Sah, mulai 1 Januari 2020 iuran BPJS Kesehatan akan naik hingga lebih dari dua kali lipat. Kenaikan ini disinyalir sebagai akibat kinerja keuangan BPJS Kesehatan yang terus merugi sejak lembaga ini berdiri pada 2014.
Oleh karena itu, diperlukan stimulus agar lembaga tersebut dapat tetap berjalan melayani masyarakat yang membutuhkan fasilitas kesehatan.Namun, kenaikan tersebut justru menimbulkan persoalan lainnya.(Kompas. Com).
Adapun besaran iuran yang harus dibayarkan yaitu Rp 160.000 untuk kelas I dari sebelumnya Rp 80.000, sedangkan pemegang premi kelas 2 harus membayar Rp 110.000 dari sebelumnya Rp 51.000. Sementara itu, kelas 3 sedikit lebih beruntung karena kenaikan yang dialami lebih kecil, yakni dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.
Sontak saja hal ini membuat masyarakat ketar ketir, terlebih masyarakat kelas bawah yang berpenghasilan minim.
Pro kontra pun tak terhindarkan. Meskipun pihak BPJS meyakini bahwa kenaikan iuran bisa memperbaiki keuangan mereka yang selama ini mengalami defisit. Pun, diprediksi BPJS Kesehatan akan mengalami defisit hingga Rp 32,8 triliun ditahun 2019 jika iurannya tak naik.
“Jangan ragu iuran (BPJS Kesehatan) naik, defisit tak tertangani. Ini sudah dihitung hati-hari oleh para ahli,” ujar Kepala Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma’ruf di Jakarta, Sabtu (2/11/2019).
Iqbal mengakui, masalah defisit ini tidak mungkin teratasi di tahun ini. Namun, dia yakin di 2020 keuangan BPJS Kesehatan bisa surplus.
Lagi-lagi defisit anggaran yang menjadi alasan kenaikan tarif BPJS yang konon katanya sebagai jaminan kesehatan. Kenapa BPJS bisa mengalami defisit? Bukankah masyarakat selalu membayar premi tepat waktu? Kalaupun terlambat pasti dikenakan denda? Sungguh berbanding terbalik dengan gaji jajaran Direksi yang mencapai ratusan juta perbulannya.
Jaminan Kesehatan Ala Kapitalis
BPJS adalah sebuah lembaga swasta yang ditunjuk pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan seluruh rakyat Indonesia. Jika kita perhatikan lebih jauh, BPJS tidak ubahnya seperti praktik asuransi konvensional.
Hanya saja BPJS merupakan lembaga swasta yang mendapat izin resmi dari pemerintah untuk melakukan asuransi kesehatannya bagi seluruh rakyat Indonesia, sedangkan asuransi konvensional harus bekerja keras untuk mendapatkan pelanggannya sendiri.
Orang-orang yang pro terhadap kehadiran BPJS mengatakan bahwa, BPJS telah menolong jutaan rakyat miskin di Indonesia untuk mendapatkan jaminan kesehatan secara gratis dari negara.
Agaknya pendapat tersebut perlu ditarik kembali, fakta menunjukkan bahwa pemerintah tidak ikut andil sedikit pun dalam BPJS kecuali sebagai regulator saja serta adanya sejumlah premi yang harus dibayar setiap bulannya oleh beberapa golongan masyarakat menunjukkan bahwa negara sama sekali tidak menjamin kesehatan rakyat manapun.
Secara fundamental melalui kebijakan di atas telah mengubah kewajiban negara dalam memberikan jaminan sosial menjadi kewajiban rakyat, serta mengubah jaminan sosial menjadi asuransi sosial. Padahal makna ‘jaminan sosial’ jelas berbeda sama sekali dengan ‘asuransi sosial’.
Padahal jaminan sosial adalah kewajiban pemerintah dan merupakan hak rakyat, sedangkan dalam asuransi sosial, rakyat sebagai peserta harus membayar premi sendiri. Itu artinya rakyat harus melindungi dirinya sendiri.
Pada jaminan sosial, pelayanan kesehatan diberikan sebagai hak dengan tidak membedakan usia dan penyakit yang diderita, sedangkan pada asuransi sosial peserta yang ikut dibatasi baik dari segi usia, profesi maupun penyakit yang diderita.
UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Negara (SJSN) dan UU Nomer 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) telah memposisikan hak sosial rakyat berubah menjadi komoditas bisnis. Bahkan dengan sengaja telah membuat aturan untuk mengeksploitasi rakyatnya sendiri demi keuntungan pengelola asuransi.
Artinya, apabila hak sosial rakyat didekati sebagai komoditi bisnis, maka posisi rakyat yang sentral substansial direduksi menjadi marjinal residual. Sementara kepentingan bisnis justru ditempatkan menjadi yang sentral substansial.
