BPJS “Membunuh” Rakyat

BPJS "Membunuh" Rakyat
Hamsina Halisi Alfatih.

Setiap orang pastilah menginginkan kehidupan yang sehat dan jauh dari segala penyakit. Tetapi yang namanya qodarullah tetaplah harus diterima oleh setiap manusia ketika diuji dengan masalah kesehatan. Dalam persoalan kesehatan tentu berkaitan dengan pengobatan, karenanya masalah kesehatan masyarakat seharusnya merupakan tanggung jawab pemerintah.

Namun nampaknya masyarakat harus gigit jari perihal kenaikan iuran BPJS yang telah diumumkan pada Rabu, 30 Oktober 2019.

Iklan Pemkot Baubau

Peresmian kenaikan BPJS 2 kali lipat telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 24 Oktober 2019. Hal ini sesuai dengan Peraturan Presiden (kepres)Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas peraturan presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan Nasional. (kompas.com, 30/10/19).

Dalam pasal 29 Perpres tersebut, disebutkan bahwa iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) meningkat menjadi Rp 42 ribu dari sebelumnya Rp 25.500. Adapun kenaikan iuran yang berasal dari anggaran pemerintah ini berlaku surut pada 1 Agustus 2019.

Sementara itu, pasal 34 beleid tersebut menyebutkan iuran peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) kelas III meningkat menjadi 42 ribu dari sebelumnya Rp 25.500. Adapun iuran peserta atau mandiri kelas II akan meningkat menjadi Rp 110 ribu dari sebelumnya Rp 51 ribu. Sementara itu, iuran peserta kelas 1 akan naik menjadi Rp 160 ribu dari yang sebelumnya Rp 80 ribu.

Polemik kenaikan iuran BPJS hingga 100% yang berlaku 2020 per satu Januari mendatang hal ini tentu menuai kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Pasalnya masyarakat justru menolak kenaikan iuran kesehatan tersebut, sebab semenjak 2014, BPJS mengalami defisit anggaran bahkan hingga ditahun 2019. Sehingga masyarakat dijadikan tumbal pemalakan oleh pemerintah dalam menutupi bengkaknya iuran BPJS.

Gonjang ganjing persolaan kenaikan BPJS seharusnya tidak sepenuhnya dibebankan kepada masyarakat saja, sebab untuk menutupi defisit anggaran BPJS pemerintah seharusnya mengakali hal tersebut dengan menggunakan anggaran dari negara seperti APBN. Bukan justru menimpakan sepenuhnya kepada masyarakat yang seharusnya mendapatkan pelayanan penuh dari pemerintah perihal masalah kesehatan.

Akibatnya, masyarakat tidak hanya menanggung beban hidup dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja. Tetapi malah harus menguras kantong menutupi defisit BPJS agar badan kesehatan tersebut tetap berjalan.

Menyikapi persolan BPJS hingga saat ini merupakan bukti dari gagalnya pemerintah dalam mengurus kehidupan masyarakat. Pemerintah seharusnya memberikan layanan dalam mengontrol kesehatan masyarakat. Seperti menyediakan klinik pengobatan gratis dan memadai. Namun lagi dan lagi hal itu mustahil diwujudkan ketika sistem ekonomi kapitalisme masih diterapkan di negri ini.

Sistem ekonomi kapitalisme yang hanya mementingkan urusan segolongan individu hingga rakyat harus mendaptkan imbas atas segala kebijakan pemerintah. Disisi lain pelayanan kesehatan pun lebih mementingkan kelas atas sehingga masyarakat yang memiliki keterbatasan dalam pembayaran biaya pengobatan pun diabaikan bahkan sampai ditelantarkan.

Jika ditinjau dari perspektif islam masalah kesehatan merupakan hal yang paling utama diperhatikan oleh negara. Hal ini karena negara hadir sebagai penerap syariat Islam secara menyeluruh termasuk yang bertanggungjawab langsung dan sepenuhnya terhadap pemenuhan hajat pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik kepada seluruh umat manusia.

Sebab Rasulullah swt telah menegaskan yang artinya “Imam(Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).

Artinya, haram negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator, apapun alasannya. Sebab salah satu tanggung jawab pemimpin adalah menyediakan layanan kesehatan dan pengobatan bagi rakyatnya secara cuma-cuma.

Sebagai kepala negara, Nabi Muhammad saw. pun menyediakan dokter gratis untuk mengobati Ubay. Ketika Nabi saw. mendapatkan hadiah seorang dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi masyarakat (HR Muslim).

Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah saw. selaku kepala negara kemudian meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Mal di dekat Quba’. Mereka diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh (HR al-Bukhari dan Muslim).

Semua itu merupakan dalil bahwa pelayanan kesehatan dan pengobatan adalah termasuk kebutuhan dasar yang wajib disediakan oleh negara secara gratis untuk seluruh rakyat tanpa memperhatikan tingkat ekonominya.

Jaminan kesehatan dalam Islam itu memiliki empat sifat. Pertama,  universal, dalam arti tidak ada pengkelasan dan pembedaan dalam pemberian layanan kepada rakyat. Kedua, bebas biaya alias gratis. Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya untuk mendapat pelayanan kesehatan. Ketiga, seluruh rakyat bisa mengaksesnya dengan mudah. Keempat, pelayanan mengikuti kebutuhan medis, bukan dibatasi oleh plafon.

Pemberian jaminan kesehatan seperti itu tentu membutuhkan dana tidak kecil.  Pembiayaannya bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariah. 

Di antaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya.  Juga dari sumber-sumber kharaj, jizyah, ghanîmah, fa’i, ‘usyur, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya.  Semua itu akan lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai dan gratis untuk seluruh rakyat, secara berkualitas. Wallahu A’lam Bishshowab.

HAMSINA HALISI ALFATIH