Pajak Kian Naik Rakyat Kian Terhimpit

Pajak Kian Naik Rakyat Kian Terhimpit
Ilustrasi.

Beberapa pekan lalu, dengan semangat melayani lebih dekat, kanwil DJP Jawa Barat 1 menggelar layanan Mobile Tax Unit (MTU) di Pasar Sehat Cileunyi Kabupaten Bandung. Mereka bekerja sama dengan KPP Pratama Majalaya dan Kantor Pos Cileunyi (https//pajak.go.id, Jumat, 13/9/2019).

Layanan ini dibuka selama tiga hari sejak Rabu, 11 September 2019 mulai pukul 08.00 sampai 13.00 WIB. Jenis layanan yang diberikan adalah pendaftaran NPWP, cetak ulang kartu, aktivasi EFIN,  pembuatan kode billing, SPT tahunan dan konsultasi pajak.

Iklan Pemkot Baubau

Fakta di atas memperlihatkan upaya dalam mengejar target setoran pajak maksimum. Maka dibuatlah program jemput bola dimana para petugas pajak hadir langsung ke tengah-tengah masyarakat. Hal ini mereka pandang sebagai upaya melayani rakyat lebih dekat. 

Pajak di era kapitalis melewati sisi-sisi kehidupan rakyat lewat berbagai jalan, suka tak suka rakyat dipaksa untuk membayar. Dari mulai barang-barang branded, nasi bungkus, pempek, materai, bea cukai, kresek hingga usaha online pun tak luput menjadi sasaran pajak.

Dalam sistem kapitalis yang diterapkan saat ini, pajak merupakan salah satu sumber utama pendapatan negara yang terdapat dalam APBN. Saat ini semua jenis kegiatan bisnis masyarakat baik skala kecil maupun besar pasti terkena target pajak. Alih-alih berpikir memudahkan kehidupan rakyat, penguasa justru terus mengulik apa yang bisa dipalak dari rakyat melalui pajak.

Ironisnya, rakyat yang menjadi korban pemalakkan bukan mereka yang hidup berlebihan alias orang kaya.Tapi justru rakyat yang hidupnya susah karena berbagai kesulitan. Slogan “Orang bijak bayar pajak” yang posternya terpampang di pojok-pojok jalan makin menambah beban pikiran bagi masyarakat.

Penguasa saat ini semakin eksis dalam memberlakukan pajak kepada rakyatnya.  Ketidakmampuan menutupi defisit keuangan negara lantas berusaha ditutupi dengan mekanisme pinjaman utang luar negeri. Utang pun menumpuk di negeri yang memiliki kekayaan alam melimpah.

Tapi sayang, kekayaan alam itu tidak pernah dirasakan oleh rakyat sebagai pemilik sesungguhnya. Hanya dinikmati oleh para konglomerat dan kapitalis. Ironisnya saat negara sekarat, pemerintah justru melirik rakyat untuk dipungut pajak dalam segala hal. 

Pada faktanya negeri ini masih tunduk dengan sistem kapitalisme, dimana kekayaan hanya dinikmati oleh segelintir  orang saja. Ketidakmampuan pemerintah mengurus rakyatnya bukan karena tidak adanya kekayaan alam yang dimiliki, justru kekayaan alam yang demikian melimpah dikuasakan kepada asing dan aseng.

Ketika sampai pada kondisi gagal dalam mengurus sumber daya alam, pemerintah pun memanjakan pengusaha dengan fasilitas yang menggiurkan. Sementara rakyat sekedar dijadikan ajang mencari keuntungan melalui pajak. Telah nyata ideologi kapitalisme yang dianut saat ini membawa masyarakat pada jurang kebinasaan.

Sesungguhnya negeri ini tidak akan bisa lepas dari jeratan ekonomi kapitalisme jika tidak mengubah sistem yang dianut saat ini menuju sistem lain yang tepat dan shahih (benar) yaitu sistem Islam. Di dunia ini selain kapitalisme ada dua sistem lain, yakni sosialis (komunisme) dan Islam.

Kapitalis dan sosialis demikian buruknya karena hanya mengandalkan akal manusia saja tanpa mengindahkan aturan dari Sang Maha Pencipta yaitu Allah SWT. Aturan Kapitalis tidak sesuai fitrah manusia karena di satu sisi mengakui keberadaan Tuhan, namun di sisi lain manusialah yang dianggap layak untuk menetapkan aturan hidupnya.

Adapun sosialis komunis, sistem ini mengingkari adanya Tuhan dan manusia dianggap sebagai pusat segalanya karena hukum dibuat berdasarkan tolak ukur materi.

Berbeda halnya dengan Islam. Islam sesuai dengan fitrah manusia. Islam memandang bahwa manusia itu lemah, serba kurang dan memiliki keterbatasan maka membutuhkan arahan dari Zat Yang Maha Kuasa, Maha mengetahui hakikat kebaikan dan keburukan atas setiap mahluk-Nya.

