Presiden Joko Widodo mengumumkan 12 staf khusus untuk mendampinginya selama pemerintah periode kedua 2019-2024. Tujuh di antara mereka merupakan generasi milenial: usianya 20 hingga 30-an tahun, yang memang sengaja ditunjuk Jokowi untuk bertugas “mengembangkan inovasi-inovasi di berbagai bidang.” (tirto.id, 23/11/2019)
Dominasi Politik Oligarki
Diangkatnya staf khusus presiden yang 7 diantaranya adalah dari kalangan milenial bukan hanya kontroversial. Lebih dari itu, jumlah gaji mereka juga fantastis yaitu sebesar Rp51 juta. Gaji tersebut disebut telah sesuai dengan aturan sebagaimana yang dimuat oleh laman nasional.kompas.com(25/11/2019): Aturan gaji staf khusus Presiden ini termuat dalam Peraturan Presiden Nomor 144/2015 tentang besaran Hak Keuangan Bagi Staf Khusus Presiden, Staf Khusus Wakil Presiden, Wakil Sekretaris Pribadi Presiden, Asisten dan Pembantu Asisten. Hak keuangan merupakan pendapatan keseluruhan yang diterima dan sudah termasuk di dalamnya gaji dasar, tunjangan kinerja, dan pajak penghasilan. Perpres ini menyatakan gaji staf khusus presiden sebesar Rp 51 juta.
Dengan gaji fantastis tersebut, staf khusus dari kalangan milenial ini juga tak jelas tupoksinya atau masih belum definitif bahkan tak perlu ngantor tiap hari. Kritikan tentang keberadaan stafsus milenial ini juga datang dari politisi PKS, Mardani Ali Sera. Ia menilai, Presiden Joko Widodo dan Wapres Ma’ruf Amin terkesan menghamburkan uang negara untuk menggaji para staf khususnya. “Mestinya sudah mengikuti aturan yang ada. Terkesan memang banyak. Padahal kondisi keuangan negara sedang berat,” ujar Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera melalui pesan singkat, Senin (25/11). Mardani juga mengkritik tugas para Staf Khusus Presiden dan Wakil Presiden. Menurutnya, pengangkatan staf khusus tanpa pembagian tugas yang jelas berpotensi tumpang tindih. Dia juga menilai staf khusus ini tidak akan berkerja produktif. Mardani menyarankan Presiden Jokowi menjelaskan tugas mereka masing-masing dengan jelas.(merdeka.com, 25/11/2019)
Kemudian jika melihat latar belakang para stafsus tersebut, ke-12 orang yang ditunjuk Jokowi menjadi staf khusus diangkat dari partai dan sosok konglomerat penyokong Jokowi di kampanye pilpres. Sebut saja empat nama yang merupakan kader partai politik pendukung Jokowi, yakni: Arief Budimanta (PDIP), Dini Shanti Purwono (PSI), dan dua kader Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), yakni Diaz Hendropriyono dan Angkie Yudistia. Maka tidak berlebihan, jika kemudian publik lebih melihat pengangkatan ini sebagai fenomena makin menguatnya politik oligarki di rezim jilid II.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai, politik bagi-bagi kekuasaan ini memang bukan barang baru di pemerintahan Jokowi. Tak hanya sekarang, tapi sejak periode pertamanya. “Saya kira sih itu sudah jadi ciri khas utama pemerintahan Jokowi Jilid II ini. Akomodatif yang akhirnya mengangkangi prinsip efisiensi dan efektifitas yang didengung-dengungkannya,” kata Lucius. Menurut Lucius, dengan memilih staf khusus milenial, Jokowi pun sedang membuat citra bahwa dirinya adalah sosok yang dekat dengan milenial. Padahal, kata Lucius, mantan Wali Kota Solo itu hanya menutupi lingkaran oligarki di pemerintahannya. (tirto.id, 23/11/2019)
Dominasi politik oligarki sesungguhnya tak lepas dari penerapan sistem demokrasi kapitalisme. Simbiosis mutualisme antara penguasa, elit parpol dan para konglomerat, menjadikan politik oligarki ini tumbuh subur. Harus ada balas budi yang dilakukan siapapun yang akan menjadi pemimpin, mengingat para elit parpol dan konglomerat tersebut telah berjasa mengantarkannya pada kursi kekuasaan.
