Beras Sayang, Beras Dibuang?

Beras Sayang, Beras Dibuang?
Ummu Zhafran (Pegiat Opini,member Akademi Menulis Kreatif)

Nasi bisa dibeli, tapi rasa percaya? Seluruh uang di dunia ini tidak cukup membelinya.(Dewi Lestari, Perahu Kertas)

Sebanyak 20 ribu ton beras senilai Rp 160 miliar yang disimpan di gudang Bulog akan segera dimusnahkan.Mengapa?

Iklan Pemkot Baubau

Direktur Utama Bulog Budi Waseso (Buwas)  menyebut beras-beras itu tak benar-benar dimusnahkan, melainkan diolah menjadi produk lain seperti tepung, pakan ternak, atau ethanol.
“Beras (disposalstock) bukan untuk dibuang. Tidak. Kita bicara soal pangan. Jadi beras sesuai keputusan Mentan 38, ada aturannya menghitung umur beras. Barang mati saja ada penyusutan, mobil, meja, ada perhitungan penyusutan, apalagi pangan,” kata Buwas. (cnbcindonesia.com, 3/12/2019)

Berdalih tentu boleh saja.  Kenyataannya beras impor tersebut rusak akibat kadaluwarsa.  Aneh, kebijakan impor selama ini diklaim untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik.  Pertanyaannya pasar yang mana?  Mengapa beras tersebut masih ada bahkan seolah tak ada habisnya?

Sebelumnya, Perum Bulog juga telahmembuang 50.000 ton cadangan beras pemerintah (CBP) akibat kualitas yang menurun alias rusak. (cnbcindonesia.com, 2/7/2019)

Kebijakan Salah dan Gegabah?

Sejak awal kebijakan impor memang menuai kritik.  Tak kurang Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menilai data pasokan beras yang kacau membuat kebijakan impor salah kaprah. Dwi menjelaskan kebijakan impor beras pada 2018 sebanyak 2,2 juta ton merupakan perhitungan yang kurang matang. Terlebih dilakukan  menjelang musim panen. (katadata.co.id, 4/12/2019)

Lebih jauh, pengamat politik dan ekonomi dari Universitas Airlangga, IchsanuddinNoorsy menilai dampak impor tersebut merupakan bentuk keegoisan penguasa.Selain itu, Ichsan juga menilai bahwa pemusnahan ribuan ton beras adalah bukti rapuhnya ketahanan pangan bumi pertiwi. (wartakota, 4/12/2019)

Merunut ke belakang, kesalahan perhitungan yang berdampak pada buruknya kebijakan bukan hal baru di negeri ini.  Berjuta ton, tepatnya 2,3 juta ton beras luar yang tersimpan di gudang-gudang Bulog kiranya cukup jadi saksi bisu.  Betapa kepentingan rakyat hanya menempati posisi ke sekian dalam urutan prioritas sejak dulu.  Mengimpor saat petani panen, meminta menanam cabai sendiri saat harga cabai melangit, hingga meminta warga miskin untuk diet demi terpenuhinya kebutuhan hanya beberapa yang dimunculkan sebagai solusi yang ambigu.Sama sekali tak menyentuh akar masalah. 

Padahal poinnya ada pada kapitalisme yang berlaku.  Ideologi yang berasas sekularisme ini berprinsip bahwa manusia adalah makhluk ekonomi yang memiliki banyak kebutuhan dan menuntut dipenuhi.  Jadilah produksi barang dan jasa yang dinilai bisa memenuhi kebutuhan, digenjot tinggi.  Stok barang dan jasa harus selalu tersedia.  Contohnya dalam hal ini beras.  Di saat bersamaan para kapitalis ini lupa atau pura-pura lupa bahwa barang dan jasa hasil produksi tak punya kaki.  Bagaimana mungkin beras  datang sendiri ke pelosok negeri tempat tinggal rakyat yang membutuhkan, bila tak ada campur tangan negara mengatur distribusi? 

