Presiden Joko Widodo atau Jokowi resmi mengumumkan susunan kabinetnya periode 2019-2024 di Istana Kepresidenan, Rabu (23/10/2019). Susunan kabinet Jokowi jilid 2 ini diberi nama resmi Kabinet Indonesia Maju. Sesuai janji Jokowi, susunan kabinet saat ini merupakan gabungan para profesional hingga partai politik.
Seperti prediksi sebelumnya beberapa nama baru muncul menjadi sosok menteri baru, salah satunya adalah Prabowo Subianto. Begitu juga ada nama baru lain seperti Tito Karnavian, Mahfud MD, Nadiem Makarim hingga Ida Fauzia.
Beberapa muka lama masih menempati posisi sebelumnya, namun ada juga yang digeser di pos kementerian yang baru. Meski demikian ada beberapa nama lama yang tidak lagi masuk sebagai jajaran menteri seperti Wiranto, eks Menteri KKP Susi Pudjiastuti hingga Rini Sumarno yang sebelumnya menjabat menteri BUMN.
Kursi kementrian adalah tahta idaman. Kekecewaan karena tidak mendapat jatah kursi kementrian pun juga dirasakan beberapa pihak. Termasuk organisasi besar Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Kekecewaan NU itu diungkapkan Pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PBNU, Ridwan Darmawan.
Ridwan mengatakan, dengan tidak masuknya Kader NU sebagai menteri, berarti Jokowi tidak menghargai keringat yang telah dikeluarkan warga nahdliyin yang telah membantunya menjadikan presiden untuk kedua kalinya. Menurutnya, bagi nahdliyyin, menteri agama dari kalangan NU adalah harga mati. (Kabarislam.com, 23/10/2019).
Fahmi Salim, Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah pun berkata pihaknya sangat kaget karena Jokowi memilih pendiri Gojek Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Fahmi menuturkan pemilihan Mendikbud dalam komposisi kabinet ini seolah ingin melupakan sejarah panjang bangsa, salah satunya soal mengakomodasi kepentingan umat Islam dalam Piagam Jakarta 1945. Selain itu, Fahmi menilai terpilihnya Nadiem sebagai Mendikbud juga seperti menganggap sumbangsih Muhammadiyah tidak ada apa-apanya dengan Gojek.
Diketahui, peran Muhammadiyah ada di pelbagai bidang diantaranya adalah pendidikan maupun kesehatan masyarakat. (CNN Indonesia, 26/10/2019).
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Hanura Bona Simanjuntak pun mengatakan, sebagai salah satu partai pengusung pasangan Jokowi-Ma’ruf pada Pemilu 2019, wajar pihaknya kecewa karena tak dapat jatah kursi menteri di Kabinet Indonesia Maju.
Bona mengatakan, perjuangan Hanura dalam memenangkan Jokowi-Ma’ruf cukup masif, bahkan partainya sampai kehilangan kursi di DPR RI. (Kompas.com, 26/10/2019).
Jabatan hari ini dikejar dan diburu sekuat tenaga. Padahal jabatan itu mutlak amanah yang wajib ditunaikan dengan komitmen dan pertanggungjawaban yang tinggi. Semoga niat utama meraih posisi-posisi publik yang penting dan strategis itu benar-benar bermotif mengabdi pada negeri dan mengurus hajat hidup rakyat.
Sebab, setiap posisi publik selain dibayar dengan uang rakyat, seluruhnya memang untuk mengurus hajat hidup orang banyak sehingga negeri ini semakin maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat.
Alangkah naif manakala jabatan-jabatan publik itu hanya dijadikan lahan mobilitas diri untuk meraih harta dan tahta duniawi belaka. Sejumlah kasus tragis menunjukkan pemegang kekuasaan jatuh pada lubang kotor dan hina.
Mereka melakukan korupsi dan menyalahgunakan kekuasaan untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi. Jabatan-jabatan penting dengan amanah berat malah dijadikan “bancakan” untuk bagi-bagi uang dan posisi, sekaligus memperkaya diri dan kroni. Mereka lupa posisi yang ditempati bukanlah miliknya sendiri, melainkan sekadar titipan rakyat untuk ditunaikan sebagai amanah terpuji.
Sesungguhnya, batin rakyat tengah diuji. Masyarakat mulai apatis, berputus asa untuk mengharapkan sosok para elite dan penguasa yang berakhlak langit menjadi tumpuan serta sandaran rakyat. Masyarakat gundah dengan perangai para elitenya yang banyak polah.
Wahai bapak ibu menteri dan para elite politik, tunaikan amanah karena tak ada iman bagi yang tak menunaikan amanah. Jabatan bukan diburu, dikejar mati-matian, apalagi dipertukarkan dengan uang dan jabatan lain yang menggiurkan. Jabatan pantang diselewengkan dan dijadikan lahan korupsi dan penyimpangan.
Sekali jabatan diterima maka saat itu jabatan berubah menjadi amanah dan janji yang wajib ditunaikan dengan kesungguhan. Taruhannya kehormatan diri, bahkan jiwa. Jabatan bukanlah kejayaan dan kemegahan diri. Jabatan bukan dijadikan jalan tol memenuhi hasrat-hasrat loba dan tamak.
Jabatan, satu kata seribu beban. Jabatan memerlukan karakter dan sosok tangguh, amanah, jujur, setia, bersahaja, baik, satria. Dalam Islam memimpin atau menjadi pemimpin bukanlah perkara yang ringan. Tanggung jawabnya berat. Tidak hanya mengatur kesejahteraan hidup rakyat saja, tapi lebih daripada itu, seorang pemimpin juga harus memastikan tegaknya syariat Allah Ta’ala dalam aturan hidup rakyatnya.
Sebagaimana yang ditegaskan oleh para ulama bahwa secara umum ada dua tugas utama seorang pemimpin, yaitu: menjaga agama dan mengatur urusan dunia dengan aturan agama. Karena itu, tanggungjawab seorang pemimpin terhadap rakyatnya cukuplah besar. Tidak hanya ditanya tentang kesejahteraan hidup rakyatnya tapi juga bertanggungjawab terhadap tegaknya agama di tengah-tengah mereka. (Lihat: Al-Ahkamus Sulthaniyah, 1/3).
Maka Rasulullah SAW menasihati—terutama bagi yang tidak mampu—agar tidak meminta-minta diangkat menjadi pejabat. “Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin.
Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepadamu karena diminta, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepadamu bukan karena diminta, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya,” (HR. Bukhari-Muslim). Wallahu’alam bi ash shawan.
ERNI YUWANA