Kasus Berulang
Umat Islam kembali memasang wajah merah padam setelah ramai diberitakan bahwa Panutan mereka dinistakan. Adalah salah seorang tokoh bangsa yang dulu pernah membandingkan konde dengan cadar, kembali mengulangi kejahilannya. Lewat pernyataannya, dia membandingkan Ir. Soekarno dengan Baginda Nabi Sholallahu ‘alayhi wa salam.
Atas pernyataan yang dianggap membandingkan Soekarno dan Nabi Muhammad Sholallahu ‘alayhi wa salam, dia dilaporkan oleh simpatisan Koordinator Bela Islam (Korlabi), Ratih Puspa Nusanti. Pihak Kepolisian menerima laporan bernomor LP/7393/XI/2019/PMJ/Dit.Reskrimum pada 15 November 2019 dengan pelapor Ratih Puspa Nusanti. Pasal yang dilaporkan yakni tentang tindak pidana penistaan agama pasal 156a KUHP. (CNNIndonesia.com. 16/11/2019)
Kasus lain, tak kalah membuat umat Islam geram. Viva.co.id melansir berita pada 12 November 2019 bahwa Bareskrim Polri menangkap pengembang game yang menghina Nabi Muhammad Sholallahu ‘alayhi wa salam dan Islam, yang berinisial IG. Penangkapan terjadi pada Sabtu, 9 November di Garut, Jawa Barat dan kini yang bersangkutan telah diamankan di Mabes Polri.
Umat Islam sedang tersakiti dengan fitnah terorisme dan isu radikalisme. Rentetan kasus penistaan agama yang terjadi semakin membuat Umat Islam terluka. Sebuah ironi di negeri muslim terbesar di dunia.
Efek Sekulerisme
Maraknya penistaan agama dalam wadah negara hukum yang menggemborkan toleransi, adalah sebuah ironi. Hal ini diprediksi akan terus terjadi jika asas yang dijunjung tinggi adalah sekulerisme-demokrasi. Sebagaimana kita ketahui, sekulerisme mengkerdilkan peran agama dalam kehidupan.
Paham sekulerisme menjadikan negara memandang agama sebelah mata. Porsi pendidikan agama dibatasi. Kontennya diawasi. Ulama’ yang meneriakkan Islam kaffah dipersekusi. Dari mana masyarakat mendapatkan gambaran Islam sebagai solusi? Padahal Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Harumnya peradaban Islam juga telah diakui dunia.
Tak bisa dipungkiri bahwa benih kebangkitan Islam mulai bersemi. Perbincangan tentang penerapan syari’ah dalam bingkai institusi negara semakin ramai. Pihak-pihak yang merasa kepentingannya terancam, akan bertindak untuk membendung isu ini. Melakukan framing buruk terhadap Islam. Mengentalkan narasi radikalisme. Walhasil, masyarakat awam yang memang pemahamannya terpendekkan karena efek sekulerisme, alergi terhadap Islam.
Di sisi lain, negara seolah lemah menghadapi kasus penistaan agama. Terlebih penista adalah orang yang dekat dengan rezim. Kita bisa melihat beberapa penista agama akhirnya melenggang bebas. Sebagian ada yang berani mengulangi kejahilannya. Kalaupun dihukum, melalui proses hukum yang berbelit-belit dengan masa tahanan yang ringan.
Padahal, lemahnya negara dalam menindak para penista agama, rentan menimbulkan gelombang protes umat Islam. Sebagaimana pernyataan Slamet Ma’arif, Ketum PA 212 dalam Konferensi Pers, Kamis (21/11/2019) di DPP FPI. “Kami khawatir kalau ini dibiarkan justru menjadi gelombang umat kembali. Jangan salahkan kalau kemudian kasus Sukmawati menjadi kasus Ahok yang kedua. Jadi jangan salahkan umat kalau kita Ahok-kan Sukmawati, karena proses hukum tidak berjalan.”
Menggagas Solusi
Salah satu Partai Politik tanah air yang berasaskan Islam mengusulkan dibentuknya RUU Perlindungan Ulama, Tokoh Agama dan Simbol-simbol Agama. Hal ini patut diapresiasi. Namun, alangkah lebih baik lagi jika undang-undang tersebut dikokohkan dengan sistem dan negara yang menjamin terlaksananya undang-undang tersebut dengan baik.
Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Ghozali mengatakan “Negara dan agama adalah saudara kembar. Agama merupakan dasar, sedangkan negara adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh, dan dasar tanpa penjaganya akan hilang”
Islam memandang negara dan penguasa mempunyai peran penting dalam hal ini. Peran tersebut telah dicontohkan oleh Sultan Abdul Hamid II. Ketika itu Perancis hendak mengadakan Pementasan teater karya Voltaire (seorang pemikir Eropa) yang menghina Rasulullah Shalallahu ‘Alayhi wa salam. Drama itu bertajuk “Muhammad atau kefanatikan”. Sultan Abdul Hamid II langsung memerintahkan duta besarnya yang ada di Perancis untuk memberhentikan pementasan tersebut.
Diboikot di Perancis, mereka lari ke Inggris. Sultan Abdul Hamid II kembali memerintahkan duta besarnya di Inggris untuk menghentikan pementasan. Namun, Inggris lebih memilih merestui pementasan tersebut dengan dalih kebebasan. Setelah mendengar jawaban Inggris, Sultan Abdul Hamid II kembali memberikan perintah : “Saya akan mengeluarkan perintah kepada umat Islam dengan mengumumkan bahwa Inggris sedang menyerang dan menghina Rasulullah kami! Saya akan kobarkan jihad al Akbar (Jihad yang besar)”
Begitulah seharusnya sikap seorang penguasa yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasulnya. Seseorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, akan mencintai syari’at-Nya. Berusaha untuk melindungi dan membela syari’ah. Bukan sebaliknya, menjadikan agamanya sebagai bulan-bulanan. Wallahu a’lam.
DEPY SW