Ia adalah Allah Swt. Karenanya manusia wajib terikat dalam seluruh dimensi kehidupannya dengan perintah dan larangan-Nya. Seluruh perbuatannya di dunia wajib terikat dengan hukum syara.

Maka hanya Islamlah sistem shahih yang dapat mengatasi segala permasalahan kehidupan umat manusia dan Islamlah satu-satunya pilihan tepat agar manusia dapat menjalankan aktivitas kehidupannya sesuai aturan yang telah ditetapkan Allah SWT.

Dalam sistem Islam, mengelola keuangan negara pun harus berlandaskan syariat Islam. Status kekayaan alam pada hakikatnya adalah milik umat. Negara diwajibkan mengelolanya dengan baik dan benar sesuai syara yang kemudian hasilnya wajib diserahkan kepada umat. Hal ini untuk mewujudkan kesejahteraan yang diharapkan  umat. Berdasarkan hadis Rasulullah  Saw,

“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput,  air dan api(HR Abu Dawud dan Ahmad).

Kas negara (khilafah) dalam Islam disebut baitul mal. Dalam APBN Khilafah, sumber pemasukan negara yang tetap dan menjadi hak kaum muslim yang masuk ke baitul mal diperoleh dari fa’i, jizyah, kharaj, ‘usyur, harta milik umum yang  dilindungi negara, khumus, rikaz dan tambang,harta orang yang tidak memiliki waris, dan harta orang murtad.

Jika di baitul mal ada harta, maka seluruh kebutuhan dalam rangka pengurusan rakyat dibiayai oleh baitul mal. Jika tidak ada, maka kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum muslim. Sebab, jika tidak, maka akan menyebabkan dharar (bahaya) bagi seluruh kaum muslim.

Dalam rangka menghilangkan dharar ini, maka khilafah boleh menggunakan mekanisme pajak. Namun hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos bisa dibiayai, atau baitul mal mempunyai dana untuk meng-covernya. 

Pajak dalam Islam disebut dharibah. Menurut Syaikh Abdul Qadim Zalum, dharibah adalah harta yang diwajibkan Allah kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di baitul mal. (al-Amwal fii Daulati al Khilafah hal.129).

Berbeda konsep pajak dalam pandangan Islam dengan sistem kapitalis saat ini, dalam Islam perpajakan (dharibah) diambil hanya untuk memenuhi kebutuhan sesuai syara. Negara tidak akan menetapkan pajak tidak langsung yang didalamnya termasuk pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual beli dan yang sejenisnya.

Selain itu negara juga tidak akan memungut biaya apapun dalam layanan publik seperti biaya kesehatan, pendidikan, keamanan dan tidak akan juga dipungut biaya administrasi, termasuk denda layanan publik seperti PLN, PDAM, TELKOM, pembuatan SIM, STNK dan seterusnya.

Adapun perbedaan pajak dalam pandangan Islam dengan sistem kapitalis yang saat ini tengah eksis setidaknya terlihat dalam beberapa hal yakni:

Pertama, praktik pajak dalam Islam sifatnya temporer, hanya ditarik apabila baitul mal benar-benar kosong, sudah tidak mampu memenuhinya dan dalam kondisi genting. Jika kondisi negara stabil, maka pemungutan pajak dihentikan.

Kedua, dalam perspektif Islam pajak hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang merupakan kewajiban kaum muslim dan sebatas jumlah yang diperlukan dan tidak boleh lebih. Pembiayaan itu misalnya terkait jihad dan hal lain yang berhubungan dengannya, seperti industri militer. Juga untuk pembiayaan pengadaan fasilitas umum yang menyangkut kemaslahatan orang banyak, pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan pokok orang fakir miskin dan pembiayaan untuk penanggulangan bencana.

Ketiga,  dharibah (pajak) dalam Islam hanya dipungut  dari kaum muslimin dan tidak dipungut dari non muslim. Karena pajak dipungut untuk membiayai keperluan yang menjadi kewajiban bagi kaum muslim, yang tidak menjadi kewajiban non muslim.

Keempat, pajak dalam Islam juga hanya dipungut dari kaum muslim yang tergolong kaya dan tidak dipungut selain itu. Parameter  kaya dalam Islam adalah orang  yang memiliki  kelebihan  harta dari pembiayaan kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya bagi dirinya dan keluarganya menurut kelayakan masyarakat di suatu wilayah.

Demikian indahnya aturan Islam, jelaslah bahwa hanya dalam sistem Islam saja pajak memiliki landasan khas berbeda dengan pajak dalam sistem era kapitalis yang saat ini berlaku. 

Di sinilah urgensi melakukan dekonstruksi terhadap paradigma bernegara. Dari yang berorientasi kapitalisme neoliberal menjadi paradigma Islam. Semua itu hanya mampu diwujudkan jika berada dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyyah, dimana seluruh aturan yang dipakai oleh negara berdasarkan syariat Islam. Wallahu a’lam bi ash shawab.

 DARMAYANTI