Kenaikan Premi BPJS Kesehatan Mengorbankan Rakyat

Kenaikan Premi BPJS Kesehatan Mengorbankan Rakyat
Rahmi Rahmawati.

Presiden Joko Widodo resmi menaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen yang akan berlaku mulai 1 Januari 2020 bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja menjadi sebesar Rp. 42 ribu per bulan untuk kelas III, Rp110 ribu per bulan untuk kelas II dan Rp. 160 ribu per bulan untuk kelas I (Kompas.com. 1/11/2019).

Maka mulai 1 Januari 2020, iuran BPJS Kesehatan akan meningkat hingga lebih dari dua kali lipat. Kenaikan ini diakibatkan oleh kinerja keuangan BPJS Kesehatan yang terus merugi sejak lembaga ini mulai berdiri pada 2014. Oleh karena itu, kenaikan iuran dianggap menjadi  stimulus agar BPJS Kesehatan dapat tetap berjalan melayani masyarakat yang membutuhkan fasilitas kesehatan.

Iklan Pemkot Baubau

Kenaikan premi BPJS Kesehatan ini diatur di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang ditandatangani pada 24 Oktober 2019.

Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi menduga, kenaikan ini tak lebih dari sekadar ‘gali lubang, tutup lubang’ yang artinya tidak akan berdampak secara positif terhadap peningkatan mutu pelayanan kesehatan (Kompas.com. 3/11/2019).

Di era sekarang, pelayanan kesehatan termasuk komoditas yang jika kita mampu membayarnya maka kita akan mendapatkannya. Pemerintah selalu menggembar-gemborkan pada warganya bahwa BPJS merupakan jaminan sosial dalam bidang kesehatan yang akan menguntungkan rakyat secara luas, sehingga rakyat wajib untuk turut serta. Apakah faktanya demikian?

BPJS termasuk program asuransi yang kepesertaannya wajib untuk seluruh warga. Dalam Ijtima Ulama V tahun 2015 KH. Ma’ruf Amin menyatakan bahwa BPJS belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam.

Mudir Ponpes Hamfara Bantul DIY KH. Shiddiq Al Jawi berpendapat bahwa masalah penyelenggaraan BPJS Kesehatan hukumnya bisa saja haram saat ini bukan hanya adanya ketidakpastian (gharar), riba, dan maisir tetapi akad nya pun tidak sesuai dengan syariat.

Karena objek akad (ma’quud ‘alaih) asuransi tidak dapat dikategorikan objek akad yang sah yaitu objek barang dan jasa. Objek akad asuransi adalah janji atau komitmen (at ta’ahud) yakni perusahaan asuransi berjanji akan membayar dana pertanggungan jika terjadi suatu peristiwa penyebab turunnya dana pertanggungan seperti kematian, kecelakaan, kebakaran dan sebagainya.

Selain objek akad ini, akad asuransi juga haram karena tak sesuai dengan ketentuan-ketentuan akad pertanggungan/ jaminan (Media Ummat. 20/08/2015)

Lebih dari pada keharaman yang diungkapkan oleh banyak Ulama, sebaiknya kita juga melihat dari sisi kewajiban pelayanan kesehatan itu sendiri. Dalam Islam, kita tahu bahwa pelayanan kesehatan termasuk hak rakyat yang harus dijamin oleh negara.

Tidak ada kewajiban iuran yang bertopeng jaminan sosial yang harus dibebankan pada rakyat. Tatanan hidup sekuler demokrasi membuat sistem negara menjadi negara korporasi di mana negara menjadikan layanan kesehatan yg seharusnya hak mendasar umat malah menjadi lahan bisnis atau sumber pundi-pundi negara.

Rakyat sekarang hidup tidak pada habitatnya. Tatanan hidup sekuler bukanlah habitat untuk umat Islam dan rakyat secara keseluruhan. Umat rindu dan perlu akan sistem Islam yg menjadikan fungsi negara atau penguasa sebagai pengurus (penjaga maslahat) dan pelindung umat, bukan negara sebagai pemalak. wallahu a’lam.

RAHMI RAHMAWATI