Pacaran, free-sex, gay (homo-sexual), minuman keras, gaya hidup hedonis (bermewah-mewah) merupakan sedikit dari banyak contoh fenomena masyarakat kita saat ini. Dahulu, hal ini mungkin terasa asing (bahkan tabu) bagi sebagian masyarakat kita namun kini justru dianggap sesuatu yang lumrah.
Ada yang beranggapan bahwa fenomena tersebut wajar karena kita memasuki era modernisasi, bagian dari adaptasi budaya kita dengan kemajuan budaya dan pola pikir dunia luar (terutama dunia Barat) yang dianggap sebagai rujukan standar negara maju. Ada pula yang mengambil sikap ‘netral’, berada di ‘tengah-tengah’ dengan mengambil apa yang (mereka anggap) baik dari budaya luar dan tetap mempertahankan budaya ketimurannya.
Namun tanpa disadari, pergeseran moral secara terang-terangan telah terjadi, terutama berimbas kepada anak-anak mudanya. Perlahan tapi pasti, fenomena sosial tersebut menjadi rujukan gaya hidup masyarakat kita saat ini, terutama anak-anak mudanya.
Contoh, Film yang baru saja rilis di Bioskop nasional kita 10 Oktober lalu, berjudul “SIN” memberikan gambaran kehidupan anak muda saat ini yang begitu vulgar, bermewah-mewah, sekolah hanya untuk mengukuhkan eksistensi dan tidak ada unsur edukasi sama sekali. Melainkan hanya ‘edukasi’ menaklukkan hati ‘lelaki idaman’ (Astagfirullah).
Belum lama berselang, kita juga dikejutkan fenomena para siswa mengeroyok guru di sebuah SMU kota Kendal dan beberapa contoh fenomena miris lainnya. Seperti fenomena gunung es, apa yang nampak saat ini hanyalah ‘puncaknya’ saja, apa yang terjadi di bawah sungguh jauh lebih besar dan memprihatinkan.
Sanggupkah kita memberikan tongkat estafet kepemimpinan negeri ini kepada anak-anak muda yang telah rusak moralnya?
Belum lagi peran Media Sosial saat ini, yang merupakan perangkat wajib masyarakat kita saat ini, menjadi ‘booster’ pendorong propaganda gaya hidup yang merontokkan nilai-nilai moral masyarakat kita. Dengan mudahnya masyarakat dapat mengakses berita maupun gaya hidup yang melenceng. Artis-artis Barat yang menampilkan gaya hidup ‘Gay’-nya dan pemberitaan media massa yang tanpa ‘filter’ semakin memperparah kemorosotan berfikir masyarakat dan menganggap lumrah hal tersebut.
Media massa (TV, internet) yang seharusnya menjadi sumber informasi yang bermanfaat bagi masyarakat, demi mendobrak audience-share (tingkat tontonan tertinggi) rela menjual prinsip jurnalistik mereka dengan menjual berita-berita yang tidak pantas, hoax dan tidak objektif.
Pemerintah sebagai pemegang kendali utama negara, memiliki tanggung jawab lebih terhadap semua informasi yang diserap oleh publik saat ini. Penjagaan moral dan akhlak bangsa seharusnya menjadi salah satu prioritas pemerintah saat ini. Bangsa yang kuat salah satunya didukung oleh generasi mudanya yang cerdas, berakhlak mulia dan kuat mentalnya.
Hal ini tentu tak lepas dari peran ISLAM, yang tidak hanya mengajarkan tentang ibadahnya saja, namun mengajarkan pula tata cara berkehidupan (interaksi, ekonomi, pengaturan bangsa, dll.
Penegakan tiga pilar: adanya individu yang bertakwa, kontrol masyarakat dan institusi yang meneggakkan hukum syariat menjadi kunci penting bagi perubahan masyarakat kita.
Tiga pilar tersebut akan menggiring umat untuk kembali mempelajari Islam secara utuh (kaffah) dan peran Pemerintah sangat mutlak diperlukan untuk menerapkan pilar ini dalam institusi pemerintahan demi mengembalikan kemuliaan umat. Jika masyarakat dibiarkan begitu saja tanpa penerapan Tiga Pilar ini, maka arah perubahan yang kita inginkan hanya akan menjadi sesuatu yang utopis.
Sehingga keliru pandangan yang menilai agama harus dipisahkan dari kehidupan bernegara karena ISLAM hadir dengan seperangkat tatanan pengaturan hidup bernegara dan berbangsa. Semua dapat diperoleh dengan penggalian dari sumber hukum Islam, yaitu: Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Sejarah membuktikan ISLAM berjaya dengan Sistemnya yang dahulu dianut oleh hampir 2/3 dunia selama kurang lebih 13 abad. Bukti-bukti peninggalan sejarah dan Undang-Undang yang dibuat pada masa tersebut menunjukkan hukum dibuat dengan proses ijtihad oleh para mujtahid pada masa itu.
Jika Islam gagal dengan penerapan sistemnya, maka tidak mungkin dapat bertahan hingga 13 abad lamanya dan bukti telah berbicara. Hanya ISLAM yang dapat memberikan solusi konkrit bagi permasalahan sosial saat ini.
NUR FATWA KUSUMA SARI