Kapitalisme Mengikis Naluri Ibu

Kapitalisme Mengikis Naluri Ibu
Ilustrasi

Ibu, fitrahnya memiliki naluri keibuan. Penuh kasih sayang dan kelembutan. Tak heran bila belaian dan pelukannya menjadi penenang jiwa dan hati sang anak. Tutur katanya bagaikan mata air yang menyejukkan. Hingga hilang gundah gulana, hanya dengan mendengar nasihatnya.

Namun, hari ini naluri keibuan seorang perempuan mulai terkikis. Kasih sayangnya perlahan menipis. Belaian dan pelukannya tak lagi hangat. Tutur katanya tak lagi menyejukan. Kewarasannya tidak lagi sempurna. Tergerus kapitalisme nan kejam.

Iklan Pemkot Baubau

Berita pilu nan tragis datang dari Kupang. Adriana Lulu Djami (33) seorang ibu rumah tangga yang tega membunuh anak perempuannya yang masih berusia dua tahun hanya karena korban buang air kecil di kasur.

Adriana membunuh korban dengan cara membenturkan kepala korban secara berulang-ulang sehingga korban mengalami luka pada bagian kepala dan sempat panas tinggi dan kejang-kejang dan akhirnya meninggal. (Radar Bogor, 4/1/2020)

Miris. Tangan ibu yang semestinya untuk membelai dan memeluk anaknya. Terkotori dengan hilangnya nyawa anak tercinta di tangannya sendiri. Ironisnya, Adriana tak sendiri. Sebab di luar sana, kasus Adriana hanya secuil kisah dari banyaknya kasus ibu membunuh anaknya sendiri.

Tercatat sepanjang tahun 2018 saja ada 6 kasus ibu bunuh anak. Itu baru kasus yang mencuat ke permukaan. Belum lagi kasus pembunuhan bayi akibat hamil di luar nikah yang belum terdata. Maka bisa jadi, masih banyak kasus serupa yang terjadi di tengah masyarakat.

Ibu merupakan ciptaan-Nya yang memiliki kepekaan yang tinggi. Tidak heran jika seorang ibu rentan terkena stress bahkan depresi. Hingga hilang naluri dan kewarasannya sebagai seorang ibu. Beberapa masalah yang mengikis naluri keibuan di antaranya: Pertama, himpitan ekonomi. Kedua, ketidakharmonisan keluarga. Ketiga, malu dan tidak siap punya anak.

Namun, dari ketiga masalah di atas, sejatinya penyebab utama terkikisnya naluri ibu adalah diterapkannya sistem kapitalisme atas negeri ini. Paradigma kapitalisme memandang segalanya berorientasi materi, menggiring manusia berpikir secara instan, menomorduakan agama, dan menjunjung tinggi kebebasan.

Tidak heran bila keluarga kehilangan pondasi ruhiyah. Peran keluarga menjadi pincang. Pasangan hanya menuntut haknya tanpa melaksanakan kewajibannya. Sementara negara tidak menjalankan peran dan fungsinya sebagai soko keluarga. Sebaliknya ketiadaan jaminan kesejahteraan pada ibu dan berbagai kebijakan negara justru semakin menambah berat beban masalah ibu. Alih-alih menjadi pelindung dan penjaga naluri dan kewarasan ibu. Negara justru jadi sumber pemicu terkikisnya naluri dan kewarasan ibu.

Mengembalikan fitrah ibu dalam cengkeraman kapitalisme jelas tidak mungkin. Bagaimana air yang kotor lagi bau dapat mencuci bersih jiwa dan kewarasan ibu? Maka dibutuhkan mata air yang bersih lagi jernih dan suci untuk membersihkan kapitalisme-sekularisme yang mengotori pemikiran ibu.

Mata air itu adalah Islam. Islam akan mengembalikan fitrah ibu. Islam menempatkan ibu pada kedudukan yang mulia. Peran mulia ini sejatinya dapat diraih ketika ia berada dalam fitrahnya, yaitu sebagai pendidik utama dan pertama anak-anaknya. Mendidik anaknya bukan dengan kebencian, tapi dengan cinta dan kasih sayang. Sebab anak merupakan titipan Allah Ta’ala.

Sementara negara yang menjadikan Islam sebagai pondasi dalam kehidupan bernegara, akan menjadi perisai bagi ibu, sekaligus pencetak para ibu dan calon ibu hebat. Tujuan pendidikan tidak hanya ditujukan untuk melahirkan calon pemimpin, tapi juga calon ibu generasi.

Sesungguhnya, negara memiliki peran besar dalam menciptakan lingkungan yang ramah bagi ibu. Karena negara mengambil peran besar dalam mengatur dan menentukan kebijakan. Baik dalam upaya preventif maupun kuratif untuk mengatasi problematika masyarakat. Jika kondisi lingkungan ibu menjadi baik, maka fitrah ibu pun akan terjaga.

Negara yang dirindukan ini, tentunya bukan negara yang mengemban ideologi kapitalisme-sekularisme. Tapi negara yang menerapkan Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan, yaitu khilafah ‘ala minhajinnubuwwah. Insya Allah. Wallahu a’lam bishshawaab.

Oleh: Tawati, Pelita Revowriter Majalengka