Penistaan Agama Tumbuh Subur di Negara Sekuler

Penistaan Agama Tumbuh Subur di Negara Sekuler
ULFAH SARI SAKTI

Meskipun sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, tetapi pemerintah Indonesia tidak mampu menjamin hak warga negara muslimnya untuk memperoleh keadilan atas penistaan agamanya.  Serangkaian kasus yang telah dilaporkan ke aparat penegak hukum terkesan “hanya jalan ditempat saja” tanpa sanksi setimpal, misalnya kasus penistaan agama yang dilakukan oleh mantan artis cilik Joshuadan mantan anggota DPR RI, Viktor Laiskodat.  Teranyar kasus pelecehan agama yang kedua kalinya yang dilakukan Sukmawati Soekarno Putri. 

Pada kasus kedua ini, Sukmawati dilaporkan oleh Sekjend Nasional Pengawal Fatwa (GNPF), Edy Mulyadi ke Bareskrim POLRI atas dugaan penistaan agama, khususnya terkait pernyataannya pada acara diskusi bertajuk Bangkitlah Nasionalisme Bersama Kita Tangkal Radikalisme dan Berantas Terorisme.  “Kita lapor ke Bareskrim sini, berharap supaya aparat hukum menindaklanjuti, menyelidiki sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” ujar Edy.

Iklan Pemkot Baubau

Ini merupakan laporan kelima terhadap Sukmawati ke polisi.  Terdapat 2 laporan sama ke Bareskrim POLRI oleh pihak berbeda pada Senin dan Rabu (18 dan 20/11/2019), serta dua laporan yang sama ke Polda Metro Jaya pada tanggal15 dan 18/11/2019 oleh pihak berbeda.  Pasal yang disangkakan dalam kelima laporan itu adalah Pasal 156a KUHP tentang penistaan agama. 

Sementara itu Menurut Sukmawati, pemberitaan yang tersebar di media sosial telah diubah oleh orang tak bertanggung jawab.  “Jadi setelah ibu perhatikan dan ibu amati, saya merasa sangat dirugikan oleh media online yang mempunyai pemikiran usil, tangan-tangan jahil untuk megubah kata-kata saya dan diedit,” kata Sukmawati dalam acara Sapa Indonesia Malam Kompas TV, Senin (18/11/2019)(Kompas.com, 21/11/2019).

Pendapat Ulama tentang Kasus Penistaan Agama Sukmawati

Sejumlah ulama mengungkapkan kekecewaannya terhadap pernyataan Sukmawati, diantaranya Yahya Zainul Maarif (Buya Yahya).  Dalam sebuah kajian yang ditayangkan di Chanel Youtube Al-Bahjah TV dan dipublikasikan pada 18 November 2019, Buya Yahya menjawab pertanyaan jemaah yang menanyakan polemik itu.

“Orang tersebut sebelumnya juga pernah melakukan satu ungkapan yang tidak sedap juga.  Jadi, kalau kami amati, ketidakmegertian.  Kalau bahasa kasarnya adalah kebodohan tentang Nabi Muhammad saw,” ujar Buya Yahya.

Buya menegaskan, Nabi Muhammad adalah sosok mulia yang tidak pantas dibanding-bandingkan dengan makhluk apa pun.  Apalagi dengan manusia biasa.  Itulah yang menurut Buya tidak dicermati Sukmawati.  Selain tidak mengenal Nabi Muhammad, kata Buya.  Sukmawati juga sepertinya tidak mengenal ayahnya sendiri, Soekarno.  Bung Karno, menurut Buya, adalah sosok yang sangat mengagungkan Nabi Muhammad.  Saking cintanya pada Nabi Muhammad, kata Buya, Bung Karno pernah menyebut banyak orang besar di dunia yang memiliki pengaruh dalam sejarah umat manusia, namun mereka tetap pernah berbuat salah.

“Jadi Bung Karno bisa berjuang itu karena ada spirit Islamnya itu yang diambil dari Baginda Nabi Muhammad.  Lah dia itu (Sukmawati) ya mungkin tidak kenal Bung Karno, tidak kenal Nabi Muhammad, ya ngomongnya salah-salah begitu.  Tapi kepelsetnya seseorang karena ada gumpalan di dalam hati,” tuturnya.  Jadi kesimpulan kami adalah kepada orang tersebut, yuk belajar tentang Islam yang lebih serius deh.  Dan iman.  Akan berakhir hidup ini kalau tidak punya iman, rugi,” ucapnya (Vivanews, 20/11/2019).

Hukuman Mati bagi Penghina Nabi

Nabi Muhammad saw merupakan penghulu para nabidan merupakan utusan Allah swt dalam menyebarkan Islam di muka bumi ini, serta merupakan satu-satunya nabi yang dapat memberikan syafaat di hari kiamat kelak.  Sehingga belum sempurna iman seseorang jika belum mencintai nabi.  Sebagaimana yang terdapat dalam HR al-Bukhari,”Belum sempurna iman ssalah seseorang diantara kalian sampai ia menjadikan aku lebih dicintai daripada orang tuanya, anaknya dan segenap manusia”. 

Sebagai seorang muslim, hukum menghina Nabi jelas haram, pelakunya dinyatakan kafir dan hukumannya yaitu hukuman mati.Seperti yang dinyatakan Kholil Ibn Ishaq al-Jundiy, ulama besar mazhab Maliki, siapa saja yang mencela Nabi, melaknat, mengejek, menuduh, merendahkan, melabeli denga sifat yang bukan sifatnya, menyebutkan kekurangan pada diri dan karakternya, merasa iri karena ketinggian martabat, ilmu dan kezuhudannya, menisbatkan hal-hal yang tidak pantas kepadanya, mencela dan lain-lain, maka hukumannya adalah dibunuh.  Sedangkan terhadap kafir harbiy, hukum asal perlakukan terhadap mereka adalah perang (qital).

Jika negara Indonesia ingin diakui sebagai negara demokrasi yang melindungi hak warga negaranya untuk mengagungkan nabinya, maka sudah selayaknya para penista agama tidak terkecuali penghina Nabi Muhammad saw diadili sesuai hukum yang berlaku.  Jika tidak maka Indonesia akan dikenal sebagai negara sekuler tempat tumbuh suburnya para penista agama, tidak berbeda dengan negara sekuler lainnya yang tidak mampu menghukum penista ajaran Islam.

Andai saja Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesardi dunia ini telah melaksanakan sistem Islam secara kaffah, tentu pemimpinnya akan seperti Khalifah Abdul Hamid II, yang menegaskan akan memerangi Prancis dan Inggris jika benar-benar akan mementaskan drama karya Voltaire, yang menghina Nabi Muhammad saw.  Semoga saja kelak Indonesia dapat menerapkan hukum-hukum Islam secara kaffah.  Wallahu’alam bishowab[**]

ULFAH SARI SAKTI,S.PI (JURNALIS MUSLIMAH KENDARI)