Akhir-akhir ini publik dikejutkan dengan rencana pembuangan 2 ribu ton beras Bulog yang ‘kadaluarsa’. Bagaimana sebenarnya mekanisme penyalurannya hingga ada beras lama yang tidak terdistribusi kepada rakyat ?
Seperti dilansir dalam Jakarta, CNN Indonesia — Perum Bulog menyatakan akan membuang 20 ribu ton cadangan beras pemerintah yang ada di gudang mereka. Nilai beras tersebut mencapai Rp160 miliar. Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog Tri Wahyudi Saleh mengatakan pemusnahan dilakukan karena usia penyimpanan beras tersebut sudah melebihi 1 tahun. Data yang dimilikinya, saat ini cadangan beras di gudang Bulog mencapai 2,3 juta ton. Sekitar 100 ribu ton di antaranya sudah disimpan dia atas empat bulan. Sementara itu 20 ribu lainnya usia penyimpanannya sudah melebihi 1 tahun. Sesuai Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP), beras yang usia penyimpanannya sudah melampaui batas waktu simpan paling sedikit empat bulan atau berpotensi dan atau mengalami penurunan mutu. Karena itulah, beras harus dibuang atau dimusnahkan
“Semua stok Bulog yang disimpan lebih dari lima bulan itu dapat dibuang, bisa diolah kembali, diubah menjadi tepung dan yang lain, atau turunan beras atau dihibahkan, atau dimusnahkan,” kata Tri seperti dikutip dari Antara, Jumat (29/11).
Dilansir juga dalam Bisnis.com, Perum Bulog (Persero) dinilai perlu memperbaiki manajemen penyaluran beras, seiring dengan berkurangnya kewajiban perseroan untuk mendistribusikan bantuan sosial beras sejahtera (bansos rastra).
Ketua Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) Sutarto Alimoeso mengatakan, Bulog dan pemerintah harus berbenah pascatemuan pembusukan beras di gudang Bulog Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Sumatra Selatan. Pasalnya, kejadian tersebut merupakan akumulasi dari sejumlah persoalan yang melanda tata kelola perberasan di Bulog.
“Persoalannya mulai dari berkurangnya kewajiban Bulog menyalurkan bansos rastra hingga masalah di hulu, yakni kualitas beras nasional yang rendah,” jelasnya kepada Bisnis.com, belum lama ini.
Dia mengatakan, Bulog selama ini diwajibkan menyerap beras petani dalam jumlah besar. Namun, sejak 2017, pilihan penyaluran beras milik perseroan semakin terbatas, terutama untuk jenis beras medium. Penyebabnya, kebijakan bansos rastra perlahan digantikan dengan bantuan pangan nontunai (BPNT) oleh pemerintah.
Otomatis, lanjutnya, Bulog hanya memiliki pilihan menyalurkan beras mediumnya melalui operasi pasar (OP) dan bantuan kemanusiaan. Adapun, beras medium yang dapat disalurkan setiap tahunnya melalui OP hanya sekitar 500.000 ton. Padahal, Bulog diwajibkan menjaga stok cadangan beras pemerintah 1 juta ton—1,5 juta ton.
“Di sisi lain, beras kita ini kecenderungannya hanya dapat disimpan dalam waktu terbatas. Sebab, kebanyakan penggilingan di tingkat petani di desa tidak memiliki alat pengering. Padahal, panen raya itu biasanya bertepatan dengan musim hujan. Jadi, berasnya relatif basah dan kualitasnya rendah sehingga cepat busuk,” jelasnya.
Menurut Sutarto, kondisi itu semakin memperberat tugas Bulog sebagai stabilitator beras nasional. Alhasil, kejadian membusuknya beras di gudang Bulog berpeluang terus terjadi.
Kapitalisme, Akar Masalahnya
Masalah perberasan seolah tidak pernah ada habisnya. Akhir tahun lalu, Direktur Utama Badan Urusan Logistik (Bulog) Budi Waseso sempat berseteru dengan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, soal kebijakan impor beras karena produksi nasional yang dianggap kurang cukup. Kini, Bulog mengaku kesulitan menyerap beras petani karena stok beras digudangnya penuh. Setelah dipaksa mengimpor beras dalam jumlah besar tahun lalu, kini Bulog mengaku kesulitan menjualnya. Beras Bulog yang sebelumnya disalurkan untuk program bantuan sosial Beras Sejahtera (Rastra) kini ditutup, digantikan program Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT). Di sisi lain, pasokan beras yang sedang melimpah di pasar membuat Bulog tidak bisa melakukan operasi pasar untuk mengurangi stok berasnya di gudang.
Mencermati realita ini, nampak betapa birokrasi dan struktur kerja antar institusi pemerintah pengelola impor beras begitu minim komunikasi dan koordinasi. Masing-masing jawatan justru terlihat bekerja tanpa visi bersama layaknya sebuah tim yang solid. Para pejabat itu seolah masih saja absen akan peran dasar mereka dalam melayani urusan bahan pangan pokok negara yang besar ini. Sistem kerja yang terdesentralisasi dan minim antisipasi, tak pelak menunjukkan keseriusan kerja yang gagal. Padahal mengelola ketersediaan beras sebagai bahan pangan pokok, adalah bagian dari ikhtiar untuk mencapai target periodik yang terukur dan terencana. Tambal sulamnya cara kerja, ditambah rumitnya birokrasi, sungguh tak lagi menjadikan kepentingan rakyat sebagai tujuan pengabdian profesinya.
Karena itu, haruskah kita masih berpihak pada kapitalisme-demokrasi? Sistem ini telah meniscayakan pola kerja ala rimba. Saling serobot maupun berlepas kepentingan, begitu mudah terjadi. Tak terkecuali saat mengelola komoditi beras. Belum lagi adanya ancaman mafia pangan.
