Rezim jilid II telah resmi dilantik, namun perjalanan lima tahun pemerintahan sebelumnya belum menunjukan bukti atas keberhasilan rezim dalam memimpin. lika liku politik nasional telah bersama dialami oleh seluruh rakyat Indonesia.
Kegagalan demi kegagalan justru semakin nampak. Ditengah permasalahan yang tak kunjung usai menyelimuti bangsa ini, hanya masalah radikalisme yang menjadi fokus perhatian pemerintah.
Sungguh mencengangkan dalam kabinet barunya hampir lima menteri yang ditugaskan untuk memberantas habis radikalisme, mulai dari Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri PAN-RB dan yang menjadi ujung tombak adalah Menteri Agama. Ini menunjukan ketakutan yang luar biasa!
Bila Radikalisme dinisbatkan pada ajaran syariah, khilafah, dan jihad, maka otomatis yang menjadi objek pemberantasan radikalisme adalah umat Islam yang mempelajari, mengamalkan dan memperjuangkan tiga ajaran tadi. Pertanyaan nya apakah layak tiga ajaran tadi dijadikan musuh negara ? sehingga begitu mengerikan hingga harus diberantas?
Narasi yang dibangun oleh kalangan yang tidak bertanggung jawab menyebutkan bahwa para pengusung ajaran tersebut akan menyebabkan pecahnya persatuan dan kesatuan bangsa, menimbulkan konflik sosial, dan yang paling berbahaya adalah perubahan ideologi nasional.
Cukup mengerikan bukan? Ya tentu saja, bagi orang yang tidak mendalami syariah Islam secara kaffah hal demikian sangat mungkin terjadi.
Islamo-fobia, khilafah-fobia, bendera tauhid-fobia, jihad-fobia adalah diantara ketakutan ketakutan yang tercipta dalam sosialisai ide anti radikalisme. Pengusung ide anti radikalisme memanfaatkan ketidakpahaman umat Islam kepada syariat nya sendiri. Dan menakut-nakuti mereka dengan hilang nya dunia yang damai dan tentram. Ini adalah propaganda keji.
Sesungguhnya penerapan hukum syariah, penegakkan khilafah, dan pelaksanaan jihad tidak akan merugikan umat Islam dan orang-orang non muslim yang berada dalam negara Islam. Hal ini telah terbukti dalam rangkaian sejarah panjang peradaban Islam, yang dimulai sejak berdirinya Negara Islam di Madinah hingga Khilafah Turki Utsmani.
Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun”. (HR. Ahmad)
Imam Qarafi menyinggung masalah tanggung jawab negara terhadap ahlu dzimmah. Ia menyatakan, “Kaum Muslim memiliki tanggung jawab terhadap para ahlu dzimmah untuk menyantuni, memenuhi kebutuhan kaum miskin mereka, memberi makan mereka yang kelaparan, menyediakan pakaian, memperlakukan mereka dengan baik, bahkan memaafkan kesalahan mereka dalam kehidupan bertetangga, sekalipun kaum Muslim memang memiliki posisi yang lebih tinggi dari mereka. Umat Islam juga harus memberikan masukan-masukan pada mereka berkenaan dengan masalah yang mereka hadapi dan melindungi mereka dari siapa pun yang bermaksud menyakiti mereka, mencuri dari mereka, atau merampas hak-hak mereka.”
T.W. Arnold, dalam bukunya The Preaching of Islam, menuliskan bagaimana perlakuan yang diterima oleh non-Muslim yang hidup di bawah pemerintahan Daulah Utsmaniyah. Dia menyatakan, “Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi Khilafah yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamaan diberikan pada mereka, dan perlindungan jiwa dan harta yang mereka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen”.
Arnold kemudian menjelaskan; “Perlakuan pada warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman -selama kurang lebih dua abad setelah penaklukkan Yunani- telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa. Kaum Kalvinis Hungaria dan Transilvania, serta negara Unitaris (kesatuan) yang kemudian menggantikan kedua negara tersebut juga lebih suka tunduk pada pemerintahan Turki daripada berada di bawah pemerintahan Hapsburg yang fanatik; kaum protestan Silesia pun sangat menghormati pemerintah Turki, dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam… kaum Cossack yang merupakan penganut kepercayaan kuno dan selalu ditindas oleh Gereja Rusia, menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen di bawah pemerintahan Sultan.”
Mereka yang merasa damai dan tentram dengan kondisi saat ini, merasa aman dalam menjalankan dan mengajarkan agama, seharusnya membuka mata lebih lebar dan melihat dunia ini secara keseluruhan.
Lihatlah bagaimana konflik di Timur Tengah yang tak kunjung selesai, permasalahan kaum Muslim Uighur, Rohingya, Kashmir, hingga berbagai bentuk tindakan antimuslim di Eropa dan Amerika. Indonesia pun mengalami hal yang sama, arus liberalisme, sekulerisme dan pluralisme telah benar-benar merusak pemikiran umat Islam.
Maka, penentuan target pemberantasan radikalisme yang menyasar umat Islam adalah kekeliruan yang sangat besar. Apalagi sampai menyasar ajaran Islam, ayat Al-Quran dan hadits Nabi yang dianggap memecah belah bangsa.
Semoga mereka yang memusuhi ajaran Islam akan berubah pikiran sebagaimana berubah nya Umar bin Khaththab yang pernah berkata sebelum ia masuk Islam, “Aku ingin mencari orang yang berpindah agama itu, Muhammad. Yang telah memecah belah bangsa Quraisy, menghina impian Quraisy, mencela agama dan menghina tuhan-tuhannya. Aku ingin membunuhnya.”Akan tetapi setelah ia mendengar ayat Al-Quran, mendengarkan penjelasan apa itu Islam, ia berubah menjadi orang yang siap pasang badan dalam melindungi dakwah Islam.
Semoga pemerintah segera menghentikan narasi Radikalisme yang menyesatkan, lebih banyak membangun dialog dengan umat Islam. Sejatinya keberadaan bangsa ini dibentuk oleh umat Islam, dan keberadaan umat Islam ditentukan oleh keberlangsungan ajaran Islam yang diterapkan secara kaffah dalam kehidupan. Wallahu a’lam bishawab.
UMMU INQIYAD