Miris Impor Cangkul di Negara Agraris

Miris Impor Cangkul Di Negara Agraris
Hany Handayani Primantara.

Salah satu ciri negara mandiri adalah negara yang mampu memproduksi segala kebutuhan sendiri. Negara yang sudah mampu memproduksi barang yang sifatnya urgen secara mandiri, tidak akan disetir oleh negara lain.

Maka ketergantungan terhadap impor barang bisa dikategorikan sebagai kondisi yang masih blm mapan secara ekonomi. Bahkan disadari atau tidak, impor barang merupakan penjajahan secara ekonomi.

Iklan Pemkot Baubau

Hal inilah yang membuat presiden RI malu ketika tahu Indonesia sebagai negara agraris justru impor cangkul mencapai 268 ton dari negara lain. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diterima detikcom, Jumat (8/11/2019), impor cangkul sepanjang Januari-September 2019 senilai US$ 101,69 ribu dengan total berat 268,2 ton.

Sebagai negara agraris tentu keberadaan cangkul sebagai alat produksi merupakan hal yang vital. Parahnya kebutuhan akan pasokan cangkul ini justru dipenuhi oleh negara lain.

Ekonomi kerakyatan dan ekonomi pancasila yang digaungkan pemerintah tak sejalan dengan kenyataan yang menunjukan bahwa ekonomi neoliberalisme yang berjalan di negeri ini. Impor cangkul adalah salah satu bukti valid yang menunjukkan berlakunya sistem ekonomi neoliberalisme.

Berporos pada pasar bebas dan perdagangan bebas. Menolak intervensi pemerintah secara langsung yang akhirnya hanya menjadikan rezim penguasa sebatas fasilitator.

Keberadaan barang impor yang terus membanjiri pasar lokal dengan harga murah sebenarnya adalah dampak dari kebijakan penguasa sendiri. Yakni melakukan perjanjian pasar bebas, menandatangani AFTA, CAFTA yang menawarkan janji semu perbaikan ekonomi.

Hal ini akan sangat berbahaya bagi negara berkembang. Bukan pembangunan ekonomi yang didapat justru matinya pengusaha dalam negeri.  Bagaimana mungkin bisa menjadi negara yang mapan jika fondasi ekonominya saja belum tangguh akibat ketergantungan.

Sungguh aneh jika penguasa justru memberikan respon heran atas kejadian ini. Karena kondisi ini tentu tak lepas dari kebijakan yang diambilnya sebagai seorang penguasa.  Inilah hal miris di negara agraris, hingga sandiaga uno sebagai seorang pengusaha pun angkat bicara menyebutnya ironis.

Tentu kita pun tak bisa salahkan pemerintah seratus persen atas kejadian ini. Karena bagaimanapun rakyat Indonesia sendiri yang sudah mepercayakan negeri ini dikelola oleh penguasa saat ini.

Ibarat nasi sudah menjadi bubur maka yang dapat dilakukan rakyat Indonesia saat ini adalah merenungkan dengan seksama. Masih layak-kah sistem ekonomi neoliberalisme saat ini dipertahankan? Nyatanya bukan pembangunan ekonomi merata  yang dihasilkan justru ketimpangan serta kemalangan ekonomi melanda.

Sudah saatnya bangsa ini mempertimbangkan sistem lain yang layak untuk di tawarkan. Sistem yang tak akan mampu diintervensi oleh pihak lain. Sistem yang mampu atasi permasalahan ekonomi yang membelit negeri ini. Sistem antikrisis, antiinflasi, serta menyejahterakan.

Sistem yang mampu diterapkan kepada semua kalangan yang heterogen semacam negara Indonesia. Negara yang beragam suku, budaya dan bahasa. Mampu menyatukan tanpa mencederai. Mampu mengayomi di setiap lini. Sebuah sistem yang lahir dari yang Maha adil. Wallahu a’lam Bishowab.

HANY HANDAYANI PRIMANTARA