Menyoal Krisis Naluri Keibuan

Menyoal Krisis Naluri Keibuan
Srinaningsi Tamil.

Kembali kita dicengangkan dengan berita seorang ibu yang seharusnya menjadi pengasuh, penjaga dan merawat anaknya tega menganiaya anak kandungnya sendiri yang baru berusia 2,5 tahun hingga tewas dengan digelonggong air selama 20 menit dengan air galon karena tidak bisa mengontrol emosinya akibat kesal terhadap suami (News.detik.com, 25/10/2019).

Pasalnya, sang istri diancam suami akan dicerai jika si anak tidak gemuk. Hati istri mana yang tidak rapuh jika dikatai demikian. Mana ekonomi pas-pasan, dapat uang darimana untuk mencukupi gizi sang buah hati. Akhirnya, hati ibu yang kalut, berbuah maut.

Iklan Pemkot Baubau

Ini baru segelintir berita yang muncul dipermukaan. Kejadian yang tak sempat terbaca media tentu lebih banyak dan miris lagi terkait kasus kekerasan orang tua pada anaknya. Bagai fenomena gunung es, kasus-kasus diatas seakan menjadi cerita pilu yang tak kunjung usai.

Kata “Ibu” yang identik dengan sosok yang baik hati dan lemah lembut bak malaikat harus tercoreng namanya dengan kasus-kasus yang tidak mampu diterima oleh akal sehat, sebab hewan sekalipun tidak akan tega mencelakakan anaknya sendiri. Namun, hal ini terjadi didepan mata kita.

Solusi yang ada seperti undang-undang perlindungan anak bahkan dibentuknya Komnas anak sekalipun belum mampu meredam permasalahan ini. Pertanyaannya, kenapa hal ini terus terjadi, bahkan semakin hari justru semakin parah?

Akar Masalah

Penyiksanaan/kekerasan terhadap anak bukan baru kali ini terjadi, bahkan setiap tahunnya meningkat dengan signifikan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat perbandingan jumlah data kasus perlindungan anak dari tahun 2011 hingga 2018, yakni 2011 sebanyak 2178 kasus, 2012 sebanyak 3512 kasus, 2013 sebanyak 4311 kasus, 2014 sebanyak 5066 kasus, 2015 sebanyak 4309 kasus, 2016 sebanyak 4622 kasus, 2017 sebanyak 4579 kasus dan 2018 total 4885 kasus. (tribunjabar.id dengan judul Angka Kekerasan terhadap Anak Selama 2018 Meningkat, Ada Pertambahan Sekitar 300 Kasus). Tahun 2019 hingga bulan juli KPAI telah menerima 1.192 laporan terkait kekerasan yang dialami anak di bawah umur.

Pelaku kekerasan yang menimpa anak yang dilakukan anggota keluarga, sebagian besar dilakukan oleh ibu kandung sendiri. Ada dua faktor yang menjadi penyebab kekerasan yang dilakukan ibu pada anak :

Pertama, pengaruh tekanan hidup. Kekerasan oleh ibu pada anak meningkat terutama pada masyarakat ekonomi lemah karena tekanan hidup yang terus bertambah, naiknya tarif listrik, makin mahalnya harga sembako, biaya pendidikan, biaya kesehatan, ditambah ditelantarkan suami, membuat mental seorang ibu ambruk, hingga ia tidak sanggup mengendalikan emosinya dalam mengasuh anak. Perkara sepele pun akan mampu menyulut emosi seorang ibu yang mengalami depresi berat.

Banyak dari kalangan masyarakat ekonomi lemah memiliki anak bukan menjadi kebahagiaan, justru bagi mereka akan menjadi sebuah beban. Selain biaya keperluan hidup yang mahal dan semakin berat, mereka juga dicemaskan dengan masa depan  yang sepertinya tidak ada harapan. Faktanya, banyak anak-anak dari masyarakat ekonomi lemah akhirnya menjadi gelandangan/anak jalanan dan salah pergaulan.

Kedua, tidak adanya kompetensi sebagai seorang ibu. Tidak sedikit perempuan muda yang menikah mempersiapkan dirinya terlebih dahulu menjadi seorang ibu. Begitu pula, ketika hamil dan melahirkan, mereka tidak berusaha untuk menambah ilmu dan wawasan mereka untuk dapat menjadi ibu yang ideal.

