Densus 88 Antiteror amankan pasangan suami istri terduga teroris pemilik kontrakan di Desa Gunungsari, Kecamatan Ciranjang, Cianjur, Jawa Barat, Kamis (14/11/2019), keduanya diamankan di dua lokasi berbeda.
“DS (24) diamankan di sebuah sekolah tempatnya mengajar di Kampung Cibanteng, Desa Gunungsari, Kecamatan Ciranjang, sedangkan DK (25) istrinya diamankan di rumah kontrakan,” kata Ure Suryadi Ketua RT setempat. (Antaranews, 14/11/2019).
Belakangan ini mencuat persoalan perempuan terlibat radikalisme. Fakta yang dipersoalkan adalah perempuan Muslimah yang diduga sebagai pelaku pengeboman. Terlepas dari realita sesungguhnya, seiring dugaan tersebut, muncul pembahasan tentang perempuan cegah radikalisasi.
Intinya, perempuan rentan terpapar doktrin radikal dan menjadi media ‘ampuh’ untuk melahirkan generasi radikalis. Karena itu pula perempuan bisa menjadi penangkal radikalisme sejak dari rumah. Caranya dengan mengajarkan Islam damai dan moderat kepada anak-anak. Bagaimana kita menyikapi wacana ini?
Diksi radikal yang semula netral, kini berubah buruk, dilabeli negatif dan identik dengan kekerasan. Sebutan radikal ditujukan pada kelompok Islam. Ajaran Islam dituding menjadi sumber radikalisme. Radikalisme dan kelompoknya telah dijadikan musuh bersama dunia.
Perang ini sejatinya dikobarkan negara penganut ideologi kapitalis yang sangat phobi dengan Islam. Mereka menggunakan penguasa antek dan ‘menekan’ mereka untuk melibatkan seluruh elemen bangsa dalam ‘perang’ peradaban ini. Mereka melibatkan lembaga-lembaga negara, aparat hukum, ormas, parpol, kampus, aktivis masyarakat, ulama, tak terkecuali perempuan.
Ungkapan bahwa radikalisme bisa datang dari dalam rumah adalah ide jahiliah meski ia keluar dari mulut yang mengaku diri sebagai ulama.
Ini fitnah terhadap agama. Pasalnya, itu artinya pendidikan agama yang dilakukan ibu sebagai madrasatul ula yang menyemai benih keimanan, menumbuh-suburkannya hingga mewujudkan anak-anak yang berpegang teguh pada kebenaran dan berakhlak mulia dianggap berbahaya.
Layakkah ajaran Allah SWT yang kita yakini ini kita takuti? Tentu tidak. Karena itu para ibu dan perempuan tidak boleh menerima begitu saja program deradikalisasi. Sejatinya deradikalisasi adalah anti Islam. Program ini menawarkan Islam palsu.
Ini adalah hasil dari ta’wil (pengertian menurut akal manusia yang terbatas), yaitu Islam moderat yang dikenalkan dengan nama Islam Nusantara; hasil dari kompromi berbagai ide yang berlawanan dengan pemahaman Islam yang benar.
Di dalamnya diajarkan toleransi yang keliru seperti keharusan umat Islam menerima pemimpin kafir, kebolehan Muslim mengikuti misa natal di gereja. Mengubah hukum mubah menjadi wajib. Menganggap yang haram menjadi boleh karena dasar maslahat (kepentingan manusia), misal mendorong dengan massif para ibu rumah tangga dan perempuan untuk bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, hingga pekerjaan yang haram pun, yaitu PSK menjadi sah demi kehidupan keluarga.
Memaksa umat Islam untuk menerima kaum l6bt yang dilaknat Allah menjadi bagian dari masyarakat heterogen. Umat dipaksa menerima keharaman.
Menganggap tugas rumah tangga yang wajib atas perempuan sebagai beban. Menghasut perempuan bahwa hukum waris, jilbab, poligami, wajib izin suami untuk keluar rumah, adalah tindak diskriminasi atas mereka. Diajarkan pula bagaimana anak-anak tidak boleh menyebut kata kafir, didorong saling memberi selamat atas hari raya agama lain, dan masih banyak yang lainnya.
Semua ini adalah bahaya besar bagi proses perubahan umat menuju kebangkitan hakiki. Dengan itu diharapkan akan lahir generasi toleran yang sejatinya adalah generasi pengacau hukum Islam. Bungkusnya tampak baik, yaitu toleran, saling menghargai dan menghormati, hidup rukun dan damai, kesejahteraan perempuan. Namun, di dalamnya adalah penyesatan pola pikir umat dan penyimpangan perilaku yang akan mengaborsi kelahiran generasi shalih.
Karena itu para ibu harus istiqamah menjalankan peran penting dan strategisnya dalam mendidik anak dengan akidah dan syariah Islam yang benar, yang digali dengan cara yang benar dari Alquran dan al-Hadis. Ini karena pondasi kepribadian anak bermula dari ajaran yang ditanamkan orangtua. Sudah semestinya orangtua jangan bereksperimen dengan mencoba-coba mengajarkan Islam yang ‘abal-abal’.
