Solusi Jitu Tak Kecanduan Gawai Bagi Anak

Solusi Jitu Tak Kecanduan Gawai Bagi Anak
Ilustrasi.

Pemerintah kota (Pemkot) Bandung resmi menggulirkan program Day ol Chiken (DOC) atau memberikan anak ayam kepada siswa SD dan SMP sekota Bandung. Namun hal tersebut dikritisi oleh Anggota DPRD kota Bandung Erwin,  lantaran pemberian anak ayam ini bisa menimbulkan masalah baru, seperti kesehatan.

Selain itu, Erwin menilai anak-anak belum begitu faham terkait perawatan ayam. Ditambah Pemkot Bandung hanya memberikan satu ekor anak ayam.

Iklan Pemkot Baubau

“Ini konsepnya seperti apa, masa anak-anak harus ngurus ayam seharian, saya lebih setuju kalau di alihkan dengan permainan tradisional saja, agar tidak kecanduan gawai,” sebutnya. (Portal Jabar, 21/11/2019)

Orang tua memiliki segudang kesibukan yang terkadang melupakan tanggung jawab mendidik anak-anaknya. Hal ini menyebabkan anak-anak menjadi kurang mendapatkan perhatian. Melihat anak merengek, usil, menangis, dan rewel, tentu membuat pekerjaan mereka tidak bisa terselesaikan dengan cepat atau bahkan mengharapkan yang penting anak diam. Sehingga salah satu jalan keluarnya adalah dengan memberikan anak gawai.

Kecanduan gawai merupakan salah satu fenomena penyakit zaman now. Ini bisa menimpa siapa saja di segala usia, baik anak-anak maupun orang dewasa. Hal ini berpengaruh pada perilaku orang yang menggunakan gawai (menurut KBBI Edisi IV, gawai artinya peranti elektronik atau mekanik dengan fungsi praktis; adalah padanan gadget).

Bila terjadi pada usia produktif, maka akan menyebabkan rusaknya generasi masa depan. Penyakit teknologi ini semakin mengkhawatirkan karena berkaitan dengan nasib masa depan bangsa.

Tentu penggunaan gawai yang berlebihan menjadi pemicu masalah kejiwaan pada anak. Mengingat kemungkinan risiko anak menderita masalah kejiwaan, Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat beberapa tahun terakhir mulai menerima pasien anak. Direktur RSJ Provinsi Jawa Barat, dr Elly Marliyani, mengatakan,

 “Biasanya ODGJ maupun ODMK dialami remaja yang masuk pada umur 15 tahun. Namun dengan perkembangan zaman seperti sekarang, terdapat anak kecil yang bahkan sudah dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Anak-anak ini ada yang berumur lima tahun, ada juga yang delapan tahun,” ujar dr Elly dalam Jabar Punya Informasi (Japri) di Gedung Sate, Bandung (Pikiran Rakyat, 10/10/2019).

Istilah kecanduan yang biasa kita dengar yakni tentang kecanduan minuman keras, kecanduan rokok, atau berkaitan dengan narkoba. Ternyata kecanduan gawai menjadi fenomena yang terjadi pada saat ini. Bahkan risikonya bisa menyebabkan gangguan kejiwaan layaknya kecanduan alkohol atau narkoba.

Untuk itu, kecanduan gawai ini seharusnya jangan dianggap remeh. Hanya saja kalau penggunaan minuman keras sudah ada peraturan yang melarangnya dan penyalahgunaan penggunaan narkoba bisa ditanggulangi oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), tapi beda halnya dengan kecanduan gawai yang belum ada badan untuk menanggulanginya.

Dalam benak kita tentu langsung terpikirkan cara untuk menghindari dampak buruk penggunaan gawai. Namun, menghindar dari teknologi digital yang semakin hari semakin canggih tentu suatu hal yang tidak mungkin dilakukan oleh generasi sekarang karena sudah menjadi gaya hidup.

Bahkan, manusia berlomba-lomba untuk mendapatkan gawai tercanggih. Gawai zaman now telah merusak generasi dan mengubah tingkah laku. Berawal dari kebebasan dalam demokrasi, anak bebas berekspresi, mereka sering mojok menyendiri, menjadi egois, dan tidak mau bersosialisasi karena selalu sibuk memegang gawai. Orientasinya menjadi yang penting memegang gawai.

Kemajuan teknologi dan pengaruhnya dalam kehidupan adalah hal yang tak dapat kita hindari. Akan tetapi kita sebagai orang tua harus bisa melakukan tindakan preventif.

Pertama, batasi dan pantau penggunaan teknologi. Pemberian fasilitas gawai sebaiknya tidak untuk anak masih usia SD. Untuk usia SMP ke atas baru boleh.

Kedua, jika di rumah ada internet atau wifi, dampingi saat mengakses. Sebelumnya, blokir dulu situs-situs porno (bisa minta bantuan ahlinya). Tanamkan pada anak, jika muncul situs yang tidak sesuai dengan kebutuhannya agar segera ditutup. Ini memang terkait dengan penanaman akidah pada anak, sehingga tanpa didampingi pun mereka bertanggung jawab pada diri sendiri untuk tidak berani membuka informasi porno dalam bentuk apapun.

Ketiga, jalin komunikasi intensif dengan anak. Berlakulah sebagai sahabat bagi anak, bukan layaknya pimpinan pada anak buah. Jangan menanyai ini itu seolah interogasi, tapi ajak ngobrol dan sharing tentang segala hal yang dialami anak hari itu.

Tanamkan kepercayaan pada anak bahwa hanya orang tualah yang layak jadi tempat curhat, bukan yang lain. Untuk itu, memang harus ada sosok dominan di dalam keluarga yang lekat dalam memantau perkembangan sang buah hati. Jangan sampai kedua orang tuanya sama-sama sibuk di luar rumah.

Tentu ini tidak cukup hanya mengandalkan orang tua saja. Karena pada dasarnya, negara juga memiliki andil besar, seperti kewenangan dalam meretas situs porno yang harus terus digalakkan, bukan dibiarkan bebas beredar di dunia internet, serta masih banyak lagi.

Peranan negara mutlak dibutuhkan dengan tidak menerapkan sistem demokrasi yang merupakan penyebab dari lemahnya negara di dalam melindungi anak dari pengaruh negatif gawai. Karena anak juga memiliki hak untuk dijamin kesehatan jiwanya. Wallahua’lam bishawab.

TAWATI