“Merdeka Belajar” Tersandera Liberalisme

Oleh: Erni Yuwana (Aktivis Muslimah)

Merdeka Belajar, istilah indah yang menyeruak di dunia pendidikan. Merdeka Belajar menjadi salah satu program inisiatif Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim. Mendikbud Nadiem ingin menciptakan suasana belajar yang bahagia. (detikNews.com, 14/12/2019)

Kebijakan Merdeka Belajar meliputi kebijakan penghapusan Ujian Nasional (UN). Ujian Nasional tak lagi dipandang sebagai tolak ukur efektif dalam mencerdaskan generasi. Namun diganti dengan Assessment Kompetisi Minimal yang berisi: Literasi, numerik dan pengukuran karakter ( survey). Ketiganya akan diujikan kepada siswa. Penilaian akhir bukan terletak pada nilai angka. Namun lebih kepada karakter siswa. Sehingga tidak ada sebutan siswa bodoh, pintar, juara, pemalas dan lain sebagainya. Namun terukur dari seberapa besar ukuran pertumbuhan kepedulian, rasa tanggap, dll.

Soal yang diujikan pun berupa isian. Namun, ada capaian lain berupa praktik. Seperti contoh, ketika seorang guru berkata suasana kelas sangat panas. Maka, siswa harus peka dan peduli dengan cara tanggap menghidupkan kipas angin atau pendingin ruangan. Karakter inilah yang diharapkan muncul. Yakni, karakter peduli. Tanggap. Sebab nilai angka pelajaran tak selalu menunjuk kepada sukses. Dan pertumbuhan karakter inilah yang membawa kesuksesan hakiki. Pertanyaannya, bisakah pendidikan karakter terwujud pada sistem liberal saat ini? Mungkinkah kepribadian yang istimewa hadir dalam benak siswa tanpa dorongan ilmu agama? Apakah mendidik siswa untuk memiliki kepedulian dan rasa tanggap yang tinggi itu dapat diaplikasikan di sistem kapitalis yang serba hedonis? Tentu jawabannya sangat sulit.

Ketika budaya liberal menjadi gaya hidup, maka kesombongan mengejar harta, tahta, rupa adalah satu-satunya tujuan. Liberalisme mendidik generasi muda menjadi budak dunia. Kepedulian? Rasa tanggap? Hampir musnah. Apalagi keimanan, ketaqwaan individu tidak dibina oleh sekolah. Pelajaran agama cukup dua jam dalam satu minggu. Hal tersebut tidak menjadikan siswa takut pada Rabb-nya sehingga tunduk patuh dalam ketinggian akhlak. Ah, jangankan tunduk patuh dalam ketaatan, para siswa bahkan menganggap bahwa Tuhan, Allah SWT tak berhak mengatur dirinya.

Sistem pendidikan terbaik hingga kini yang terbukti berhasil mencetak generasi peduli, tanggap, berakhlak langit, berpengetahuan tinggi adalah sistem pendidikan Islam era khilafah. Sistem pendidikan Islam pernah mengukir sejarah sebagai satu-satunya sistem yang efektif membentuk pola pikir intelektual dan pola sikap Rabbani. Karena inti dari pendidikan adalah untuk memelihara akal, memelihara kehormatan, memelihara jiwa manusia, memelihara harta, memelihara agama, memelihara keamanan, dan memelihara negara. Itulah makna dan peran pendidikan.

Sistem pendidikan Islam mempunyai tolak ukur keberhasilan dengan menjadikan kepribadian tinggi dan mulia bagi setiap  siswanya. Pencapaian kepribadian tersebut diukur dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekedar menilai dengan jawaban-jawaban dalam ujian tertulis atau lisan yang sudah menjadi tabiat pendidikan Indonesia. Pendidikan bukan hanya untuk kepuasan intelektual semata, tetapi membentuk kepribadian  Islam (pola pikir dan pola sikap islam).

Produk dari sistem pendidikan tersebut adalah ilmuwan besar dan terkenal seperti  al-khawarizmi (penemu angka nol ),  Abbas ibnu firnas (peletak dasar teori pesawat terbang ), ibnu hayyan (ahli kimia, astronomi), ibnu sina (kedokteran), abu al rahyan (ilmu bumi,matematika, dan astronomi, antropologi, psikologi dan kedokteran ), Abu ali hasan ibn al-haitsam (fisikawan terkenal dalam hal optik dan ilmu ilmiah), dsb. Mereka bukan hanya ilmuwan, tapi merangkap sebagai seorang ulama. Orang yang tunduk dan patuh pada aturan rabbul Alamin, Allah SWT.

Karakter yang dihasilkan pendidikan Islam tak sekedar sopan santun, kepedulian dan tanggap saja. Sistem pendidikan Islam membuat kaum muslimin memiliki kecerdasan  dan kesadaran luar biasa. Dia tidak rela jika kaum Muslim dihinakan, Sumber daya alamnya dijarah dan kedaulatan Sang Pembuat Hukum diganti oleh cacatnya aturan manusia. Karakter Muslim tak sekedar cakap teknologi kekinian tapi harus disertai dengan keimanan dan ketakwaan untuk membangun peradaban gemilang dunia akhirat.

Wallahu’alam bi ash shawab.