Orangtua wajib mengajarkan akidah yang benar. Ia adalah pondasi segala sesuatu. Mengimani Allah SWT adalah kunci segala kepatuhan dan ketundukan. Allah SWT adalah Pencipta manusia dan semesta alam. Dia menurunkan aturan untuk manusia, yaitu Islam, melalui perantaraan malaikat Jibril kepada Rasulullah Muhammad saw. Ajaran Islam ini menjadi warisan berharga bagi umat manusia akhir zaman. Rasulullah saw. bersabda:
Aku telah meninggalkan untuk kalian dua hal, tidak akan pernah kalian tersesat selama berpegang teguh pada keduanya, yaitu kepada Kitab Allah (al-Quran) dan Sunnah Nabi-Nya (HR Malik).
Selanjutnya orangtua harus memahamkan pada anak-anak bahwa Allah SWT telah menyediakan dua tempat di kehidupan setelah dunia, yaitu surga dan neraka. Pilihan untuk masuk ke tempat yang mana ditentukan oleh pilihan manusia saat mereka berada di dunia. Ada perbuatan di dunia yang manusia diberi hak untuk memilih sesuai dengan pemahamannya (apakah ia memilih hukum Islam atau tidak).
Ada pula kejadian yang manusia tidak punya kemampuan untuk menolaknya (qadha’ Allah/ketetapan). Hal-hal inilah yang mesti ditanamkan dengan kokoh pada generasi umat. Pandangan dan sikap yang benar terhadap akidah adalah pangkal seluruh kebaikan.
Para orangtua juga wajib mengajarkan hukum-hukum Islam seputar ibadah, muamalah dasar, pergaulan lawan jenis, akhlak, makanan halal dan thayyib, pakaian syar’i dan keterampilan dasar di rumah.
Selanjutnya orangtua wajib memberikan pendidikan lanjut tentang hukum Islam di bidang lain dengan menyekolahkan mereka atau yang lainnya. Dengan itu anak-anak paham mana transaksi ekonomi yang dilarang dan mana yang dibolehkan, paham adab pergaulan di masyarakat, bagaimana menyikapi perbedaan dan kemaksiatan yang ada di masyarakat.
Selanjutnya orangtua harus menjelaskan adanya kewajiban dakwah, yakni aktivitas menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran, yaitu menyerukan pelaksanaan seluruh hukum Islam. Perintah saling menasihati dalam kebaikan dan mencegah keburukan berlaku atas setiap individu Muslim.
Saling menasihati sesama umat Islam untuk menjalankan islam yang sahih dan mengingatkan untuk tidak mengambil dan menjalankan hukum di luar Islam. Orangtua juga harus menjelaskan bahwa kejahatan, kesengsaraan dan buruknya kondisi umat Islam hari ini tidak semata karena kesalahan individu Muslim semata.
Semua itu adalah akibat dari tidak diterapkan syariah Islam dalam kehidupan masyarakat. Sebab itu, harus ada dakwah yang menyerukan penerapan syariah Islam di berbagai bidang. Orangtua pun harus memahamkan bahwa syariah Islam kâffah itu agar bisa diterapkan secara riil dan sempurna harus ada negara sebagai penerapnya.
Karena negara yang ada saat ini tidak menjadikan syariah Islam sebagai sumber hukum, maka ada kewajiban bagi umat untuk mengadakan negara tersebut.
Selanjutnya orangtua mengarahkan agar anak terlibat dalam dakwah mengembalikan penerapan syariah Islam sebagai konsekuensi logis atas pelaksanaan akidah (keimanan) kepada Allah, Rasul dan kitab-Nya, juga sebagai komitmen hamba terhadap Allah SWT. Tentu semua proses pendidikan dan pembinaan orangtua kepada anak-anaknya menyesuaikan dengan usia atau kemampuan berpikir mereka.
Di sinilah sebenarnya peran penting seorang ibu dalam menyiapkan generasi shalih yang diharapkan seluruh umat. Justru peran penting yang strategis inilah yang akan diberangus oleh musuh-musuh Islam.
Cara mereka memang tidak tampak kasar dan keras. Mereka bermain di ranah pemikiran, mengubah mindset perempuan khususnya. Tujuannya agar mereka melihat hukum Islam terkait tugas perempuan itu sebagai musibah.
Hukum-hukum yang mengatur kemaslahatan perempuan dipandang tali kekang. Mereka menolak ajarannya sendiri dan mengambil mindset selain Islam, yakni kapitalisme liberal.
Hal penting yang harus dimengerti adalah bahwa yang menyerukan mindset liberal ini ada dari kalangan Muslim juga. Bahkan ada perekrutan di kalangan da’iyah untuk menjadi corong penyesatan mindset ini.
Karena itu kita harus waspada penuh dengan memperhatikan pemikiran yang dibawanya. Kita tidak melihat performa luarnya sebagai ulama atau klaim identitas semata, tetapi menelaah pemikiran yang mereka lontarkan. Siapa pun yang menyampaikan ide, hukum dan pandangan yang berseberangan dengan ide, hukum dan pandangan Islam, wajib ditolak.
Terakhir, seruan untuk para ibu dan perempuan khususnya, kembalilah pada metode pengajaran Islam yang sebenarnya, yaitu dengan pembinaan yang dilakukan oleh kelompok Islam yang menyerukan pada kembalinya penerapan syariah Islam kâffah dan penegakan Khilafah. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul jika Rasul menyeru kalian pada sesuatu yang memberikan kehidupan kepada kalian” (TQS al-Anfal [8]:24). Wallahua’lam.
TAWATI