Setelah kasus pelarangan cadar dan celana cingkrang kini umat islam kembali terusik dengan pernyataan yang dilontarkan Kementerian Agama (Kemenag) terkait penarikan materi ujian di madrasah yang mencantumkan konten khilafah dan jihad dengan melakukan revisi terhadap kompetensi inti dan kompetensi dasar (KI-KD) tentang Pemerintahan Islam (Khilafah) dan Jihad dinyatakan tidak berlaku dan telah diperbarui. Usut punya usut, mengapa setelah sekian lama ajaran khilafah dan jihad menjadi kurikulum pembelajaran, baru saat ini menjadi sorotan? Padahal ajaran Islam terkait khilafah dan jihad telah lama disematkan dalam mata pelajaran bukan hanya fakta sejarah semata, melainkan ajaran islam yang tidak bisa dipisahkan, sebagaimana perkara shalat, puasa, zakat, dan haji menjadi satu bagian.
Dilansir dari CNN Indonesia — Kementerian Agama (Kemenag) melakukan revisi terhadap konten-konten ajaran terkait khilafah dan jihad dalam pelajaran agama Islam di madrasah. Hal itu ditegaskan dalam Surat Edaran B-4339.4/DJ.I/Dt.I.I/PP.00/12/2019 yang ditandatangani Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah Kemenag Ahmad Umar. Dalam salinan surat yang diterima CNNIndonesia.com disebutkan bahwa Kemenag melakukan revisi terhadap kompetensi inti dan kompetensi dasar (KI-KD) untuk pengarus utamaan moderasi beragama serta pencegahan paham radikalisme di satuan pendidikan madrasah.
“Kegiatan pembelajaran dan penilaian hasil belajar Tahun Pelajaran 2019/2020. Terkait KI-KD yang membahas tentang Pemerintahan Islam (Khilafah) dan Jihad yang tercantum dalam KMA 165 Tahun 2014 dinyatakan tidak berlaku dan telah diperbarui dalam KMA 183 Tahun 2019. Naka implementasi KI-KD dalam pembelajaran dan penilaian hasil belajar Tahun Pelaharan 2019/2020 mengacu pada Kl-KD yang tercantum dalam KMA 183 Tahun 2019,” tulis surat yang diterbitkan pada 4 Desember 2019.
Surat tersebut juga mengatur penarikan materi ujian di madrasah yang mencantumkan konten khilafah dan jihad. Pembuatan soal baru akan merujuk pada Surat Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Kemenag Nomor 3751, 5162, dan 5161 tahun 2018. Kurikulum baru hasil revisi ditargetkan efektif berlaku pada tahun ajaran 2020/2021. Kemenag menhadikan Keputusan Menteri Agama Tahun 2019 tentang Pedoman Implementasi Kurikulum pada Madrasah sebagai acuan. Dirjen Pendidikan Islam Kemenag Kamaruddin Amin mengonfirmasi surat edaran tersebut. Dia menjelaskan Kemenag tak menghapus konten ajaran khilafah dan jihad, melainkan diperbaiki.
“Saya perlu menyampaikan bahwa konten khilafah dan jihad tidak dihapus sepenuhnya dalam buku yang akan diterbitkan. Makna khilafah dan jihad akan diberi perspektif yang lebih produktif dan kontekstual,” kata Kamaruddin lewat pesan singkat kepada CNNIndonesia.com, Minggu (8/12).
Dia menerangkan pelajaran khilafah dan jihad tidak akan lagi diajarkan pada mata pelajaran Fikih. Dua konten itu akan masuk dalam mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam. Kamaruddin berkata materi khilafah dan jihad tidak dihapus karena merupakan bagian dari sejarah Islam. Namun perlu ada penyesuaian mengikuti perkembangan zaman.
“Khilafah misalnya adalah fakta sejarah yang pernah ada dalam pelataran sejarah peradaban Islam, tetapi tak cocok lagi untuk konteks negara bangsa Indonesia yang telah memiliki konstitusi (Pancasila dan UUD 45, NKRI dan Bhineka tunggal ika),” tulis Kamaruddin dalam pesan singkat.
Telaah Mendalam Ajaran Khilafah dan Jihad
Dalih Kemenag bahwa pembahasan khilafah dan jihad tidak dihapus akan tetapi diperbarui agar lebih konstruksi dan produktif adalah tuduhan jahat bahwa ajaran Islam yang dipahami apa adanya (sesuai pemahaman kitab mu’tabar) bersifat destruktif dan kontraproduktif. Sebaliknya memberi label baru serta menafsirkan makna baru terkait ajaran islam tentang khilafah dan jihad yang sejalan moderasi berarti menghadirkan makna ajaran islam tanpa landasan kitab mu’tabar. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengubur eksistensi khilafah dan jihad sebagai ajaran islam dengan dalih moderasi beragama serta pencegahan paham radikalisme adalah lagu lama yang kembali didendangkan bahkan menyatakan bahwa khilafah adalah fakta sejarah yang pernah ada dalam pelataran sejarah peradaban islam, tetapi tak cocok lagi untuk konteks negara bangsa Indonesia yang telah memiliki konstitusi (Pancasila dan UUD 45, NKRI dan Bhineka tunggal ika). Hal serupa pernah pula terjadi, dimana rencana penghapusan kisah perang dalam pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) dengan alasan agar islam tak dianggap sebagai agama radikal, atau agama yang selalu saja berkaitan dengan kekerasaan (perang). Secara langsung dalih yang dilontarkan mengiring masyarakat untuk menyakini bahwa khilafah adalah sebuah sistem yang tidak layak huni dalam suatu negara yang notabene memiliki keberagaman agama dan suku adalah bentuk kelancangan, karena sebesar apa pun upaya mengiring opini dalam meredupkan ajaran islam tidak akan dapat memungkiri bahwa khilafah dan jihad tetaplah bagian dari ajaran islam yang tidak bisa dipisahkan selayaknya shalat, puasa, zakat, dan haji.
