Getirnya Buah Kapitalisme Awal 2020

Depy SW

Kado 2020

Ngos-ngosan. Sepertinya itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan perjuangan rakyat tanah gemah ripah loh jinawi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Setelah “babak belur” dihajar harga kebutuhan pokok yang semakin meroket pada 2019, kini kado dari pemerintah awal 2020 siap menambah berat beban di pundak rakyat.

Iuran BPJS Kesehatan akan dinaikkan hampir dua kali lipat. Tarif dasar listrik (TDL) juga akan disesuaikan menyusul rencana dicabutnya subsidi listrik pelanggan 900 VA. Hal  ini disepakati pemerintah dalam rapat kerja Badan Anggaran DPR RI. Bahkan dalam rapat tersebut tercium indikasi akan kenaikan bahan bakar minyak dan gas. Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) pun juga akan menaikkan tarif tol di sejumlah ruas. (Republika.co.id. 05/09/2019)

Di sisi lain, pemerintah tengah menggodok alternatif sistem pengupahan berdasarkan prinsip fleksibilitas yang akan dimasukkan dalam beleid omnibus law. Pembahasan omnibus law atau revisi undang-undang terkait perpajakan dan ketenagakerjaan masih berlangsung. Di dalamnya akan dimasukkan skema upah per jam, Cipta Lapangan Kerja antara lain aturan pesangon, prinsip easy hearing dan easy firing, hingga kemudahan untuk merekrut tenaga kerja asing.

Selain itu, rencana pemerintah mengubah sistem pengupahan menjadi per jam, akan membuat buruh ketar-ketir. Hal ini dikarenakan saat dunia usaha berniat mengurangi produksi, maka jam kerja karyawan akan dikurangi. Otomatis upah yang diterima pun lebih sedikit, karena jam kerja yang lebih sedikit. Suatu kebijakan yang tentu memberatkan rakyat. Di satu sisi pemerintah menaikkan sejumlah tarif layanan publik, di sisi lain pemerintah seolah memangkas sumber penghidupan rakyat. Sudah jatuh tertimpa tangga.

Jeratan Kapitalisme

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bima Yudhistira menjelaskan, bahwa langkah ini ditempuh pemerintah dengan dalil kondisi perekonomian Indonesia yang terus melemah. Pemerintah khawatir bahwa penerimaan pajak tahun 2020 tidak mencapai target cukup besar, maupun pelebaran defisit ekonomi yang terus memburuk. (Republika.co.id, 05/09/2019)

Tumpukkan hutang Indonesia meninggi. Hingga November 2019, utang pemerintah Indonesia mencapai 4.814 triliun. Sedangkan pembayaran bunga utang mencapai 267,63 triliun. Jumlah yang fantastis untuk negeri kaya sumber daya alam.

Padahal, Indonesia memiliki tambang emas terbaik di dunia yang terletak di Papua. Gas alam terbesar di dunia terletak di Blok Natuna dan Blok Cepu yang menghasilkan sekitar 200 kaki kubik minyak bumi dan gas alam. Belum kita bicara kesuburan tanah, kekayaan hutan, maupun kekayaan lautnya. Seharusnya dengan pengelolaan sumber daya alam yang tepat, Indonesia bisa sangat sejahtera.

Namun, sayangnya jeratan kapitalisme masih membelenggu Indonesia. Kita bisa melihat jika sumber daya alam yang seharusnya digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, hanya dikuasai dan dinikmati oleh segelintir pemilik modal atas restu penguasa. Tidak jarang kebijakan dibuat untuk memenuhi syahwat dunia pemilik modal, tanpa melirik jutaan perut rakyat yang lapar.

Di saat perekonomian Indonesia berada di ujung tanduk, pemerintah justru mempergemuk susunan kabinetnya. Ditambah staff khusus presiden yang gajinya super wow!. Pengamat Politik Indonesia Political Review, Ujang Komarudin mengatakan, Jokowi sengaja memperbanyak untuk mewadahi kelompok yang tidak masuk menteri. “Ini kan bentuk akomodasi untuk partai kelas dua. Ada PSI, ada Perindo, termasuk relawan. Kalau bukan akomodasi apalagi istilahnya?,” tandasnya. (radarpena.co.id. 26/10/2019)

Alhasil, rakyat yang jadi tumbalnya. Pajak dinaikkan. Aneka macam tarif layanan publik dikerek. Subsidi dipangkas. Rakyat Indonesia, bagai anak ayam yang mati di lumbung padi. Sungguh mengenaskan.

Islam Mensejahterakan Ummat

Setiap hal yang melenceng dari aturan Ilahi, akan membawa kemudhorotan. Nampaknya hal ini yang tengah menimpa negeri kita, karena telah mencampakkan syari’ah Allah yang mulia. Dalam hal ini, nampaknya ada beberapa poin yang perlu diperhatikan.

Pertama, Pemerintah belum menyadari fungsinya sebagai seorang pemimpin yang akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Akibatnya, lalai dengan orang-orang yang dipimpinnya. Alih-alih meriayah atau memenuhi kebutuhan rakyat, malah membebani rakyat dengan aneka kebijakan. Maka, muhasabah lil hukam sangatlah penting. Namun, ironisnya, pemerintah menafsirkan hal ini sebagai tindakan makar.

Kedua, sistem kapitalis yang bercokol menyebabkan kesemrawutan dalam negeri, baik politik maupun ekonomi. Sumber Daya Alam yang seharusnya dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat, malah dimonopoli segelintir pengusaha. Padahal Rasulullaah sholallahu ‘alayhi wa salam telah mengingatkan kita dengan sabdanya, “Tiga hal yang tak boleh dimonopoli : air, rumput dan api” (HR. Ibnu Majah)

Mengoptimalkan fungsi SDA jauh lebih baik, daripada menaikkan berbagai macam tarif dan pajak. Ataupun menaikkan UMR.

Ketiga, sudah seharusnya kita kembali kepada tuntunan Ilahi untuk mensolusi segala macam problematika kehidupan. Sejarah menuturkan, ketika Islam diterapkan, kesejahteraan menaungi dunia kurang lebih selama 13 abad. Maka, sudah saatnya mengganti sistem kapitalisme saat ini dengan sistem Ilahi yang mensejahterakan tidak hanya muslim tetapi juga non muslim. Wallahu a’lam.