Suasana politik ibu pertiwi konon sedang menghijau. Apalagi kalau bukan karena Presiden-Wakil presiden serta para kabinet akhirnya resmi dilantik. Rezim di jilid II ini pun kian mantap menempatkan kritik masyarakat sebagai ancaman kekuasaan, seraya melekatkan dengan narasi perang melawan radikalisme dan ujaran kebencian.
Belakangan kita ketahui bahwa penguasa telah melakukan upaya-upaya represif melalui undang-undang dan jalur hukum untuk mengatasi para pengkritiknya. Lahirnya UU ITE, perppu Ormas atau UU politik yang menyepakati persentase soal presidential threshold adalah beberapa produk hukum yang pada akhirnya dimanfaatkan penguasa untuk menjerat para pengkritiknya. Kritik yang diberikan oleh berbagai elemen seolah-olah dimaknai sebagai tindakan yang mengganggu stabilitas keamanan negara .
Banyak bukti yang menunjukkan konklusi ini. Bahkan khusus untuk ASN, pemerintah mewacanakan pembentukan sebuah tim atau satgas pengawas dan Pembina ASN yang terdiri dari lintas Kementerian/Lembaga (K/L) dan Negara pun siap menerapkan sanksi tegas bagi ASN yang terbukti mengkritisi pemerintah, apalagi yang dipandang berpaham radikal.
Dikutip dari detik.com (14/10/2019) Aparatur sipil Negara (ASN) harus makin hati-hati menggunakan media sosial. Pasalnya, menggugah kiriman nyinyir yang berbau ujaran kebencian bisa dihukum, paling berat bisa dipecat.
Bukan cuma itu, dalam Surat Edaran BKN kepada PPK tentang Pencegahan Potensi Gangguan Ketertiban dalam Pelaksanaan Tugas dan Fungsi PNS yang terbit Mei 2018 lalu, disebutkan bahwa menyebarluaskan pernyataan ujaran kebencian di media social.
Di sisi lain, berbagai pernyataan beberapa pejabat pemerintah seperti Menteri Hukum dan HAM (Menhumham) tampak bahwa salah satu dalihnya adalah karena gencar menyuarakan gagasan tentang khilafah.
Plt.Menteri Hukum dan HAM (Menhumham) Tjajo Kumolo mengatakan baru saja memberi sanksi disiplin atau non job terhadap aparatur sipil Negara (ASN) yang menggunggah konten pro khilafah di media sosialnya.
Tjahjo enggan menyebut rinci identitas sang pegawai Negeri Sipil (PNS) tersebut. Namun sebagai ASN di kantor Wilayah Kemenkumham Balikpapan.
“Salah satu pegawai di Kanwil Kumham di Balikpapan. Saya minta pada Irjen untuk mengusut dan langsung dinonjobkan,” kata Tjahjo saat ditemui usai Rakornas Simpul Startegis Pembumian Pancasila di Hotel Merlyn Park, Jakarta, Rabu (16/10) (m.cnnindonesia.com, 16/10/2019)
Kritik Jaminan Demokrasi, Benarkah?
Sungguh miris, semua rakyat yang menyampaikan kritik selalu dicurigai dan dizalimi dengan cap radikal oleh penguasa dan sejumlah pihak. Bahkan para kritikus yang memberi alternatif penyelesaian masalah berbeda dari yang dikehendaki rezim. Hal ini dinilai tidak berkontribusi bagi bangsa, dicap radikal, hingga diberangus baik individunya maupun organisasinya.
Fakta ini menunjukan, kebebasan dalam demokrasi yang digembor-gemborkan nyaris fiktif. Terlihat jelas ambiguitas rezim demokrasi yang seolah menjamin kebebasan, faktanya anti kritik. Tak perlu diherankan, karena bagaimanapun sistem sekuler demokrasi menyimpan potensi represif dananti kritik.
Perlu untuk disadari, sikap represif dan anti krittik ini seharusnya tidak dianggap anomali atau penyimpangan dari demokrasi yang ideal. Tentu saja, karena memang potensi bawaan kecacatan sistem demokrasi, ketika adu argumentasi tidak mampu lagi mempertahankan eksistensi, maka jalan represif adalah solusinya.
