Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) bersama sejumlah kementerian/lembaga terkait menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang penanganan radikalisme bagi kalangan aparatur sipil negara (ASN), Selasa (12/11).
Terdapat 11 kementerian/lembaga yang ikut menandatangani SKB tersebut, yakni Kemenko Polhukam, Kemendagri, Kemendag, Kemenkominfo, Kemendikbud, Kemenkumham, BIN, BNPT, BIPP, BKN, KASN.
Deputi Bidang SDM Aparatur Kementerian PANRB Setiawan Wangsaatmaja mengatakan SKB tersebut sebagai langkah antisipasi terhadap maraknya isu radikalisme di kalangan ASN. Ia mengatakan pihaknya mendasarkan pada Undang-undang ASN dan keempat pilar negara Indonesia. Keempat pilar tersebut adalah Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. (CNNIndonesia, 12/11/2019)
Istilah “radikal” bisa mempunyai konotasi positif atau negatif. Tergantung pengguna, konteks dan penggunaannya. Menurut Sarlito Wirawan, “radikal” adalah afeksi atau perasaan positif terhadap segala sesuatu yang bersifat ekstrem sampai ke akar-akarnya. Sikap radikal akan mendorong perilaku individu untuk membela mati-matian kepercayaan, keyakinan, agama atau ideologi yang dia anut.
Namun, ketika istilah “radikalisme” disematkan pada Islam sehingga lahir antitesis, “Perang Melawan Radikalisme”, maka konotasi “radikalisme” di sini jelas negatif. Apalagi dibumbui dengan berbagai framing: “radikalisme mengancam keutuhan negara”.
Akibatnya, konotasi yang terbentuk dalam benak masyarakat jelas negatif. Pendek kata, penggunaan istilah ini jelas merupakan propaganda untuk menyerang Islam, umat Islam dan proyek perjuangan Islam yang dianggap mengancam kepentingan penjajah dan para kompradornya.
Dengan konotasi seperti ini, umat Islam tidak boleh menggunakan istilah ini untuk menyerang agamanya, menyerang sesama umat Islam dan proyek perjuangan Islam. Pasalnya, di balik penggunaan istilah “radikalisme” jelas ada skenario untuk menyerang Islam, umat Islam dan proyek perjuangan Islam.
Yang lebih menyedihkan, ketika proyek “Perang Melawan Radikalisme” ini dilakukan oleh negara. Akibatnya, terjadilah pelecehan terhadap Islam secara masif; kriminalisasi ajaran Islam, ulama dan kaum Muslim.
Allah SWT jelas mengharamkan siapa saja yang mengusik keyakinan kaum Muslim:
إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ
“Sungguh orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada kaum Mukmin laki-laki dan perempuan, kemudian mereka tidak bertaubat, bagi mereka azab Jahanam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar” (TQS al-Buruj: 10).
Ibn ‘Asyur dalam kitab tafsirnya menjelaskan, bahwa ayat ini merupakan ancaman Allah SWT kepada mereka yang telah mengusik keimanan kaum Muslim agar mereka meninggalkan agamanya.
Dalam Tafsir as-Sa’adi, mengutip penjelasan al-Hasan, fitnah di sini bukan saja mengusik keyakinan, tetapi membunuh para kekasih dan mereka yang mentaati-Nya. Karena itu mempersekusi dan mengkriminalisasi ulama merupakan bagian dari fitnah yang diharamkan di dalam ayat ini.
Jika mereka tidak bertaubat, dengan menghentikan fitnah yang dilakukan terhadap orang Mukmin, mereka akan mendapat azab Jahanam dan azab yang membakar mereka. Ancaman azab ini menjadi qarînah (indikasi) bahwa tindakan ini hukumnya haram. Karena itu haram hukumnya bagi kaum Muslim untuk terlibat dalam kampanye, kegiatan dan proyek seperti ini.
Lalu bagaimana caranya agar umat Islam bisa diselamatkan dari proyek jahat seperti ini?
Pertama, Harus ada kelompok, organisasi atau partai politik yang mempunyai kesadaran politik yang benar untuk membongkar rancangan jahat (kasyf al-khuthath) ini. Pasalnya, ini bagian dari strategi penjajah, dengan menggunakan antek mereka, untuk mempertahankan penjajahan mereka, dengan cara melemahkan kekuatan rakyat yang dijajah, yaitu Islam.
Target serangan anti “radikalisme” ini adalah melemahkan keyakinan umat Islam pada agamanya agar mereka tidak fanatik, tidak membela mati-matian agamanya dan permisif.