Cara Islam Menyusun Birokrasi
Berbeda dengan sistem demokrasi yang mana tak ada aturan baku yang harus dipatuhi oleh pemimpin dan para pejabat di bawahnya sehingga semua penyusunan birokrasi berdasarkan kesepakatan-kesepakatan dan lobi-lobi politik. Bagi-bagi kue kekuasaan tak terhindarkan. Sebaliknya, dalam sistem Islam, kekuasaan adalah metode untuk menerapkan aturan Allah, sehingga para pemimpin dan pejabatnya harus terikat pada aturan/syariah Islam ini.
Dalam menyusun birokrasi, akan ditunjuk berdasarkan kelayakan, kapasitas dan keamanahannya. Rasulullah bersabda “jika amanah telah disia-siakan, tunggilah kehancuran.” Seorang arab baduwi berkata, “bagaimana amanah disia-siakan?” Beliau bersabda, “jika utusan diserahkan kepada selain ahlinya, tunggulah saat-saat kehancuran.” (HR al Bukhari dan Ahmad). Maka meskipun usia seseorang masih muda, namun jika dipandang mampu, layak dan amanah, maka mereka bisa saja diberi jabatan. Tentu mereka benar-benar akan bekerja untuk kebaikan umat, dan penunjukan mereka bukan untuk pencitraan bahwa pemimpin dekat dengan kaum muda. ini bisa dilihat pada masa pemerintahan Islam, Rasulullah Saw pernah menunjuk Usamah bin Zaid yang saat itu berusia 18 tahun sebagai panglima perang yang akan dikirim ke Romawi.
Jabatan juga tidak akan diberikan kepada orang yang memintanya, berambisi apalagi terobsesi dengan sebuah jabatan. Abu Musa al-Asy’ari menuturkan, ketika ada orang meminta jabatan kepada Rasul Saw, beliau menolaknya dan beliau menunjuk orang lain. Beliau bersabda ketika itu: “demi Allah, kami tidak mengangkat atas tugas ini seorang pun yang memintanya dan tidak pula seorang pun yang berambisi terhadapnya” (HR Muslim dan Ibnu Hibban). Bandingkan dengan sistem demokrasi, yang mana meminta jabatan adalah sesuatu hal yang lazim.
Untuk pencegahan terhadap pelanggaran syariat, maka pertama-tama ketakwaan individu adalah hal yang sangat penting dalam menunjuk individu-individu yang akan diberi amanah urusan umat. Kedua adalah kontrol dari masyarakat, dimana masyarakat akan senantiasa melakukan muhasabah kepada para pemimpin dan abdi negara agar mereka senantiasa berada pada rel syariah. Dan yang ketiga adalah penerapan syariah Islam oleh negara. Jika ada pelanggaran terhadap hukum syariah, maka negara akan menerapkan sanksi terhadap mereka yang melakukan pelanggaran. Berat atau tidaknya sanksi tersebut tentu dilihat berdasarkan pelanggarannya.
Dengan pengaturan seperti itu, maka politik oligarki akan bisa dicegah. Karena satu-satunya kepentingan para pemimpin dalam sistem Islam adalah keridhaan Allah terhadap pelaksanaan amanah yang telah diberikan kepada mereka. Maka akan kita dapati para pemimpin dan para pejabatnya yang memiliki ketakwaan yang tinggi, justru selalu merasa khawatir jikalau mereka tak menjalankan amanah urusan rakyat dengan baik.Wallahu ‘alam bishowwab.
UMMU SALMAN