Peran Ayah Menitih Harga Diri

Peran Ayah Menitih Harga Diri
Erni Yuwana.

“Ayahku Hebat.” Kata-kata tersebut nampaknya sangat sulit tertanam pada benak sang anak. Sosok sang ayah tak lagi hebat di matanya. Ayah adalah figur sibuk yang penuh letih dan lelah. Idolanya kini para superhero fiksi tak nyata. Tak sedikit pula yang terjebak pada cinta semu oppa-oppa Korea. Mereka menjadi sosok tak kenal ayah, namun terpikat film aksi dan drama Korea.

“Suamiku tangguh.” Kata-kata tersebut nampaknya tak lagi memenuhi hati sang istri. Sang suami dianggap selalu kurang dalam mencari nafkah. Beban ekonomi terus meningkat.

Iklan Pemkot Baubau

Biaya barang pokok terus merangkak naik, biaya sekolah melangit, ditambah jika ada tambahan biaya kesehatan, hal ini cukup membuat sang istri luar biasa panik. Akhirnya, sang istri pontang-panting mencari nafkah tambahan. Sampai buah hati kadang tersisihkan.

Kata-kata yang membanggakan pada sosok ayah dan suami perlahan memudar tak berbekas di hati. Luntur tak tersisa tanpa menyandang pencari nafkah dan pelindung sejati. Beban ekonomi tak kunjung tercukupi. Beban hati yang mendamba kasih sayang tak terobati.

Inilah gambaran rumah tangga masyarakat Indonesia kini. Yang ada hanya anggota keluarga yang letih dan merintih. Perlahan, rumah tangga tak lagi menghangatkan hati. Yang ada, rumah tangga dingin tak mengenal belas kasih.

Setiap rumah tangga mempunyai air mata sendiri. Konflik hati dan biaya hidup senantiasa mewarnai. Bingkai berkecukupan harta dan kasih sayang bak telenovela yang khayali. Semuanya nyaris sekedar mimpi. Mengejar harga beras dan SPP sekolah adalah makanan sehari-hari.

Akan kah ini berhenti? Hati dan raga selalu bergelut pada rasa capek, pusing dan letih. Tak kuat dan merintih. Terasa ingin mengakhiri segala rasa tak bahagia ini. Namun sistem dan kondisi menjebak setiap keluarga menjadi miskin dan tak tercukupi. Apalagi angka pengangguran semakin tinggi.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran naik 50 ribu orang per Agustus 2019. Alhasil dengan kenaikan tersebut, jumlah pengangguran meningkat dari 7 juta orang pada Agustus 2018 lalu menjadi 7,05 juta orang. (CNN Indonesia, 05/11/2019)

Di tengah kepahitan ekonomi rumah tangga, kabar baik datang menghampiri. Kementerian Ketenagakerjaan memutuskan kenaikan upah minimum regional 2020 naik 8,51%, mengacu pada besaran inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Berdasarkan surat edaran menteri nomor B-M/308/HI.01.00/2019 para Gubenur wajib mengumumkan kenaikan UMP tersebut secara serentak pada 1 November 2019. Sedangkan, untuk UMK selambat-lambatnya ditetapkan dan diumumkan pada 21 November 2019. (Bisnis.com, 03/11/2019)

Keputusan pemerintah menaikkan upah minimum regional ternyata membawa kekhawatiran dan kepanikan tersendiri. Bukan lagi kabar gembira yang didapati. Tapi ancaman PHK menanti. Pasalnya, perusahaan juga tidak mampu untuk membayar kenaikan UMP ini. Peraturan tersebut terkesan dipaksakan, tanpa pertimbangan banyak segi.

Investasi di sektor padat karya akan hilang dan pengangguran menjangkiti. Hal ini akan memberikan peluang kepada pengusaha-pengusaha nakal yang akan memberikan upah di bawah upah minimum (UMP) itu sendiri. Karena yang terjadi di lapangan, berapa pun upahnya akan diterima, yang penting bergaji. Sungguh ironi.

Peran ayah tentu akan selalu kehilangan harga diri di sistem kapitalis ini. Semua pengusaha berlomba menjadi tuan, konglomerat serta memperkaya diri, tanpa punya hati. Tak peduli jika harus menginjak harga diri dan memperbudak saudara sendiri.

