Islam, Solusi Jitu Berantas Penista Agama

Islam, Solusi Jitu Berantas Penista Agama
RISNAWATI

Dilansir dalam Jakarta – Staf khusus (Stafsus) Presiden Joko Widodo (Jokowi), Dini Shanti Purwono merespons seruan Habib Rizieq Syihab soal Aksi Bela Islam berjilid-jilid jika pelaku penoda agama tak juga diproses hukum. Dini menilai aksi berjilid-jilid hanya akan membuang waktu dan uang.

“Demo berjilid-jilid hanya akan menghabiskan waktu, uang, tenaga. Menghambat kegiatan usaha, menurunkan produktivitas, membuat iklim investasi tak kondusif. Yang pada akhirnya akan menghasilkan pengangguran. Akhirnya rakyat lagi yang susah,” kata Dini kepada wartawan, Senin (2/12/2019).

Iklan Pemkot Baubau

Dini menilai tidak pantas apabila proses hukum yang tidak berjalan direspons dengan gelaran aksi massa. Dia menilai permasalahan hukum juga harus diselesaikan melalui jalur hukum.

“Pastinya tidak pantas ya (merespons penanganan kasus hukum yang tidak berjalan dengan menggelar aksi massa). Negara kita negara hukum. Jadi sudah seharusnya dan sepantasnya segala sesuatu diselesaikan secara hukum,” terang Stafsus Presiden Jokowi Bidang Hukum itu.

“Salah satu ciri-ciri negara maju adalah berjalannya proses hukum. Kita ingin Indonesia menjadi negara yang maju, masyarakatnya cerdas, beradab. Hanya dengan cara itulah kita bisa menjadi bangsa yang produktif, yang pada akhirnya akan memberikan kesejahteraan kepada seluruh rakyat,” imbuhnya.

Episode penistaan agama terus berlanjut dan berulang, mereka berlindung atas nama kebebasan HAM, dan sejatinya HAM dalam demokrasi hanyalah kebebasan untuk menistakan Islam. 

Demokrasi, Biang Kerusakan

Jika kita menelaah penistaan agama tidak dianggap kesalahan dalam sistem demokrasi bahkan cenderung dilindungi karena sering dilakukan orang-orang di lingkaran kekuasaan. Mulai dari penistaan ayat al-Qur’an, Rasulullah, ajaran Islam, dan simbol-simbol Islam bahkan ulama’nya dikriminalkan. Mereka yang melakukan penistaan agama seolah tidak tersentuh hukum. Pelaporan kasus penistaan agama berjalan lambat dan bahkan berhenti ditempat, tidak ada kelanjutannya. Hukum tidak tegas pada penista agama sehingga penistaan terulang tanpa ada sanksi yang tegas.

Kenapa penistaan agama marak? Sebelumnya penistaan agama sudah pernah dilakukan, tapi hukum berjalan lambat bahkan berhenti dan tidak ada kelanjutan hukum. Mereka merasa kebal hukum jika berhubungan dengan penistaan agama Islam. Apakah ini tabiat asli dari sistem demokrasi yang bebas berfikir dan mengatakan apa saja tentang satu agama bahkan itu dilakukan di hadapan umum yang bisa menyakiti umat Islam. Karena tidak ada proses hukum yang jelas dari 20 kasus penistaan agama yang dilaporkan? Para penista agama merasa di atas angin dan bebas melakukan penistaan yang bisa menyakiti umat Islam yang masih punya iman di dalam dada mereka.

Dalam sistem demokrasi penistaan agama, dibiarkan sementara ujaran kebencian terutama pada penguasa rezim diproses cepat yang berujung pada pidana. Bahkan, pasal ujaran kebencian dijadikan pasal karet yang akan bisa menakut-nakuti atau alat penjerat hukum bagi siapa saja yang dianggap sebagai musuh rezim yang anti kritik. Sementara, penistaan terhadap agama dianggap biasa dan bahkan dilakukan penguasa rezim. Penistaan simbol Islam, pembakaran bendera tauhid masih hangat dalam ingatan kita, namun tidak ada hukuman tegas bagi mereka. Perampasan bendera tauhid dan bahkan mengkriminalkannya dilakukan oleh aparat dan penguasa. Ajaran Islam, khilafah dikriminalkan dan dianggap ajaran berbahaya sehingga Menag memutuskan untuk merombak 155 buku yang dianggap berbahaya. Apakah ini tidak dianggap penistaan agama meskipun dilakukan oleh pejabat?

Dengan demikian, pemojokan agama Islam dengan berbagai Labelling yang disisipkan seperti label Radikalisme dan terorisme yang diarahkan pada agama Islam. Sehingga hal ini akan menjadikan masyarakat menjadi Islamopohia atau takut terhadap agama Islam. Karena diaruskan dan difokuskan untuk memikirkan hal tersebut.