Sistem demokrasi menutup celah muhasabah kepada penguasa dan cenderung berpihak kepada kepentingan kapitalis. Sistem demorkrasi sudah pasti akan menabrak proses partisipasi rakyat, sekaligus menihilkan proses dialog yang akomodatif terhadap kepentingan dan maslahat bagi rakyat
Lebih lanjut, istilah radikalisme yang dituding sampai sekarang tidak jelas definisinya. Yang sudah jelas, radikalisme selalu dikaitkkan dengan Islam. Tudingan radikal pun senantiasa dilekatkan kepada kaum muslim, terutama tentu yang berpegang teguh pada Islam dan syariahnya, termasuk yang mendakwahkan khilafah.
Hal ini menunjukkan bahwa ketakutan sekaligus kebencian terhadap Islam dan ajarannya (islamophobia) tampak semakin ganas di tanah air belakangan ini. Khilafah yang dituding bertentangn dengan Pancasila, bhineka tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945, tentu saja, dalih atau alasan-yang lebih layak disebut tuduhan atau tudingan tersebut ngawur. Pasalnya, khilafah adalah salah satu ajaran islam. Menolak khilafah sama saja dengan menolak Islam sebagai agama yang diakui keberadaannya di negeri ini.
Di ranah akar rumput, narasi radikalisme sebenarnya hanyalah mengekor pada wacana yang dibangun oleh Barat pengemban ideologi kapitalisme, sebagaimana diungkapkan Donald Trump dalam salah satu pidatonya. Tujuannya tidak lain adalah untuk membendung persatuan kaum muslimin dan mencegah kembali tegaknya kebangkitan Islam. Hingga hegemoni sekuler-kapitalisme atas negeri muslim semakin paripurna dan kokoh.
Islam Membuka kran Muhasabah!
Kondisi berkebalikan dengan demokrasi. Islam bukan sistem anti kritik. Sistem Islam membuka lebar celah muhasabah dengan standar yang jelas yakni hukum syara. Mekanisme kontrol (muhasabah) dan chek and balance dilakukan baik dari dalam maupun luar kekuasaan. Ada Majelis Umat yang melakukan fungsi muhasabah Ada Mahkamah Mazhalim ayng berfungsi menghilangkan kezaliman oknum penguasa, mulai dari khalifah sampai /(hingga)pejabat Negara terendah.
Salah satu hadis yang mendorong untuk mengoreksi penguasa, menasehati mereka, adalah hadis dari Tamim ad-Dari ra, bahwa Nabi Muhammad saw, pernah bersabda, “agama itu adalah nasihat.” Para sahabat bertanya, “untuk siapa?” Nabi saw bersabda, “untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslim dan kaummuslimin pada umumnya.” (HR. Muslim, Abu dawud, Ahmad)
.Rasulullah saw pun secara khusus telah memuji aktivitas mengoreksi penguasa zalim dan menyampaikan kebenaran kepadanya. “sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’I, al-Hakim dan lainnya).
Beliau pun bersabda, “penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abd al-Muthalib dan orang yang mendatangi penguasa zalim, lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudia ia penguasa zalim itu membunuhnya.” (HR. a;-Hakim dan ath-Thabrani).
Hendaknya penguasa melaksanakan nasihat Umar ra. Ketika umar bin Khaththab ra. Berkhutbah di hadapan kaum muslim setelah diangkat menjadi amirul mukminin, beliau berkata, “siapa saja di antara kalian melihatku bengkok, hendaklah dia meluruskannya.” Seorang laki-laki Arab berdiri dan berkata, “demi Allah, wahai Umar, jika kami melihatmu bengkok, kami akan meluruskannya dengan tajamnya pedang kami.”
Alhasil, menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk mengembalikan kepemimpinan Islam. Agar dapat terwujudnya keadilan yang kita rindukan, ketika menyampaikan pendapat tak lagi menjadi ancaman. Wallahu’alam bish-shawab…
WA ODE ASNALITA (AKTIVIS MUSLIMAH)