Hal ini nampak terlihat jelas pada seluruh lapisan masyarakat. Kita bisa melihat bahwasanya kebanyakan dari para ibu saat ini jauh lebih dekat dan lebih sibuk dengan media social, bersosialita, berbelanja dan lain-lain. Juga mengangap bahwa sekolah dapat membimbing anak-anak mereka menjadi lebih baik, seolah-olah sekolah menjadi tempat “laundry” bagi perbaikan kualitas anak-anaknya dan melupakan bahwa ialah pilar utama dan pendidik terbaik bagi anak-anaknya. 

Kondisi demikian adalah gambaran umum dari sebuah masyarakat sekulerisme-kapitalisme. Sebab, negara melepas tanggung jawabnya sebagai pelaksana akan terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Bahkan masyarakat sendirilah yang harus mengurusi kebutuhan mereka masing-masing. Katakanlah masalah kesehatan, program BPJS contohnya.

Masyarakat sendirilah yang harus membayar iuran setiap bulannya dengan besaran tertentu untuk kelas tertentu. Selain itu, banyak para pasangan yang berumah tangga tanpa paham akan konsep keluarga Islami.

Mereka tidak mempersiapkan diri untuk kedepannya melaksanakan peran masing-masing dan memahami kedudukan mereka sebagai orang tua, terutama menjadi seorang ibu. Sehingga hubungan yang terjadi di antara anggota keluarga termasuk pengasuhan yang tidak berlandaskan Islam dan memiliki peluang besar terjadinya ketidakstabilan emosional. Sebab standar yang digunakan bukanlah standar Islam.

 Demikian pula dengan kebebasan, orang tua melepaskan anaknya dan terkesan cuek terhadap pergaulannya hingga kemudian terjerumus pada hal-hal yang tidak diinginkan. Keadaan yang seperti ini akan terus berlanjut bahkan bisa semakin buruk kedepannya ketika sistem aturan itu bersumber dari manusia yang tidak akan pernah mampu menyelesaikan permasalahan manusia.

Pandangan Islam  

Keluarga muslim merupakan pondasi dasar simbol masyarakat Islami. Islam menetapkan petunjuk agung dalam keluarga, mensyariatkan aturan lengkap dan menaunginya. Dimana dalam aturan itu terdapat hak dan kewajiban masing-masing individu. Kekuatan keluarga dan pembentukan perilaku masing-masing individu menguatkan masyarakat dan menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan.

Islam meninggikan suatu masyarakat dalam bentuk peradaban yang tiada duanya dan terbentuknya peradaban ini dilihat dari sudut pandang akhlak dan sisi keluarga maka hubungan yang harus terjaga adalah hubungan suami-istri, anak-anak, kedua orang tua dan kekerabatan. Islam menentukan petunjuk yang luar biasa, memberikan gambaran yang jelas pada masing-masing suami- istri, membagi ruang lingkup antara suami dan istri supaya masing-masing berperan secara sempurna dalam hubungan keluarga dengan menjadikan masing-masing suami-istri memiliki hak bagi sebagian yang lain.

Kewajiban ini menuntut keduanya untuk berbuat baik terhadap keluarga dan bersikap adil dalam interaksi, tolong-menolong, memetakan jalan lurus bagi solusi atas berbagai macam perselisihan dan masalah.

Selain, keluarga yang harmonis, dibutuhkan juga lingkungan yang baik. Lingkungan yang saling memperhatikan satu sama lainnya. Sehingga tercipta masyarakat yang peka dan saling membantu atas permasalahan disekitarnya.

Menciptakan suasana tersebut tentunya diperlukan kerjasama semua pihak. Tidak cukup hanya beberapa keluarga atau dilingkungan tertentu saja misalnya di sekolah atau lingkungan sekitar. Tapi kita butuh peran negara yang mampu mengatur kebijakan. Baik memperbaiki sistemnya maupun memberi sanksi bagi yang melanggarnya. Sebab, jika kondisi baik maka fitrah ibu akan terjaga.

Negara yang bisa melakukan itu hanyalah sebuah negara yang kuat dan mandiri. Negara yang memiliki ideology kuat. Tentu saja bukan negara penganut system sekuler kapitalis yang merupakan biang dari segala permasalahan hari ini. Tapi negara yang mencerminkan aturan dari sang Pencipta kita, aturan islam yang menjadi landasannya. Ialah Khilafah Islamiyah.

SRINANINGSI TAMIL