Ketua DPP Partai Demokrat Jansen Sitindaon angkat bicara menanggapi kasus yang melibatkan Direktur Utama (Dirut) PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra alias Ari Askhara. Menurut dia, apabila serius bersih-bersih, maka Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir sebaiknya membuat kebijakan.“Misalnya direksi dan komisaris BUMN dilarang main moge dan Harley Davison. Tidak tepat saja kerja di perusahaan pelat merah bermewahan di tengah BUMN buntung dan rakyat banyak susah,” ujar Jansen kepada JawaPos.com, Sabtu (7/12). Oleh sebab itu, Demokrat menunggu keberanian Erick Tohir membuat kebijakan tersebut. Tanpa itu, semua cerita soal revolusi dan menata ulang pondasi BUMN ini hanya sekadar kata-kata. (JawaPos.com , 7 Desember 2019).
Rezim oligarki telah menciptakan iklim yang kondusif bagi lahirnya para korporat bermental kapitalis, yang doyan mengumpulkan harta dan barang mewah untuk kepentingan pribadi atau kroni. Bersih-bersih yang dilakukan oleh pemeritah memang sudah seharusnya, mengingat pemerintah adalah pengayom dan pelindung rakyat, pemerintah juga sebagai penegak hukum yang memang dasarnya harus bertindak adil. Mencopot bawahannya yang bermental korup dan bertindak amoral adalah tindakan yang sudah sepatutnya dilakukan. Hanya saja, kasus Dirut PT Garuda Indonesia kemungkinan hanya sebuah fenomena gunung es yang nampak hanya dipermukaan tapi yang tertutupi jauh lebih banyak artinya jika mau berantas secara komprehensif dan totalitas maka seluruh pejabat yang korup dan bertindak amoral sudah selayaknya diberhentikan dan bila perlu diberikan sanksi yang berat agar ada efek jera bagi para pelakunya.
Sebab jangan sampai ada kesan tebang pilih dalam hal pencopotan dan penindakan hukum. Ditambah sanksi yang diberikan hanya sekadar pencopotan padahal sudah merugikan Negara hingga milyaran rupiah, ini sudah masuk dalam tindakan kriminal yang dilakukan pejabat Negara. Karena sanksi yang tidak memberi efek jera jangan sampai bermunculan Dirut-dirut yang lain yang bermental korup dan senang bergaya hidup mewah, individualis hedonis tanpa memikirkan nasib rakyat mayoritas yang hidupnya dibawah standar layak. Dan perlu ada transparansi pejabat yang kena sanksi kemana selanjutnya ditempatkan pada posisi yang mana, jangan sampai posisi mereka sama saja atau bahkan lebih menguntungkan dari posisinya semula. Sebab biasanya sebuah kasus hanya tampilan sesaat di perlihatkan secara massif dimedia setelah itu menghilang. Para pelakunya pun tidak jelas kemana arah hukumannya sehingga memunculkan kesan ini adalah sebuah tontonan politik, untuk menaikkan citra seseorang sehingga reputasinya berkibar dan layak dapat peran utama di hati rakyat.
Rezim oligarki juga memungkinkan bagi adu kepentingan di dalamnya bahkan dapat menimbulkan konflik internal antara para pajabat yang berkuasa. Dalam sistem kapitalis antara musuh dan teman itu beda tipis, yang menentukan posisi adalah kepentingan. Tentunya bagi kapitalis sejati kekuasaan dan materi adalah diatas segalanya. Lalu apakah mungkin dalam rezim oligarki yang melahirkan para korporat kapitalis sejati yang bergaya hedonis dapat dilakukan bersih-bersih secara tuntas dalam setiap elemannya, dalam setiap instansinya dan setiap pejabatnya?
Mengutip pernyataan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto “BUMN memiliki fungsi dan menjadi alat negara untuk meningkatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, dalam kenyataannya saat ini BUMN hanya diperlakukan seperti ‘korporasi swasta’ yang mengedepankan bisnis semata atau yang saat ini dikelola dengan konsep business to business,” kata Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang membacakan rekomendasi hasil Rakernas PDIP, JI Expo, Kemayoran, Jakarta, Selasa (12/1).
