimakan jika tidak dapat terpaksa hanya minum air putih saja,” Ujar Jhon Temenggung SAD kebun Duren.(news.okezone.com. 17/10/2019).

Ironi Tanah Surga

Fakta di atas bertolak belakang dengan tema global hari pangan sedunia yang diperingati pada tanggal 16 Oktober 2019 lalu. Tema global yang diangkat adalah mendorong diet sehat untuk dunia #zerohunger. FAO lebih menyoroti permasalahan pangan pada pola makan yang tidak sehat.

Jika kita amati, permasalahan pangan yang utama di negeri ini adalah distribusi pangan yang tidak merata. Di  Indonesia, 30,8 persen anak tergolong stunting (kekerdilan), 10,2 persen anak-anak di bawah lima tahun kurus dan 8 persen mengalami obesitas. (m.antaranews.com 16/10/2019).

Faktor utama penyebab tidak meratanya distribusi pangan adalah faktor ekonomi. Di Pamekasan ada keluarga miskin yang mengobati rasa lapar dengan tidur. Di Kecamatan Ciawi, Kabupaten Tasikmalaya ada tiga keluarga yang terpaksa makan kulit singkong karena tidak memiliki uang untuk membeli lauk pauk yang layak akibat kemiskinan.

Ini hanya secuil kisah tidak terpenuhinya bahan pangan. Sangat mungkin, masih banyak keluarga bernasib sama mengingat biaya hidup saat ini semakin melejit.

Kelaparan di Indonesia merupakan sebuah ironi. Bagaimana tidak? Ketahanan pangan yang lemah justru terjadi di negeri gemah ripah loh jinawi. Indonesia dianugerahi Allaah Ta’ala tanah yang sangat subur. Selain itu, juga kaya akan sumber daya alam.

Data menunjukkan bahwa Indonesia memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta Km2 dengan garis pantai 81.000 km. Sekitar 7% (6,4 juta ton/tahun) dari  potensi lestari  ikan laut dunia berasal dari Indonesia. Berdasarkan data Indonesia Mining Asosiation, Indonesia menduduki peringkat ke-6 terbesar untuk negara yang kaya akan sumberdaya tambang. (Kompasiana.com. 28/10/2018).

Sangat disayangkan pengelolaan sumber daya alam yang begitu melimpah masih berasaskan neoliberalisme. Sistem ekonomi neoliberalisme dan kapitalisme yang dianut negeri ini merestui para pemilik modal menguasai sumber daya alam dan merestui korporatisasi pangan.

Tidak jarang kita mendengar berita penimbunan bahan pangan. Pengalihfungsian lahan pertanian juga berimbas pada  lemahnya ketahanan pangan. Petani lebih memilih menjual sawahnya lantaran biaya untuk bercocok tanam lebih besar dari keuntungan yang didapat. Harga pupuk  melambung dan ketika panen harga anjlok karena kran impor terbuka lebar.

Ketahanan Pangan dalam Islam

Islam sebagai sebuah agama yang  sempurna memiliki konsep untuk mewujudkan ketahanan pangan. Pangan sebagai  kebutuhan  pokok wajib dipenuhi oleh negara. Syariah Islam memiliki mekanisme agar lahan tetap produktif. Rasul saw bersabda, “siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya” (HR. Tirmidzi, Abu Daud).

Siapapun yang memiliki tanah, baik menghidupkan tanah mati atau dari warisan, membeli, hibah, dsb jika ditelantarkan tiga tahun berturut-turut, maka hak kepemilikannya atas tanah itu hilang. Selanjunya akan diambil alih negara dan diberikan kepada individu yang mampu mengolahnya. Dengan demikian tidak ada tanah yang terbengkalai.

Selain itu, negara juga mengembangkan iklim yang kondusif bagi penelitian dan pengembangan di bidang pertanian. Banyak laboratorium, perpustakaan dan lahan percobaan dibangun. Para ilmuwan diberi       dukungan yang diperlukan, termasuk dana penelitian, selain penghargaan atas karya mereka. Lalu, lahirlah banyak sekali ilmuwan di bidang pertanian. Misal, Abu Zakaria Yahya bin Muhammad Ibn Al Awwan yang menulis Kitab al-Filahah. (mediaumat.news. 17/08/2018).

Negara menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang baik. Negara wajib memberantas monopoli pasar, riba, penimbunan harta dan penipuan. Sementara itu, kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand bukan dengan kebijakan mematok harga.

Penguasa sebagai pelaksananya, menyadari betul bahwa dirinya akan diminta pertanggungjawaban kelak di akhirat terhadap rakyatnya. Sehingga, tercermin dalam riayah atau kepengurusan rakyat dengan riayah yang sebaik-baiknya. Penguasa bertanggungjawab mewujudkan kesejahteraan di tengah-tengah umat sehingga umat terpenuhi kebutuhan asasinya.

Sebagaimana dicontohkan oleh Umar bin Khothob ra ketika ‘blusukan’ di malam hari untuk mengetahui kondisi rakyatnya. Ketika itu, ada rakyatnya yang tengah kelaparan. Umar ra pun bersegera membawakan gandum beserta daging dari baytul maal dengan gemetar karena takut kepada Allaah Ta’ala.

Demikian konsep Islam dalam mewujudkan ketahanan pangan. Konsep tersebut tentu baru dapat dirasakan maslahatnya jika diterapkan dalam institusi negara. Wallahu a’lam.

DEPY SW