Khilafah menjadi sesuatu yang tidak asing lagi di telinga masyarakat tatkala opini miring yang terus bergulir memenuhi kancah publik. Namun nyatanya, sebagian masyarakat lebih cerdas dalam mencari kebenaran bahwa sesungguhnya khilafah adalah bagian dari ajaran islam.
Khilafah adalah isim syar’i (istilah syariah). Artinya, khilafah ini bukan istilah buatan manusia, karena istilah ini pertama kali digunakan dalam nash syariah dengan konotasi yang khas, berbeda dengan makna yang dikenal oleh orang Arab sebelumnya. Sebagaimana kata Shalat, Haji, Zakat, dan sebagainya. (Lihat, al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Juz 1/27-28)
Istilah khilafah dengan konotasi syara digunakan dalam hadits Nabi saw. Sebagaimana yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal.
Ada era kenabian diantara kalian, dengan izin Allah akan tetap ada, kemudian ia akan diangkat oleh Allah, jika Allah berkehendak untuk mengangkatnya. Setelah itu, akan ada era Khilafah yang mengikuti Manhaj Kenabian. (HR. Ahmad)
Kewajiban mengangkat khalifah merupakan bentuk kewajiban berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal semata. Sebagaimana yang telah termaktub dalam kitab Imam Muhammad ar-Ramli (w. 1004 H), yang berjudul Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, menyatakan.
Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki posisi sebagai pengganti kenabian dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.”Kemudian anggapan bahwa jihad merupakan ajaran tidak akan lagi diajarkan pada mata pelajaran Fikih sehingga harus dimasuk dalam mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) adalah kekeliruan yang nyata, sebab makna jihad sendiri dalam bahasa Arab merupakan bentuk mashdar dari kata jahada yujahidu jihadan wa mujahadatan. Asal katanya adalah jahada yajhadu jahdan/juhdan yang berarti kekuatan (al-thaqah) dan upaya jerih payah (al-masyaqqah). Secara bahasa jihad berarti mengerahkan segala kekuatan dan kemampuan untuk membela diri dan mengalahkan musuh.
Jadi makna jihad tidak serta-merta hanya berkaitan dengan perang saja, melainkan ada jihad melawan hawa nafsu dan jihad melawan setan, hanya saja yang menjadi titik sasaran disini adalah jihad melawan orang-orang kafir dan orang munafik yang dalam artian perang. Sangat tidak tepat apabila sesuatu pelajaran Fikih ditempatkan hanya sebatas bagian dari sejarah Islam, serta perlu ada penyesuaian mengikuti perkembangan zaman. Jihad dari masa ke masa akan tetap menjadi ajaran islam yang tidak bisa dipisahkan dan ajaran islam tetap mengikuti zaman bukan sebaliknya harus menyesuaikan perkembangan zaman. Jihad dalam pengertian perang di jalan Allah merupakan kewajiban syariah, sebagaimana yang telah termaktub dalam Al-Quran Surah at-Taubah ayat 41, “Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun rasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Upaya meredupkan ajaran islam dengan mengiring berbagai opini sesat, sejatinya tidak akan mampu menghentikan laju kebangkitan Islam, meskipun mengerahkan seluruh kekuatan agar eksistensi ajaran islam lambat laun hengkang. Ketahuilah bahwa syiar agama Islam tidak akan pernah padam sebagaimana yang termaktub dalam Al-Quran Surah at-Taubah ayat 33, “Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, sementara Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang kafir tidak menyukainya. Dialah yang mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Quran) dan agama yang benar untuk Dia menangkan atas segala agama walapun orang-orang musyrik tidak menyukai”.
Nabi juga mengisyaratkan, bahwa sepeninggal baginda SAW harus ada yang menjaga agama ini, dan mengurus urusan dunia, dialah khulafa’, jamak dari khalifah [pengganti Nabi, karena tidak ada lagi Nabi]. Nabi bersabda: “Bani Israil dahulu telah diurus urusan mereka oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi [Bani Israil] wafat, maka akan digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya, tidak seorang Nabi pun setelahku. Akan ada para Khalifah, sehingga jumlah mereka banyak.” [HR Muslim].
Wallahu a’lam bishsawab.
Oleh: Lisa Aisyah Ashar (Mahasiswi USN Kolaka dan Aktivis BMI Kolaka)