Problem Kartel pangan juga masih belum bisa diselesaikan yang berakibat semakin sulitnya rakyat luas menjangkau pangan berkualitas karena harganya yang tinggi. Semua ini melengkapi bukti bahwa Negara korporasi lebih melindungi kepentingan pebisnis dibanding menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Kemudian, mafia impor tumbuh subur karena watak kapitalisme yang berusaha mencari untung dari impor beras, meski petani menjerit karena guyuran beras impor saat panen raya. Jika berlepas dari impor beras saja tak sanggup, target zero hunger 2030 dan lumbung pangan dunia 2045 hanya akan menjadi mimpi panjang tanpa realisasi. Sungguh, begitu jauhnya sistem pengelolaan beras nasional ini dari rencana strategis yang bervisi-misi mengurusi urusan masyarakat luas.
Islam Tuntaskan Problem Ketahanan Pangan
Syariah Islam menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang baik. Negara wajib menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar, seperti penimbunan, kanzul mal (QS at-Taubah [9]: 34), riba, monopoli, dan penipuan. Negara juga harus menyediakan informasi ekonomi dan pasar serta membuka akses informasi itu untuk semua orang sehingga akan meminimalkan terjadinya informasi asimetris yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar mengambil keuntungan secara tidak benar.
Dari aspek manajemen rantai pasok pangan, kita dapat belajar dari Rasul saw yang pada saat itu sudah sangat konsen terhadap persoalan akurasi data produksi. Beliau mengangkat Hudzaifah ibn al-Yaman sebagai katib untuk mencatat hasil produksi Khaybar dan hasil produksi pertanian. Sementara itu, kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand bukan dengan kebijakan pematokan harga. Sebelum menjadi lumbung pangan dunia, Indonesia harus mewujudkan ketahanan pangan. Syaratnya, sektor pertanian harus mendapat perhatian serius dari Pemerintah, tidak boleh diperlakukan seolah anak tiri. Justru ketahanan negara sangat tergantung pada ketahanan pangan. Apalah guna infrastruktur megah, jika rakyat kelaparan.
Untuk mewujudkan ketahanan pangan, ada tiga langkah yang harus dilakukan pemerintah : Pertama, Kecukupan Pasokan. Perlu dilakukan perluasan lahan pertanian (ekstensifikasi). Pemukiman dan industri hanya boleh berdiri di lahan yang tidak produktif. Lahan mati dihidupkan lagi dengan sentuhan teknologi. Warga negara yang ingin bertani namun tak punya tanah diberi insentif berupa lahan untuk digarap. Pemberian insentif ini perlu pendampingan untuk memastikan akuntabilitasnya. Intensifikasi perlu dilakukan untuk meningkatkan hasil pertanian. Dibutuhkan aktivitas penelitian secara terus menerus dan edukasi teknologi pertanian pada para petani. Pemerintah harus punya data akurat tentang kebutuhan pangan nasional sehingga bisa dipetakan daerah yang akan dijadikan lumbungnya. Prinsip penyediaan bahan pangan adalah swasembada penuh, jadi tidak boleh tergantung pada impor. Impor hanya boleh dilakukan pada produk pangan non-strategis seperti buah tertentu yang tidak bisa tumbuh baik di Indonesia. Dengan prinsip swasembada penuh, tidak akan ada celah bagi mafia impor bahan pangan.
Kedua, Distribusi yang baik. Pasokan yang cukup harus dipastikan sampai di tangan masyarakat, tidak menumpuk di gudang. Diperlukan upaya pengawasan untuk mencegah penimbunan. Pelaku penimbunan dipaksa untuk menghentikan aksinya, mengeluarkan barang dari gudang dan diberi sanksi yang menjerakan. Praktik monopoli pasar juga dihilangkan.
Ketiga, Daya Beli. Pasokan cukup, barang ada di pasar, maka rakyat didukung untuk mampu membelinya. Upaya menciptakan daya beli yang bagus dilakukan dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Yaitu dengan menciptakan iklim usaha yang bagus dan tersedianya lapangan kerja secara luas. Negara wajib memastikan tiap laki-laki dewasa bekerja mencari nafkah. Bagi individu lemah (tua, sakit, disabilitas) diberikan santunan oleh negara. Ketahanan pangan ini terwujud sepanjang peradaban Islam (khilafah) berkuasa. Tak hanya mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, khilafah Utsmaniyah bahkan terbukti pernah memberikan bantuan tiga kapal penuh berisi bahan pangan untuk rakyat Irlandia kala dilanda gagal panen tahun 1847. Bantuan pangan ini gratis, bahkan masih ditambah uang 1000 Poundsterling . Sungguh kondisi ketahanan pangan yang luar biasa.
Demikianlah konsep dan nilai-nilai syariah Islam memberikan kontribusi pada penyelesaian masalah pangan. Konsep tersebut tentu baru dapat dirasakan kemaslahatannya dan menjadi rahmatan lil alamin bila ada institusi negara yang melaksanakannya. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengingatkan pemerintah akan kewajiban mereka dalam melayani urusan umat, termasuk persoalan pangan dengan menerapkan syariah yang bersumber dari Allah SWT, Pencipta manusia dan seluruh alam raya. Lalu, bisakah Indonesia meniru jejak ketahanan pangan seperti ini? Jauh, terutama bila sistem Kapitalisme masih diterapkan di negeri ini dan dipastikan tidak akan ada perubahan untuk mewujudkan Indonesia menuju Lumbung Pangan Dunia 2045 mendatang. Wallahu ‘alam.
RISNAWATI