Berbicara tentang ketahanan pangan, maka harus diiringi kebijakan politik pertanian yang cemerlang, dan ini harus disinergiskan dengan strategi pemerintah dalam mengkordinir hal tersebut. Sehingga swasembada pangan merupakan hal yang penting untuk di reliasasikan.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Desember 2014 silam pernah berjanji mengupayakan swasembada pangan dalam tiga tahun pemerintahannya, namun belum sepenuhnya tercapai (IndonesiaInside.id 18/10/19).
Nampaknya janji yang dikeluarkan oleh pemerintah hanya sekedar isapan jempol semata. Berdasarkan data Ombudsman RI, total impor beras dalam kurun waktu 4 tahun (2015-2018) sebesar 4,7 juta ton, sedangkan pada kurun waktu 2010-2014 mencapai 6,5 juta ton Sedangkan total impor gula selama kurun waktu 2015-2018 mencapai 17,2 juta ton, lebih tinggi 4,5 juta ton dibandingkan periode 2010-2014 yang mencapai 12,7 juta ton (IndonesiaInside.id 18/10/19).
Negeri yang disebut-sebut sebagai “tanah surga” terkesan aneh bila harus memenuhi kebutuhan perut rakyatnya dengan mengimpor hasil pertanian dari negeri seberang. Indonesia yang dilabeli sebagai negara agraris seharusnya dapat swasembada pangan tanpa bergantung pada impor.
Adanya aktifitas mengimpor yang dilakukan oleh pemerintah berdampak pada kenaikan harga bahan pokok dipasaran, dan berimbas pada ketidakmampuan rakyat untuk memperoleh bahan pangan yang baik sebab harganya terlampau tinggi, tak dapat dijangkau rakyat menengah kebawah. Selain itu pula berdampak pada produk lokal hasil pertanian yang akhirnya kalah bersaing dipasaran bila disandingkan dengan produk impor.
Bila melihat sumber daya alam yang dimiliki bumi pertiwi ini, sudah pasti mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Akan tetapi, mengapa aktifitas mengimpor masih saja dilakukan oleh pemerintah?
Sudah bisa diprediksi bahwa ada Liberalisasi di bidang pertanian yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Pemerintah hadir sebagai regulator yang memuluskan jalannya para pelaku dengan mengeluarkan kebijakan maupun perizinan. Sebab liberalisasi pertanian pula, hanya pihak yang bermodal besar sajalah yang akhirnya dapat menguasai sektor pertanian.
Dengan demikian, ketahanan pangan bagi seluruh rakyat akan terwujud hanyalah jika pemerintah hadir secara utuh sebagai pelayan dan pelindung rakyat disertai penghentian implementasi sistem ekonomi kapitalisme.
Dalam sistem islam dibawah naungan khilafah, kebutuhan pokok setiap individu dijamin kebutuhannya, sementara untuk kebutuhan sekunder dan tersier pemerintah menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan siapapun memenuhinya sesuai dengan kesanggupan.
Artinya, kebutuhan akan pangan (sembilan bahan pokok), sandang dan papan setiap individu-individu masyarakat dijamin mendapatkannya. Ketika mereka secara individual tidak dapat memenuhinya, keluarganya pun tidak dapat menolong, maka pada saat demikian pemerintah harus langsung turun tangan.
Tidak boleh ada seorang penduduk pun yang kelaparan dan tinggal di emper jalanan. Bila hal itu terjadi maka yang bertanggung jawab adalah pemerintah.
INDRYANI PUTRI