Example floating
Example floating
OpiniTegas.co Nusantara

Jeratan Oligarki Dalam Pemerintahan

2196
×

Jeratan Oligarki Dalam Pemerintahan

Sebarkan artikel ini
Jeratan Oligarki Dalam Pemerintahan
Iis Nur

Bukan sesuatu yang aneh, mengejutkan dan mengherankan jika  apa yang di janjikan pada saat kampanye berbeda dengan apa yang terjadi saat sudah dimenangkan. Dalam kampanyenya Presiden Jokowi berjanji akan memangkas birokrasi di 23 lembaga agar tahapan birokrasi lebih efisien. Pada kenyataannya kementerian menjadi 34 lembaga beserta wakil-wakilnya. Seperti yang dikutip tirto.id (23/11/2019) Presiden Jokowi mengumumkan 12 staf khusus untuk mendampinginya selama pemerintahan periode ke dua 2019-2024. Ke tujuh staf  khusus merupakan perwakilan dari generasi milenial yang usianya 20-30 tahunan, sengaja ditunjuk bertugas mengembangkan inovasi-inovasi di berbagai bidang. Nantinya diharapkan bisa menggandeng kaum milenial. Ketujuh staff khusus tersebut adalah Angkie Yudistia, Aminuddin Maruf, Adamas Belva Syah Devara, Ayu Kartika Dewi, Putri Indah Psari Tanjung, Andi Taufan Garuda Putra, dan Gracia Billy Mambrasar. Dengan latar belakang pendidikan dan kiprahnya, umumnya adalah entrepreneur, sociapreneur dan edupreneur. Aktivitas bisnis yang dipadu dengan pengembangan sosial, pendidikan, filantropi, dan ekonomi anak muda.

Pengangkatan stafsus milenial sejatinya hanya menguatkan politik oligarki di rezim jilid 2. karena seberapa pun cemerlangnya masukan staf khusus tersebut, mereka tidak lebih dari–seperti yang dikatakan Jokowi sebagai teman diskusi Presiden. Para milenial tersebut tidak punya daya tekan seperti yang dimiliki elite partai politik, yang lebih dulu menjadi teman diskusi Presiden. Dedi Kurnia Syah Putra, pengamat politik sekaligus Direktur Indonesia Political Opinion mengatakan jika untuk sekadar meminta masukan, Jokowi bisa kapan saja memanggil para milenial itu tanpa perlu memberi jabatan.

Pemilihan staf khusus milenial ini menjadi sorotan publik bahkan menjadi polemik dikalangan masyarakat, dan menuai kritikan berbagai pihak karena selain gaji yang dirasa fantastis 51 juta perbulan dengan kualitas kerja yang belum pasti. Menurut pakar hukum tata negara Refly Harun, keberadaan staf tersebut hanya akan menambah beban anggaran negara. Keberadaannya semakin memperjelas ada jeratan oligarki yang tidak bisa lepas dari pemerintahan Presiden Jokowi. Semuanya seakan dipaksakan untuk bisa balas jasa. Inilah demokrasi yang pada prakteknya jauh dari kedaulatan rakyat, kenyataannya justru kedaulatan ada ditangan sekelompok kecil elit politik. Pemerintahan oligarki diisi dan dikuasai oleh kalangan terdekat penguasa dan orang-orang yang memiliki sumber ekonomi yang berlimpah serta timbal balik balas jasa. Menurut seorang profesor dari Northwestren University, Jeffry A. Winter oligarki terdiri dari dua dimensi. Pertama: oligarki mempunyai suatu dasar kekuasaan serta kekayaan material yang sangat sulit untuk dipecah dan juga diseimbangkan. Kedua:  oligarki mempunyai suatu jangkauan kekuasaan yang cukup luas dan sistematik meskipun mempunyai status minoritas di dalam sebuah komunitas. Politik oligarki pemerintahan Presiden Jokowi periode kedua ini sudah terlihat sejak dalam proses pemilu, oligarki ini semakin kental karena parpol dan capres disuplai oleh para pemilik modal. Maka seperti yang dikatakan oleh Jeffrey A. Winter, kelompok elit ini memiliki sumber materi yang amat besar sehingga sulit untuk dipecah dan sulit disaingi oleh kelompok-kelompok lainnya.

Oligarki dalam sistem demokrasi dan para aktor pemainnya telah menipu masyarakat secara habis-habisan, dengan slogan kedaulatan rakyat. Pada kenyataannya  mereka semena-mena dan tega menzalimi rakyat, membuat kebijakan yang malah mencekik rakyat tanpa bisa dicegah dan dikritik karena semua golongan politik telah di genggam. Oligarki ini melahirkan pemerintahan yang otoriter. Nasib rakyat hanya sebagai objek penderita, dimanfaatkan suaranya dengan janji-janji kosong dan dibayar murah untuk kemudian nasib mereka dilupakan.

Sangat berbeda dengan Islam,  sistem birokrasi dan administrasi dalam Islam memiliki ciri yang khas, yaitu basathah fi an-nizham (sistemnya sederhana), sur’ah fi injaz (cepat selesai), dan kifayah fi man yatawalla al-a’mal (cukup pelaksanaannya). Dengan ketiga ciri khas tersebut, semua urusan rakyat bisa tertangani dan terselesaikan dengan baik dan cepat, juga bisa mencegah terjadinya korupsi dan suap di setiap lini. Sebab, ciri khas orang yang membutuhkan pelayanan biasanya ingin cepat terselesaikan. Jika sistem birokrasinya bertele-tele, maka ini akan membuka pintu terjadinya suap dan korupsi. Di samping itu, agar birokrasi dalam Islam terhindar dari oligarki, pemerintahan Islam (khilafah) menerapkan satu hukum dan undang-undang untuk satu negara. Hukum yang diadopsi oleh khalifah menjadi undang-undang berlaku sama untuk seluruh wilayah. Undang-undang tersebut meliputi hukum syariah (ahkam syar’iyyah) dan hukum administratif (ahkam ijra’iyyah). Hal ini akan menutup celah bagi elite politik untuk menjalankan politik oligarki dalam pemerintahan. Juga dipastikan tidak akan terjadi benturan hukum dan perundang-undangan, baik antara pusat dan daerah, maupun antara daerah dengan daerah yang lain. Demikian juga antara satu undang-undang dengan undang-undang yang lain. Karena yang membuat satu orang, yaitu Khalifah. Jika hukum tersebut telah diundangkan, maka seluruh rakyat negara Khilafah di wilayah mana pun mereka berada, wajib menaati hukum yang berlaku. Mereka mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum. Tidak ada hak istimewa, baik bagi Khalifah maupun pejabat yang lainnya. Semuanya akan diperlakukan sama yakni sebagai warga negara. Dalam Khilafah, akan ada biro-biro yang dikepalai oleh ahli di bidangnya, serta memiliki sifat amanah, ikhlas, bertakwa kepada Allah, dan cakap.

Inilah cara Islam menyusun birokrasinya hingga dapat menghindari oligarki. Mengharapkan sistem yang baik dan benar hanya ada pada sistem Islam. Sederhana dalam birokrasinya dan ditempati oleh para ahli yang amanah serta bertakwa.

Wallahua’lam bi ash-shawab.

Oleh Iis Nur (Ibu Rumah Tangga)