“Wahai
generasi muda, barangsiapa diantara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia
menikah karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barang
siapa belum mampu hendaknya berpuasa sebab ia dapat mengendalikanmu.”(HR.
Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud).
Baru-baru ini Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemenko PMK RI), Muhadjir Effendy, mengeluarkan kebijakan terkait kewajiban mendapat sertifikat nikah bagi calon pengantin.
Wacana ini bergulir karena dilatarbelakangi banyaknya kasus pernikahan dini, perceraian, hingga masalah stunting. Dengan adanya sertifikasi nikah, diharapkan bisa mengurangi tingkat permasalahan rumah tangga yang terjadi saat ini.
Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nakha’i, mengatakan setuju dengan rencana mewajibkan sertifikat layak kawin ini. Imam menilai, wacana mewajibkan sertifikasi perkawinan merupakan upaya negara dalam membangun keluarga yang kokoh, berkesetaraan, dan berkeadilan. Sehingga, pasangan yang sudah menikah diharapkan mampu membangun keluarga sejahtera. (nasional.tempo.co).
Hal senada diungkapkan Menteri Agama Fachrul Razi. Ia mendukung rencana itu agar calon pasangan mendapat nasihat seputar keluarga, kesehatan, hingga agama. Sementara MUI lebih mendorong keberadaan pelatihan pranikah ketimbang sertifikasi nikah.
MUI memandang pelatihan pranikah lebih penting agar pasangan memahami esensi menikah dan dapat mengurangi tingginya angka perceraian. Lalu, apakah sertifikasi nikah mampu menjadi solusi dari permasalahan rumah tangga saat ini?
Dilansir dari laman web nasional.tempo.co Deputi Koordinasi Bidang Pendidikan dan Agama, Agus Sartono menuturkan, ada 1000 perceraian yang terjadi setiap tahunnya. Dengan adanya sertifikasi nikah ini diharapkan bisa menekan angka perceraian. Sementara jika kita lihat penyebab perceraian itu ada berbagai macam persoalan.
Mulai dari masalah ekonomi yang berakhir dengan KDRT, penganiayaan, hingga pembunuhan antar anggota keluarga. Mayoritas berpangkal dari masalah ekonomi dan minimnya pemahaman agama tentang rumah tangga.
Disisi lain, sertifikasi ini pun diharapkan mampu mengurangi angka pernikahan dini. Tetapi, bila dilihat dengan cermat, kasus pernikahan dini justru banyak terjadi pada anak-anak yang hamil di luar nikah. Pergaulan bebas membuat mereka mudah melakukan zina, namun tak siap menjadi orang tua. Rendahnya moral remaja dan jauhnya mereka dari aturan pergaulan Islam menjadi sebab permasalahan ini.
Persoalan utamanya adalah bukan pada pernikahan dini, tapi persiapan pranikahnya. Persiapan ini tak cukup sekadar kursus pranikah yang hanya berjalan beberapa kali pertemuan. Dalam Islam, anak dididik sejak usia dini agar mereka siap menerima tanggung jawab secara mandiri saat mereka memasuki usia balig. Bukan saat akan menikah saja.
Kemudian masalah stunting. Stunting pada anak bisa disebabkan oleh masalah pada saat kehamilan, melahirkan, menyusui, atau setelahnya, seperti pemberian MPASI yang tidak mencukupi asupan nutrisi.
Di sinilah negara seharusnya menjamin asupan nutrisi setiap anak. Bukan hanya dibebankan pada orang tua. Sebab, persoalan gizi buruk ini juga tidak lepas dari persoalan ekonomi. Rendahnya penghasilan memicu orang tua tak mampu memberikan makanan yang sehat kepada anak-anaknya. Karena kasus stunting rata-rata terjadi pada keluarga menengah ke bawah atau masyarakat miskin.
Munculnya persoalan keluarga, kesehatan, hingga agama berangkat dari sistem yang diterapkan saat ini. Sertifikasi nikah sejatinya tak tuntas mengatasi masalah-masalah. Justru malah berpotensi menimbulkan masalah baru.Menikah adalah ibadah. Semestinya negara memberi kelonggaran menjalankan ibadah separuh agama tersebut.
Sertifikasi nikah hanyalah solusi tambal sulam yang tidak akan menyelesaikan akar masalah. Sebab, pangkal persoalannya bermula dari sistem kehidupan yang diterapkan. Sistem sekuler mengikis pemahaman tentang hakikat berkeluarga yang harmonis dan sakinah mawaddah wa rahmah.
Sementara sistem ekonomi kapitalis menyebabkan rakyat susah. Susah mencari kerja, susah memenuhi kebutuhan dasar dan susah mendapat kehidupan yang layak. Keluarga pun terbelit persoalan ekonomi.
Dari masalah keuangan, utang-piutang, hingga kurangnya asupan makanan. Padahal Islam telah mewanti-wanti untuk tidak melakukan kemadharatan dan menyulitkan urusan masyarakat. Sabda Rasulullah Saw:
“Barangsiapa yang memberi kemudharatan kepada seorang muslim, maka Allāh akan memberi kemudharatan kepadanya, barangsiapa yang merepotkan (menyusahkan) seorang muslim maka Allāh akan menyusahkan dia.” (Hadīts riwayat Abū Dāwūd nomor 3635, At Tirmidzi nomor 1940 dan dihasankan oleh Imām At Tirmidzi).
Untuk menghilangkan semua persoalan itu, mau tidak mau sistem kapitalis sekuler yang diterapkan saat ini harus segera diakhiri. Hanya Islamlah satu-satunya jalan serta solusi tuntas berbagai permasalahan di negeri ini, karena Islam adalah agama yang diturunkan dan telah disempurnakan oleh Allah Ta’ala. didalamnya mencakup seluruh aturan hidup manusia. Sebagaimana firman-Nya:
“Pada hari ini telah Akusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (TQS Al Maidah:3).
Dengan menerapkan sistem Islam, negara memiliki tanggung jawab penuh dalam memenuhi kebutuhan dasar bagi setiap keluarga. Negara akan memberi lapangan kerja bagi para ayah agar mampu menafkahi dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Negara juga menjamin asupan gizi bagi anak-anak. Sebab, mereka adalah generasi penerus yang harus terpenuhi kualitas pendidikan dan kesehatan mereka.
Ketika aturan pergaulan Islam diterapkan, pernikahan yang terjadi adalah pernikahan berbalut takwa dan ketaatan. Keluarga yang terbangun adalah keluarga berkepribadian Islam dan berakhlak karimah.
Situasi semacam ini hanya bisa diwujudkan oleh negara yang menerapkan syariat Islam dalam Institusi Islam Kaffah. Wallaahua’lam bish shawab.
KHANSA MUBSHIRATUN NISA