Inilah demokrasi yang tidak tegas dengan penistaan agama sehingga marak dilakukan orang-orang yang tidak mempunyai iman dalam beragama. Sebaliknya, dalam sistem Islam hampir tidak dijumpai penistaan agama karena mereka akan mendapatkan hukuman tegas dan keras bagi pelakunya. Beragama adalah hak yang paling asasi yang dilindungi oleh hukum. Dan penistanya harus dihukum seberat – beratnya agar bisa menjadi efek jera bagi yang lain untuk tidak melakukan penistaan terhadap agama.

Maka, demokrasi dalam sistem sekuler adalah memisahkan agama dari negara. Suara-suara sumbang yang meragukan peran agama dalam negara ditumbuhsuburkan dalam rangka mencapai tujuan sekulerisme. Memisahkan agama dari negara dan menistakan ajaran agama adalah bentuk radikalisme sekuler yang mendapat angin segar dari Barat. Dengan demokrasi, Barat punya agenda besar untuk menghambat kebangkitan Islam yang dulu pernah ada. Barat sangat paham bahwa Islam bukan hanya sekedar ajaran ritualistik semata, melainkan sebagai ideologi yang mempu menggerakkan kesadaran peradaban umatnya.

Hanya Islam Solusinya

Banyaknya kasus penistaan agama membuktikan bahwa negara telah gagal melindungi agama. Sebabnya sistem sekuler tidak menempatkan agama pada tempatnya. Syariat Islam tidak dijadikan sebagai sumber aturan dan hukum. Agama hanya dijadikan sebagai salah satu sumber nilai dan norma belaka. Sebagai alternatif rujukan dalam membuat regulasi-regulasi dan bukan menjadi orientasi. Karenanya agama menjadi patut untuk dipertanyakan, diragukan, bahkan dinistakan. Orang yang menghina agama secara sadar ataupun tidak, bisa jadi karena ketidak tahuan. Atau karena kedengkian terhadap Islam. Bahkan ada juga yang menjadikannya sarana meraup keuntungan materiil.

Selama negara masih mengabaikan syariat Islam, bukan dijadikan sebagai sumber hukum yang diberlakukan. Selama itu pula akan terjadi penistaan terhadap agama. Mungkin karena konsekuensi agama tidak dirasakan sekarang. Pahala dan dosa, surga dan neraka tidak diperlihatkan didepan mata. Bagi orang beriman hal itu menjadi harga setiap amal perbuatan, yang kelak akan diterima. Sedang yang kurang imannya masih meragukan, dan menjadikan dunia sebagai tolak ukur setiap perbuatan.

Maka untuk menghentikan kasus penistaan agama, baik agama Islam maupun agama lainnya, negara harus mengembalikan posisi agama pada tempatnya. Yaitu memfungsikan syariat Islam sebagai sumber hukum dalam mengatur urusan umat. Juga menjadikannya orientasi dalam membangun negara.

Dalam Islam negara harus dibangun di atas landasan aqidah Islam. Negara wajib melindungi kemuliaan Islam, wajib membina keimanan dan melindungi ketakwaan individu rakyat. Karena dengan ketakwaan individu akan melahirkan sikap mengagungkan Islam, penghinaan terhadap simbol Islam atau syiar-syiar Islam itu tidak akan terjadi. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: “Demikianlah (perintah Allah). Siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati (TQS al-Hajj (22):32).

Dalam hal ini negara dapat kembali menerapkan sistem yang benar-benar menjamin hukum yang adil dan bersikap tegas terhadap pelanggar hokum, termasuk hukuman yang tegas bagi para penista agama, karena hal ini berkaitan dengan akidah. Maka jika dibiarkan tanpa adanya kecaman dan sanksi yang menjerakan, hal itu akan menjadi hal yang biasa. Dengan adanya penjagaan yang tegas dari negara, maka tidak akan muncul penista-penista agama.

Alhasil, demokrasi sebuah omong kosong bisa terwujud persatuan dan kesatuan bangsa. Yang ada adalah upaya melemahkan umat dengan mengadu domba di antara mereka sendiri. Memang sudah saatnya menggusur demokrasi, yang notabenenya demokrasi itu merupakan alat penjajahan guna menghalangi kebangkitan Islam. Dan saatnya mengembalikan penerapan Syariah Islam kaffah, agar bumi ini dipenuhi keberkahanNya saja. Wallahu a’lam.

“Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’raf: 96).

RISNAWATI (PENULIS BUKU JURUS JITU MARKETING DAKWAH)