Lalu kalau sudah begini, apakah ada pejabat yang benar-benar menjalankan fungsinya sebagaimana seharusnya menjadi teladan dan pengayom rakyatnya. Sebab terpilihnya mereka tentu karena kualitas yang mereka miliki. Hanya saja tidak sedikit dari para elit pemegang kukuasaan terjebak dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk menambah ladang-ladang materi sehingga orientasi bisnis dalam pengelolaan aset publik menjadi sesuatu yang sangat mungkin terjadi. Tuntutan hidup glamor dan mewah menjadi pesona tersendiri ditengah arus modernisasi liberal yang menjadikan kekayaan dan jabatan adalah pemenang dalam menaikkan status sosial seseorang.
Dalam sistem kapitalis memanfaatkan jabatan untuk memuluskan bisnis adalah suatu keniscayaan, nilai moral dan rasa malu menjadi tidak penting. Yang ada adalah bagaimana menumpuk harta dan terus melanjutkan kekuasaan dalam jabatan yang lebih tinggi lagi, segala cara pun ditempuh untuk meraihnya tidak penting halal atau haram. Yang pasti aset pribadi makin banyak. Modal diatas segalanya menjadi standar nilai tertinggi dalam sistem kapitalis liberal.
Ketika islam Berjaya, Umar bin alKhaththab ra menjadi penguasa kaum muslim. Beliau melakukan pembuktian terbalik terhadap harta para pejabat. Untuk menjaga hal ini, Khalifah Umar ra. membuat prosedur, yakni siapa saja pejabat gubernur maupun walikota yang diangkatnya akan dihitung terlebih dulu jumlah kekayaan pribadinya sebelum diangkat, lalu dihitung lagi saat dia diberhentikan. Jika terdapat indikasi jumlah tambahan harta yang tidak wajar maka beliau menyita kelebihan yang tidak wajar itu atau membagi dua, separuhnya diserahkan kepada Baitul Mal.
Dengan demikian, upaya Islam dalam membendung budaya korupsi bisa dilakukan dengan: Pertama, sistem penggajian yang layak. Kedua, larangan menerima suap (risywah) dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, karena buat apa memberi sesuatu bila tanpa maksud di belakangnya, yakni bagaimana agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah. Ketiga, perhitungan kekayaan. Orang yang melakukan korupsi, tentu jumlah kekayaannya akan bertambah dengan cepat. Meski tidak selalu orang yang cepat kaya pasti karena telah melakukan korupsi. Bisa saja ia mendapatkan semua kekayaannya itu dari warisan, keberhasilan bisnis atau cara lain yang halal. Tapi perhitungan kekayaan dan pembuktian terbalik sebagaimana telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab menjadi cara yang bagus untuk mencegah korupsi.
Keempat, keteladanan pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin, terlebih pemimpin tertinggi, dalam sebuah negara bersih dari korupsi. Dengan takwa, seorang pemimpin melaksanakan tugasnya dengan penuh amanah. Dengan takwa pula, ia takut melakukan penyimpangan, karena meski ia bisa melakukan kolusi dengan pejabat lain untuk menutup kejahatannya, Allah SWT pasti melihat semuanya dan di akhirat pasti akan dimintai pertanggungjawaban.
Kelima, hukuman setimpal. Pada galibnya, orang akan takut menerima risiko yang akan mencelakakan dirinya, termasuk bila ditetapkan hukuman setimpal kepada para koruptor. Berfungsi sebagai pencegah (zawajir), hukuman setimpal atas koruptor diharapkan membuat orang jera dan kapok melakukan korupsi. Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.
Keenam, pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat, khalifah Umar di awal pemerintahannya menyatakan, “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang”. Tampak dengan jelas bahwa Islam melalui syariatnya telah memberikan jalan yang sangat gamblang dalam pemberantasan korupsi dan mewujudkan pemerintahan yang bersih. Di sinilah pentingnya seruan penegakan syariat Islam.
Maraknya tindak penyelundupan yang dilakukan pejabat Negara yang terjadi di Indonesia masuk Dalam kategori jarimah ta’zir. Maka, bentuk hukumannya dapat berupa pemecatan, penjara, bahkan penjara seumur hidup hingga hukuman mati. Hal ini tentu, tidak lepas dari semua pihak mulai dari ketegasan pemerintah hingga pengawasan masyarakat. Islam dalam memberantas korupsi selalu dibarengi dengan upaya pembinaan moral melalui sosialisasi sehingga terbentuk ketakwaan individu dan penerapan sanksi moral, sanksi sosial dan sanksi pidana serta penekanannya tentang adanya sanksi akhirat bagi para pelaku korupsi. Wallahu a’lam (***)
Oleh : Mariana, S.Sos ( Guru SMPS Antam Pomalaa)