Ini tentu sangat berbahaya karena berarti negara telah mempertaruhkan nasib jutaan rakyatnya kepada pasar, dimana dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini pasar mengemban semangat kerakusan yang dikendalikan oleh kekuatan kapitalis global yang bakal merongrong hak sosial rakyat melalui badan-badan usaha asuransi.
Rakyat kategori miskin bukan mendapatkan kesehatan secara gratis dari negara melainkan dari rakyat lain yang telah membayar premi dengan besaran yang telah ditetapkan. Di sini jelas rakyat yang membayar premi tidak sedang melakukan praktik tolong menolong atau gotong royong (ta’awun), tapi suatu pemaksaan belaka. Jika memang BPJS berprinsipkan ta’awun maka harus bersifat suka rela, tidak ditentukan besarannya.
MUI pernah mengharamkan BPJS dengan alasan-alasan yang digunakan untuk mengharamkan asuransi konvensional (at ta`miin), yaitu adanya unsur gharar (ketidakpastian, uncertainty), riba (bunga), dan maisir (judi/spekulasi).
Jika kita telaah haramnya asuransi konvensional, yaitu akadnya yang memang tak sesuai syariah, bukan sekadar karena adanya gharar, riba, dan maisir. Dari segi ketidaksesuaiannya dengan hukum Islam mengenai jaminan kesehatan seluruh rakyat secara gratis oleh Negara, dalam hal ini Negara belum hadir untuk memberikan jaminan kesehatan secara adil dan merata.
Melalui kebijakan ini, negara tidak mempunyai kewajiban untuk menjamin kesehatan. Karena itu, kewajiban menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat yang lain ini harus ditanggung sendiri oleh rakyat.
Bisa ditanggung sendiri oleh rakyat, atau dengan bergotong royong sesama mereka. Inilah akar permasalahan BPJS yang lahir dari pemikiran kapitalisme. Jadi Kapitalisme telah terbukti gagal menjamin pelayanan kesehatan bagi rakyat.
Jaminan Kesehatan Dalam Islam
Dalam Islam, kebutuhan atas pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negara. Rumah sakit, klinik dan fasilitas kesehatan lainnya merupakan fasilitas publik yang diperlukan oleh kaum Muslim dalam terapi pengobatan dan berobat.
Jadilah pengobatan itu sendiri merupakan kemaslahatan dan fasilitas publik. Kemaslahatan dan fasilitas publik (al-mashâlih wa al-marâfiq) itu wajib disediakan oleh negara secara cuma-cuma sebagai bagian dari pengurusan negara atas rakyatnya. Ini sesuai dengan sabda Rasul saw.:
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari).
Salah satu tanggung jawab pemimpin adalah menyediakan layanan kesehatan dan pengobatan bagi rakyatnya secara cuma-cuma.
Sebagai kepala negara, Nabi Muhammad saw. pun menyediakan dokter gratis untuk mengobati Ubay. Ketika Nabi saw. mendapatkan hadiah seorang dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi masyarakat (HR Muslim).
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah saw. selaku kepala negara kemudian meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Mal di dekat Quba’. Mereka diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh (HR al-Bukhari dan Muslim).
Saat menjadi khalifah, Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. juga menyediakan dokter gratis untuk mengobati Aslam (HR al-Hakim).
Semua itu merupakan dalil bahwa pelayanan kesehatan dan pengobatan adalah termasuk kebutuhan dasar yang wajib disediakan oleh negara secara gratis untuk seluruh rakyat tanpa memperhatikan tingkat ekonominya.
Jaminan kesehatan dalam Islam itu memiliki empat sifat. Pertama, universal dalam arti tidak ada pengkelasan dan pembedaan dalam pemberian layanan kepada rakyat. Kedua, bebas biaya alias gratis.
Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya untuk mendapat pelayanan kesehatan. Ketiga, seluruh rakyat bisa mengaksesnya dengan mudah. Keempat, pelayanan mengikuti kebutuhan medis, bukan dibatasi oleh plafon.
Pemberian jaminan kesehatan seperti itu tentu membutuhkan dana tidak kecil. Pembiayaannya bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariah. Di antaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya.
Juga dari sumber-sumber kharaj, jizyah, ghanîmah, fa’i, ‘usyur, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu akan lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai dan gratis untuk seluruh rakyat, secara berkualitas.
Kuncinya adalah dengan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh. Hal itu hanya bisa diwujudkan dibawah sistem yang dicontohkan dan ditinggalkan oleh Nabi saw., lalu dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan generasi selanjutnya. Itulah sistem pemerintahan islam yang mengikuti metode kenabian.
Sekarang pilihan ditangan Anda. Memilih sistem gagal atau sistem warisan Rasulullah yang sudah terbukti sukses selama 1400 tahun??? Wallâh a’lam bi ash-shawâb.
TETI UMMU ALIF