Kedua, Karena “Perang Melawan Radikalisme” adalah bagian dari propaganda negara kafir penjajah, sekaligus bentuk penyesatan opini dan politik (tadhlîl fikri wa siyâsi) yang jahat dan masif, maka propaganda ini harus dilawan.
Kaum kafir penjajah di Dunia Islam tidak akan berani secara langsung menyerang Islam dan kaum Muslim, kecuali dengan menarik dukungan Muslim yang lain, dan menciptakan Islam versi mereka, sehingga tidak tampak menyerang Islam. Padahal itu hanya kamuflase. Fakta ini harus diungkap agar umat Islam tidak tertipu.
Ketiga, Agar umat sadar, tidak tertipu, maka cara berpikir tentang realitas (tafkîr bi al-haqâ’iq) harus dibangun di dalam diri dan tokoh-tokoh mereka. Ini penting. Pasalnya, framing yang dibentuk oleh negara-negara kafir penjajah dan para antek mereka, dengan menggunakan media massa, dimulai dari sini.
Apa dan bagaimana berpikir tentang fakta riil (tafkîr bi al-haqâ’iq) itu? Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam kitabnya, At-Tafkîr, telah menjelaskan berpikir tentang fakta riil ini adalah menghasilkan kesimpulan yang presisi dengan fakta yang ada. Misalnya, fakta “radikalisme” yang dikonotasikan negatif, kemudian dinisbatkan pada Islam. Ini jelas menyalahi fakta Islam.
Pasalnya, Islam itu “rahmatan li al-alamin”. Demikian juga saat dinyatakan, Islam “rahmatan li al-alamin” juga identik dengan Islam tahlil, yang tidak tahlil bukan Islam “rahmatan li al-alamin”. Ini juga menyalahi fakta.
Dalam berpikir tentang fakta riil ini, agar kita tidak terperosok, kita harus selalu memperhatikan dua hal; Pertama, pengaburan terhadap fakta. Kedua, pengaburan yang bisa memalingkan dari keberhasilan mendapatkan fakta yang sesungguhnya.
Upaya mengaburkan fakta biasanya dilakukan dengan melakukan penyamaan antara beberapa fakta atau pemikiran. Misalnya, menyamakan Khilafah ISIS dan Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah. Penyamaan ini digunakan dengan tujuan untuk menghapus fakta yang benar tentang Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah.
Bisa juga dengan menciptakan keraguan tentang salah satu fakta. Misal, dinyatakan bahwa Khilafah itu dulu, sekarang sudah tidak mungkin lagi, karena eranya berbeda. Inilah cara-cara yang dilakukan untuk mengaburkan fakta.
Adapun upaya pengaburan yang bisa memalingkan dari keberhasilan mendapatkan fakta yang sesungguhnya, biasanya dilakukan dengan mewujudkan berbagai tindakan atau pemikiran yang bisa memalingkan dari fakta yang sebenarnya. Misal, mendirikan Khilafah melalui jihad, atau parlemen.
Dua-duanya bisa memalingkan umat dari keberhasilan mendapatkan fakta Khilafah yang sebenarnya. Pasalnya, dengan jihad, atau kudeta, umat akan terbelah, sehingga Khilafah yang berdiri di atasnya juga lemah, akhirnya tumbang. Khilafah yang diperoleh melalui jalan parlemen juga lemah karena merupakan hasil kompromi berbagai kepentingan.
Karena itu berbagai upaya pengaburan ini harus benar-benar diwaspadai. Caranya adalah dengan memegang teguh fakta sekuat-kuatnya.
Selain itu juga harus terus berpikir mendalam dan ikhlas dalam berpikir untuk mendapatkan fakta yang sebenarnya. Di antara faktor yang sangat membahayakan, karena tidak menggunakan fakta, adalah mengabaikan fakta sejarah, terutama fakta primer.
Pasalnya, sejarah juga mengandung fakta yang tidak berubah. Di dalamnya juga ada berbagai pandangan yang lahir dari keadaan.
Sebagai contoh, pertarungan antara Islam dan kekufuran adalah fakta sejarah yang tidak pernah berubah. Islam menang atas kekufuran ketika Islam diemban oleh negara juga fakta sejarah yang tidak akan berubah.
Khilafah adalah negara kaum Muslim di seluruh dunia adalah fakta sejarah yang tidak berubah. Meski terhadapnya ada banyak pemikiran, baik positif maupun negatif, bergantung situasi dan kondisinya.
Inilah hukum, sikap dan cara bagaimana umat ini menghadapi opini negatif yang dialamatkan kepada Islam, umat dan proyek perjuangannya. Wallahua’lam.
TAWATI