Tapi justru demikian pandangan  kapitalisme.  Berasumsi distribusi akan berlangsung otomatis bila produksi terjaga.

Inilah yang Adam Smith, bapak kapitalisme sebut dengan  teori “tangan tuhan” (theinvisiblehand). Teori ini meyakini  bahwa keseimbangan pasar terbentuk secara natural dengan adanya pertemuan supply (penawaran) dan demand (permintaan).  Imbasnya teori ini menafikan peran pemerintah dalam aktivitas ekonomi karena dianggap sebagai penghambat perekonomian. Benarkah demikian?  Justru tidak.  Terbukti pada kasus beras yang terbuang ini, mutlak butuh andil negara untuk mendistribusikan ke setiap warga yang membutuhkan. 

Mengapa demikian? Sebab di tengah euforia beras impor yang menggempita jumlahnya sampai harus dibuang, data terungkap.  Sepanjang tahun  2016-2018  sebanyak 22 juta orang di Indonesia menderita kelaparan kronis.  Nominal ini berdasarkan riset yang dilakukan  ADB (Asian Development Bank) bersama International Food PolicyResearchInstitute (IFPRI) dan didukung Kementerian Bappenas. (cnbcindonesia, 9/11/2019)

Sampai di sini jelas jika distribusi ditangani dengan baik lewat kebijakan yang berpihak pada rakyat, tentu kelaparan  bisa direduksi tuntas.

Gagalnya Ekonomi Kapitalisme?

Adam Smith juga manusia.  Ketika meletakkan dasar bagi ekonomi kapitalisme tentu dengan sifat dasarnyayang tak luput dari kesalahan.  Berpandangan bahwa distribusi tak butuh peran negara pastinya bertentangan dengan realitas.  Sebab hanya negara yang bisa menjamin akses setiap warga akan kebutuhan pokoknya.  Dengan wewenang yang dimiliki idealnya negara dapat mengatur produksi dan mengawasijalannya distribusi.Praktik penimbunan, monopoli hingga kartel tak akan dibiarkan oleh negara.  Level konsumsi pun dapat maksimal.  Kelaparan  rakyat jadi minimal. 

Terbayangandai Islam yang diterapkan seluruh kondisi tersebut akan menjelma nyata.  Sebab Islam sempurna dan paripurna.  Diturunkan Sang PenciptaYang Maha Sayang pada makhluk-Nya hingga tak satu pun urusan manusia diabaikan.  Maha Benar Allah dengan segala syariah-Nya. Sudah pasti berbeda dengan kapitalisme buatan manusia. Termasuk sistem ekonomi di dalamnya.  Alih-alih menganggap peran negara menghambat laju ekonomi, Islam justru menetapkan sebaliknya. 

Negara harus hadir  memastikan mekanisme pasar, baik supply dan maupun demandberjalan dengan baik dan benar.  Di waktu yang sama negara menjamin pelaksanaan hukum yang mengharamkan penimbunan, mafia, kartel, penipuan, riba dan monopoli seperti yang disebut sebelumnya.

Memang benar Islam mengajarkan pemenuhan kebutuhan dasar menjadi tugas individual masyarakat. Setiap individu harus berusaha untuk memenuhi kebutuhan dirinya, keluarganya, kerabatnyasesuai dengan kemampuannya. Namun di sisi lain negaralah yang harus menjamin tersedianya kebutuhan pokok dan pemerataan distribusi pendapatan dan kekayaan ini.

Rasulullah SAW sendiri memberi teladan terbaik.  Beliau turun langsung sebagai pengawas pasar (al-Hisbah) yang berfungsi untuk mengawasi pasar dari praktik perdagangan yang curang atau berpotensi merusak mekanisme pasar.

Terpenting, istimewanya Islam bukan semata tersebab kemaslahatannya tapi  sebagai konsekuensi iman.  Sebagaimana firman Allah,

“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (TQS Al Hasyr :7)Wallaahua’lam.

Ummu Zhafran  (Pegiat Opini, member Akademi Menulis Kreatif)