Tahun 2020, BPJS Harga Baru Warnai Tangis Pilu

Tahun 2020, BPJS Harga Baru Warnai Tangis Pilu
Erni Yuwana

Tangis pilu mewarnai pemegang kartu kesehatan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di tahun 2017. Kasus pasien BPJS yang ditolak rumah sakit dirasakan keluarga bayi berusia 15 bulan. Sang bayi yang bernama Mesiya Rahayu itu meninggal dunia setelah empat rumah sakit di Kota Tangerang menolaknya.

Orangtua Meisya, Undang Misrun (42) dan Kokom Komalasari (37) tinggal di sebuah kontrakan sempit di RT 02 RW 01, Kelurahan Neglasari, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang. Misrun bekerja sebagai sopir truk sampah di Dinas Kebersihan dan Pertamaman Kota Tangerang sebagai Tenaga Harian Lepas (THL).

Iklan KPU Sultra

Kejadian memilukan itu berawal saat Misrun bersama istri membawa Meisya ke klinik setempat. Dokter menanganginya dengan menyebut sang bayi terserang diare. Sang dokter lalu merujuknya ke rumah sakit di Tangerang untuk segera dirawat.

Akhirnya sang anak masuk di IGD rumah sakit di Tangerang. Dalam proses perawatan, orangtua menyorongkan BPJS. “Tetapi tidak diterima karena punya saya BPJS Ketenagakerjaan. Akhirnya saya mendaftar sebagai pasien umum dengan membayar Rp 370 ribu,” kata Misrun

Pihak rumah sakit pun menangani sang bayi dengan berbagai tindakan. Dari hasil pemeriksaan dokter, Meisya didiagnosa infeksi paru-paru. Kemudian rumah sakit memberikan rujukan dengan alasan tidak memiliki alat untuk menangani sang bayi.

Tanpa informasi, Misrun mencari rumah sakit rujukan. Dia berkeliling dengan mengendarai sepeda motor. Ada empat rumah sakit yang disambangi, semua rumah sakit itu menolaknya dengan alasan kamar penuh.

“Mereka tidak menanyakan KTP saya ataupun kondisi anak saya. Saya enggak mengerti kenapa,” ujar dia sedih.

Lantaran terlalu lama mendapat pertolongan, Meisya pun kritis. Napasnya menjadi sesak hingga akhirnya pada Minggu pukul 23.30 WIB, nyawanya tidak tertolong. Bayi mungil itu meninggal dunia. (www.liputan6.com, 11/09/2017)

Seberapa pun buruknya pelayanan BPJS, maka BPJS tetap menjadi lembaga asuransi yang wajib dibayar tiap bulannya hingga sepanjang hidup bagi pemegang kartu BPJS. Pada Agustus 2019 lalu, BPJS Kesehatan melalui petugas kelurahan melayangkan surat edaran bagi seluruh Ketua RW se-kelurahan Mekarjaya, Depok. Surat itu berisi permintaan agar para pemimpin di lingkup kelurahan mensosialisasikan dan mendorong warganya untuk menyelesaikan tunggakan iuran BPJS Kesehatan. Edaran tersebut secara spesifik menyebut bahwa total tunggakan warga Kelurahan Mekarjaya yaitu senilai Rp 9 miliar—jumlah yang fantastis, yang kemudian membuat edaran tersebut viral di berbagai media. (www.kumpaean.com, 9/11/2019)

Masalah BPJS tidak berhenti di pelayanan dan tunggakan saja, namun mulai tanggal 1 Januari 2020, iuran BPJS Kesehatan naik hingga lebih dari dua kali lipat. Adapun besaran iuran yang harus dibayarkan yaitu Rp 160.000 untuk kelas I dari sebelumnya Rp 80.000, sedangkan pemegang premi kelas 2 harus membayar Rp 110.000 dari sebelumnya Rp 51.000. Sementara itu, kelas 3 sedikit lebih beruntung karena kenaikan yang dialami lebih kecil, yakni dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.

Jika masalah tunggakan saja belum terselesaikan hingga kini karena dianggap terlalu berat, pemerintah malah menambah beban rakyat dengan kenaikan iuran sebanyak dua kali lipat. Kontan kebijakan ini merugikan masyarakat. Klaim BPJS Kesehatan sebagai lembaga penjamin kesehatan adalah salah besar. BPJS merupakan lembaga asuransi. Jika rakyat tidak bayar, mereka tidak berhak atas pelayanan kesehatan. Karena diwajibkan, jika telat atau tidak bayar, rakyat (peserta BPJS) dikenai sanksi baik denda atau sanksi administratif. Pelayanan kesehatan rakyat juga bergantung pada besarnya jumlah iuran BPJS yang dibayarkan.

BPJS Kesehatan pada hakikatnya mengalihkan tanggung jawab negara ke pundak rakyat. Jaminan kesehatan yang merupakan hak rakyat dan menjadi tanggungjawab negara berusaha dihilangkan. Rakyat diwajibkan untuk saling membiayai pelayanan kesehatan di antara mereka melalui sistem asuransi sosial. Sehingga, jaminan kesehatan yang pada dasarnya menjadi hak rakyat disulap menjadi kewajiban rakyat.

Dalam Islam, kebutuhan akan pelayanan kesehatan adalah termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negara. Rumah sakit, klinik dan fasilitas kesehatan lainnya merupakan fasilitas publik yang diperlukan oleh rakyat dalam terapi pengobatan dan berobat. Jadi pengobatan itu sendiri merupakan kemaslahatan dan fasilitas publik. Negara wajib menyediakan semua itu untuk rakyat. Negara wajib mengurus urusan dan kemaslahatan rakyat, termasuk pelayanan kesehatan. Rasul saw bersabda:

«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar).

Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi saw. (sebagai kepala negara) pernah mendatangkan dokter untuk mengobati Ubay. Beliau juga pernah menjadikan seorang dokter yang merupakan hadiah dari Muqauqis Raja Mesir—sebagai dokter umum bagi masyarakat.

Imam al-Bukhari dan Muslim pun meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah saw. selaku kepala negara kemudian meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Mal di dekat Quba’. Di sana mereka diizinkan untuk minum air susu unta sampai sembuh.

Semua itu merupakan dalil bahwa pelayanan kesehatan dan pengobatan adalah termasuk kebutuhan dasar rakyat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis. Pelayanan kesehatan gratis itu diberikan dan menjadi hak setiap individu rakyat sesuai dengan kebutuhan layanan kesehatannya tanpa memperhatikan tingkat ekonominya.

Pemberian jaminan kesehatan seperti itu tentu membutuhkan dana besar. Biaya untuk itu bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariah. Di antaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum, di antaranya hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas. Dalam Islam, semua itu merupakan harta milik umum, yakni milik seluruh rakyat.

Namun, sayangnya, di sisi lain, kekayaan alam yang sejatinya adalah milik bersama seluruh rakyat, justru diserahkan kepada swasta dan kebanyakan asing. Rakyat dan negara pun kehilangan sumber dana yang semestinya bisa digunakan membiayai jaminan kesehatan untuk rakyat tanpa memungut dari rakyat. Akibatnya, rakyat kehilangan kekayaannya dan masih dipaksa membayar iuran untuk pelayanan kesehatan mereka. Dilihat dari sisi ini, maka kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang diberlakukan jelas merupakan kezaliman di atas kezaliman. Seyogyanya, negeri ini berkaca kepada sistem Islam yang mampu menyelesaikan seluruh permasalahan, termasuk masalah kesehatan.

Wallahu’alam bi ash showab.

Oleh: Erni Yuwana (Aktivis Muslimah)