Hidup hanya untuk materi. Aku adalah tuan, engkau adalah buruh, bahkan budak abadi. Hal ini berbeda dengan sistem Ilahi, satu-satunya sistem yang mampu menghargai. Sistem tersebut adalah sistem ekonomi dalam negara Khilafah Rasyidah warisan nabi.

Mekanisme yang dilakukan oleh Khilafah dalam mengatasi pengangguran dan menciptakan lapangan pekerjaan secara garis besar dilakukan dengan dua mekanisme, yaitu: mekanisme individu dan sosial ekonomi.

Mekanisme Individu

Dalam mekanisme ini Khilafah secara langsung memberikan pemahaman kepada individu tentang wajibnya bekerja dan kedudukan orang-orang yang bekerja di hadapan Allah Swt. serta memberikan keterampilan dan modal bagi mereka yang membutuhkan. Islam pada dasarnya mewajibkan individu untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan hidup.

Dalam hadis, Rasulullah saw. berdabda:

كَفَى بِالْمَرْءِ أَنْ يَحْبِس عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ َ

Cukuplah seorang Muslim berdosa jika tidak mencurahkan kekuatan menafkahi tanggungannya. (HR Muslim).

Jelas, Islam mewajibkan kepada individu untuk bekerja. Ketika individu tidak bekerja, baik karena malas, cacat, atau tidak memiliki keahlian dan modal untuk bekerja maka Khalifah berkewajiban untuk memaksa individu bekerja serta menyediakan sarana dan prasarananya, termasuk di dalamnya pendidikan.

Mekanisme Sosial Ekonomi

Mekanisme ini dilakukan oleh Khalifah melalui sistem dan kebijakan, baik kebijakan di bidang ekonomi maupun bidang sosial yang terkait dengan masalah pengangguran.

Dalam bidang ekonomi kebijakan yang dilakukan Khalifah adalah meningkatkan dan mendatangkan investasi yang halal untuk dikembangkan di sektor real baik di bidang pertanian dan kehutanan, kelautan, dan tambang maupun meningkatkan volume perdagangan.

Di sektor pertanian, di samping intensifikasi juga dilakukan ekstensifikasi, yaitu menambah luas area yang akan ditanami dan diserahkan kepada rakyat. Karena itu, para petani yang tidak memiliki lahan atau modal dapat mengerjakan lahan yang diberi oleh pemerintah. Sebaliknya, pemerintah dapat mengambil tanah yang telah ditelantarkan selama tiga tahun oleh pemiliknya.

Dalam sektor industri Khalifah akan mengembangkan industri alat-alat (industri penghasil mesin) sehingga akan mendorong tumbuhnya industri-industri lain. Selama ini negara-negara Barat selalu berusaha menghalangi tumbuhnya industri alat-alat di negeri-negeri kaum Muslim agar negeri-negeri Muslim hanya menjadi pasar bagi produk mereka.

Di sektor kelautan dan kehutanan serta pertambangan, Khalifah sebagai wakil umat akan mengelola sektor ini sebagai milik umum dan tidak akan menyerahkan pengelolaannya kepada swasta. Selama ini ketiga sektor ini banyak diabaikan atau diserahkan kepada swasta sehingga belum optimal dalam menyerap tenaga kerja.

Dengan dua mekanisme tadi, akan tercipta masyarakat yang produktif. Sang ayah tidak akan kehilangan harga diri sebagai pencari nafkah. Terkait upah karyawan, Islam sangat menolak perilaku eksploitatif terhadap karyawan.

Karena itu, membayar upah karyawan tepat waktu termasuk amanah yang harus segera ditunaikan. Besarannya pun harus disesuaikan dengan kebutuhan minimal untuk bisa hidup sejahtera. Itulah makna yang terkandung dalam hadis dan ayat berikut:

“Bayarlah upah kepada karyawan sebelum kering keringatnya, dan beri tahukan ketentuan gajinya terhadap apa yang dikerjakan.” (HR Baihaki).

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.” (QS An-Nisa [4]: 58).

Itulah mekanisme Islam yang insya Allah bisa mengatasi pengangguran dan menciptakan lapangana pekerjaan secara adil dengan gaji yang layak. Ini hanya akan terwujud jika sistem Islam diterapkan secara menyeluruh dalam bingkai Khilafah Islamiyah. Wallâhu a‘lam bi ash shawab.

ERNI YUWANA